Opini

Iqro dan Pagar Ketauhidan

4 Mins read

Oleh: Bambang Prakoso (Pegiat Literasi)

SEJUK.ID – Pembelajaran literasi membaca dimulai sejak Nabi Muhammad melakukan khalwat di Gua Hira. Konsepsi tentang pengetahuan dan ketauhidan dalam agama bertujuan agar manusia tidak melompati pagar ketauhidan. Agama seharusnya menjadi ilmu, bukan sekadar pengetahuan. Dalam perspektif literasi, hal ini disebut sebagai keseimbangan intelektual, spiritual, dan estetika. Ketiga aspek ini sangat fundamental dalam menjalankan tugas kehidupan sekaligus sebagai makhluk sosial.

Sebagai makhluk sosial sekaligus umat Muslim yang berpegang pada nilai-nilai agama, kita dapat melihat berbagai kelompok umat yang hanya mempraktikkan agama sebagai batu loncatan untuk mencapai kredibilitas publik atau popularitas. Agama dijadikan sebagai legitimasi publik, sehingga muncul umat Muslim berwajah ganda atau pribadi parsial (split personality).

Syahadah merupakan konsepsi monoteisme atau tauhid yang benar dalam Islam. Mengucapkan syahadah sangat mudah, baik bagi anak-anak maupun orang tua. Lafalnya singkat dan mudah diingat: Asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullah. Namun, belum banyak umat Islam yang menjadikannya sebagai kaidah normatif dalam membangun jati diri menuju kesempurnaan (insan kamil).

Rukun Islam pertama ini diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat untuk mengamputasi keyakinan sesat (konsep teologis yang menyimpang). Pemujaan berhala adalah bentuk pelanggaran terhadap konsep monoteisme.

Jihad dalam menegakkan agama yang dilakukan Rasulullah dan para sahabat pernah mengisi sejarah. Mereka tidak menjalankan dakwah dengan cara trivial dan parsial, melainkan dengan totalitas dan loyalitas keislaman yang tinggi. Mereka rela mengorbankan harta, keluarga, dan bahkan nyawa. Tidak ada ketakutan dalam menghadapi risiko, termasuk maut, kekejaman, iming-iming kedudukan, dan harta. Agama telah mendarah daging menjadi kekuatan yang membentengi nurani mereka, sehingga tekanan apa pun yang mengajak untuk “menjual” ideologi (agama) mampu mereka tolak.

Agama juga dijadikan kekuatan moral oleh Nabi Muhammad untuk membangun masyarakat Arab dan umat manusia di planet bumi menjadi masyarakat utama. Dimensi ibadah mahdhah tidak boleh ditegakkan secara independen, tetapi harus disatukan dengan tuntunan normatif dari ibadah ghairu mahdhah untuk mengisi wilayah kerja kekhalifahan. Agama dalam tindakan harus menjadi langkah konkret sebagai sumber kebaikan di tengah masyarakat.

Agama merupakan pintu gerbang bagi seseorang untuk memperoleh legitimasi sebagai Muslim. Status keislaman bukanlah sekadar simbolisme yang bisa diubah sesuka hati, melainkan perangkat hidup yang fundamental dan kebutuhan mendasar bagi umat Islam. Mengingkari agama berarti melompati pagar ketauhidan, yang akan menjerumuskan manusia ke dalam kerugian.

Pengulangan ucapan syahadah dalam berbagai kegiatan sakral atau ritual, seperti shalat, akad nikah, sumpah jabatan, dan lainnya, berfungsi sebagai tazkirah (pengingat). Tujuannya adalah agar mereka yang telah terlegitimasi sebagai Muslim selalu ingat akan komitmennya terhadap syariat Islam serta selalu menempatkan Allah SWT sebagai pusat kesadaran dalam menjalankan tugas kehidupan.

Namun, pergeseran nilai sosial budaya, gaya hidup, praktik politik, dan orientasi ekonomi telah memberikan warna berbeda dalam praktik keberagamaan umat Islam. Sulit membedakan mana Muslim yang puritan dan mana yang hanya mencari keuntungan pribadi. Kontradiksi antara legitimasi umat Islam dan realitas perbuatan serta praktik ritualitas terjadi di mana-mana.

Ramalan futurolog Alvin Toffler dalam The Third Wave terbukti bahwa peradaban baru sedang muncul di tengah masyarakat. Peradaban ini membawa perubahan dalam pola keluarga, cara mengasuh anak, cara bekerja, berorganisasi, dan berpolitik.

Prediksi Toffler ini, jika dikaitkan dengan dinamika sosial saat ini, bukan sekadar pepesan kosong. Masyarakat berlomba-lomba mengadopsi modernisasi dan membentuk gaya hidup yang sesuai dengan pasar serta tuntutan zaman. Keberhasilan seseorang sering kali diukur dari sejauh mana ia mampu menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut.

Sayangnya, banyak orang lebih berfokus pada peningkatan kualitas hidup secara material dan profan, bahkan hingga ke tingkat hedonisme. Padahal, seharusnya peningkatan kualitas hidup juga menyentuh aspek rohani dan kemanfaatan bagi sesama serta lingkungan.

Belakangan ini, kita menyaksikan banyak peristiwa yang sangat memprihatinkan. Praktik-praktik menyimpang dilakukan oleh umat Islam sendiri, termasuk oleh tokoh agama, politikus, pejabat, dan pimpinan lembaga. Hal ini mencerminkan bahwa Islam seolah tidak memberikan efek positif terhadap nurani dan psikologi manusia dalam mengamputasi tindakan asosial, amoral, dan dehumanisasi yang semakin mewabah.

Contohnya adalah praktik mobilisasi massa demi kepentingan politik dengan menggunakan kedok agama. Tidak jarang, agama dijadikan alat untuk mencari legitimasi sosial dan kredibilitas publik. Jika nurani semakin tidak terkendali, dan dinamika sosial semakin membuka peluang bagi praktik-praktik culas, penyimpangan ideologi ini akan semakin menguat di masa mendatang.

Islam kini menghadapi ujian dari pemeluknya sendiri. Ujian pertama terjadi ketika gerbang ijtihad ditutup oleh kalangan ulama mazhab, menyebabkan kemunduran intelektual. Ujian kedua adalah isu kebangkitan Islam yang masih berkutat pada aspek kuantitas, bukan substansi. Banyak umat yang lebih menonjolkan jumlah dan simbol daripada esensi Islam itu sendiri.

Seorang ulama besar dari India, Abu A’la Al-Maududi, pernah mengingatkan bahwa manusia kini saling mencurigai. Kaum ateis menggunakan agama sebagai kedok, sementara keturunan Adam terpecah belah dalam berbagai golongan. Masing-masing golongan merasa paling benar dan menggunakan segala cara, termasuk tipu muslihat, kezaliman, dan pengkhianatan, demi kepentingannya sendiri.

Jika kita melihat kondisi masyarakat saat ini, peringatan Maududi masih sangat relevan. Kita dapat menyaksikan sendiri banyak orang yang fasih melafalkan ayat-ayat Al-Qur’an, hadits Nabi, dan kaidah-kaidah hukum Islam, serta aktif dalam kegiatan keagamaan. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, mereka justru terlibat dalam praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai agama, seperti perjudian, korupsi, dan penyalahgunaan wewenang.

Banyak umat Islam yang gagal membaca konteks zaman. Akibatnya, muncul kelompok Muslim berwajah ganda atau berkepribadian parsial (split personality). Di podium dan mimbar, mereka tampak seperti malaikat, tutur katanya penuh kebijaksanaan. Namun, di sisi lain, substansi psikologisnya menunjukkan karakter yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Agama hanya dijadikan tameng untuk memperoleh legitimasi publik, kredibilitas sosial, dan popularitas semata, tanpa adanya keseimbangan antara intelektual, spiritual, dan estetika.

Jika pagar ketauhidan terus dilompati, maka umat Islam akan semakin jauh dari esensi keislaman yang sejati. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk kembali kepada nilai-nilai Islam yang hakiki, menjadikan agama sebagai panduan hidup yang utuh, bukan sekadar identitas yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan sesaat.

839 posts

About author
Pemuda yang senang belajar dan berbagi dengan sesama.
Articles
    Related posts
    Opini

    Kata-kata sebagai Medium Perjumpaan Dua Ruh

    3 Mins read
    Opini

    Ketua Umum PC IMM Bima: Bima Rawan Korupsi, Upaya Preventif Harus Segera Dilakukan

    2 Mins read
    Opini

    Ruang Hampa Perpustakaan dan Fakta Sejarah

    2 Mins read

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *