Opini

Membaca Demokrasi dan Efisiensi

3 Mins read

Oleh: Bambang Prakoso (Dosen Ilmu Perpustakaan UWKS dan Ketua GPMB Jawa Timur)

SEJUK.ID – Membaca adalah alat untuk memahami demokrasi yang rentan terhadap manipulasi opini publik melalui media massa atau kampanye politik yang dilakukan oleh kandidat atau partai politik. Propaganda dan disinformasi sering kali digunakan untuk mempengaruhi pemilih serta membentuk persepsi publik terhadap isu-isu politik tertentu. Oleh karena itu, olah pikir dan olah batin menjadi penting dalam segala aspek, khususnya bagi warga negara yang negaranya sedang mengalami ketidakstabilan.

Melihat persoalan bangsa dari perspektif literasi, kita harus mampu membaca baik teks maupun konteks, memahami, menganalisis, dan menentukan sikap yang tepat. Hari ini, media sosial diramaikan dengan tagar #kaburajadulu. Bagaimana seharusnya kita bersikap dalam menghadapi fenomena ini?

Di tengah gelombang ketidakpastian dalam politik, ekonomi, hukum, pendidikan, dan kesehatan, banyak anak muda yang memiliki kesempatan untuk bekerja atau berkuliah di luar negeri akhirnya memilih untuk menetap di sana. Fenomena #kaburajadulu juga mendorong orang-orang di dalam negeri untuk mencari peluang ke luar negeri, yang pada dasarnya mencerminkan tingkat keputusasaan yang telah mencapai puncaknya. Sebagai warga negara, semua pilihan sah-sah saja, baik dalam menentukan tempat tinggal, karier, maupun pemimpin yang akan dipilih, masing-masing dengan konsekuensi tersendiri.

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa memiliki kompetensi dan ijazah sarjana tidak menjamin seseorang mendapatkan pekerjaan yang layak dari pemerintah. Kampus di Indonesia sering kali hanya menunda kesempatan kerja dan justru berkontribusi pada meningkatnya jumlah pengangguran. Banyak lulusan sarjana hidup dalam kondisi memprihatinkan, berjuang mencari pekerjaan, sementara yang mendapatkan pekerjaan, seperti guru honorer di daerah terpencil, hanya menerima gaji sekitar Rp 300 ribu per bulan, bahkan sering kali gaji tersebut baru dibayarkan setelah tiga bulan.

Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan pemerintah pusat dan daerah untuk melakukan efisiensi anggaran sebesar Rp 306,7 triliun. Kebijakan ini tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun 2025. Pemotongan anggaran ini berdampak signifikan terhadap kinerja kementerian dan lembaga negara, termasuk:

  • Kementerian PUPR: Rp 81,38 triliun
  • Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains & Teknologi: Rp 22,54 triliun
  • Kementerian Agama: Rp 14,28 triliun
  • Kementerian Kesehatan: Rp 19,53 triliun
  • Kementerian Perhubungan: Rp 17,87 triliun
  • Kementerian Keuangan: Rp 12,36 triliun
  • Kementerian Pertanian: Rp 10,28 triliun
  • Kementerian Pendidikan Dasar & Menengah: Rp 8,03 triliun
  • Kementerian Hukum dan HAM: Rp 6,34 triliun
  • IKN: Rp 4,81 triliun

Paradoks kebijakan ini menjadi perhatian publik. Di satu sisi, pemerintah beralasan bahwa efisiensi anggaran diperlukan untuk menjaga stabilitas keuangan negara dan menghindari lonjakan utang yang tidak terkendali. Anggaran dialokasikan ulang untuk program prioritas seperti ketahanan pangan, energi, dan pertahanan nasional, serta untuk meningkatkan transparansi dalam pengelolaan keuangan negara. Namun, di sisi lain, pemerintah justru mengangkat pembantu khusus menteri, membentuk kementerian baru, serta menunjuk utusan presiden, yang bertentangan dengan semangat penghematan belanja negara.

Setiap presiden yang menjabat akan menghadapi tugas dan tanggung jawab berat, terutama terkait dengan beban utang negara. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, utang jatuh tempo pada 2024 tercatat sebesar Rp 434,29 triliun, yang terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) Rp 371,8 triliun dan pinjaman Rp 62,49 triliun. Pada 2025, angka ini melonjak hampir dua kali lipat menjadi Rp 800,33 triliun, dengan rincian SBN sebesar Rp 705,5 triliun dan pinjaman Rp 94,83 triliun.

Persoalan kompleks ini menimbulkan keresahan di ruang publik dan memicu tren #kaburajadulu, yang mencerminkan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Pernyataan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang meragukan nasionalisme warga negara yang pindah kewarganegaraan juga menuai polemik. Faktanya, tempat tinggal seseorang tidak selalu menentukan kadar nasionalismenya; banyak tokoh yang lama tinggal di luar negeri tetapi tetap berkontribusi besar bagi bangsa ini.

Terlepas dari berbagai permasalahan pemerintah, memahami kondisi bangsa menjadi sangat penting untuk menentukan sikap. Rasa cinta terhadap tanah air diuji saat negara sedang tidak dalam kondisi baik. Para pejuang kemerdekaan berjuang dengan ide, gagasan, gerakan, darah, air mata, harta, dan nyawa. Perjuangan itu bersifat estafet dari generasi ke generasi, sering kali tanpa mereka sendiri sempat menikmati hasilnya.

Beberapa tokoh yang bisa kita teladani dalam konteks kekinian antara lain:

  • Ki Hajar Dewantara, aktivis pergerakan kemerdekaan yang berperan besar dalam pendidikan Indonesia melalui pendirian Taman Siswa, yang memberikan akses pendidikan bagi kaum pribumi.
  • Bung Tomo, dikenal karena aksi heroiknya membangkitkan semangat arek-arek Suroboyo dalam melawan tentara NICA pada 10 November. Semboyannya, “Merdeka atau Mati,” menginspirasi perjuangan rakyat Surabaya.
  • Pattimura, pahlawan asal Maluku yang memimpin perlawanan rakyat terhadap VOC pada 1817, berhasil menyatukan Kerajaan Tidore dan Ternate dalam menghadapi penjajahan Belanda.

Memahami kondisi bangsa secara komprehensif memungkinkan kita mengambil sikap dan tindakan yang bijak. Kita harus banyak membaca dan belajar dari setiap peristiwa yang terjadi. Demokrasi yang kita sepakati bersama hanya akan berjalan baik jika masyarakat memiliki tingkat literasi dan pemahaman yang memadai. Jika tidak, kelompok-kelompok berkepentingan akan mengambil peran dominan dalam pengambilan keputusan politik, mengutamakan kepentingan mereka sendiri dibandingkan kepentingan masyarakat luas.

Winston Churchill pernah berkata, “Demokrasi adalah sistem terburuk, kecuali semua sistem lain yang pernah dicoba.” Meskipun memiliki kekurangan, hingga saat ini belum ditemukan sistem pemerintahan yang lebih baik. Churchill menekankan pentingnya toleransi, kebebasan berpikir, dan perlindungan hak asasi manusia dalam demokrasi.

Hidup di negara demokrasi berarti kita bebas menentukan pilihan, termasuk dalam memilih pemimpin dan menerima dampak kebijakan yang dihasilkan. Salah satu dampaknya adalah efisiensi atau penghematan belanja negara. Fenomena #kaburajadulu mencerminkan puncak keputusasaan kolektif, konsekuensi dari pilihan mayoritas. Dalam situasi yang tidak menentu, menentukan sikap yang bijak adalah bentuk kedaulatan diri, dan itu hanya mungkin jika masyarakat memiliki daya baca yang kuat.

856 posts

About author
Pemuda yang senang belajar dan berbagi dengan sesama.
Articles
    Related posts
    Opini

    Korupsi di Pertamina Menegaskan Fakta Jalan Menuju Kehancuran Sebuah Negara

    2 Mins read
    Opini

    Kata-kata sebagai Medium Perjumpaan Dua Ruh

    3 Mins read
    Opini

    Ketua Umum PC IMM Bima: Bima Rawan Korupsi, Upaya Preventif Harus Segera Dilakukan

    2 Mins read

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *