Oleh: Bambang Prakoso (Dosen JIP UWKS, Ketua GPMB Jatim)
SEJUK.ID – Orkestra semesta dalam isi kepala berevolusi menjadi kata dan tinta. Cara kita merekonstruksi pikiran melalui kata-kata mencerminkan seberapa kuat fondasi pengetahuan kita. Membaca adalah upaya membangun pilar-pilar itu, menjembatani kesenjangan antara ide dan ekspresi. Lebih dari sekadar alat komunikasi, kata-kata adalah medium perjumpaan ruh penulis dan pembaca.
Kata-kata yang kita sampaikan bukan sekadar bunyi, melainkan pantulan pikiran yang terbentuk dari perenungan mendalam. Seperti tanah perdikan yang subur, tradisi membaca menanamkan benih-benih kosakata yang tumbuh menjadi kalimat-kalimat bernas, kritis, dan mencerahkan.
Tanpa panggung, sorot lampu, atau lengkingan suara trompet, membaca adalah cara diam-diam melatih seni berbicara. Setiap paragraf yang kita akrabi, setiap kalimat yang kita resapi, setiap kata yang kita nikmati adalah kelas retorika kecil yang mengajarkan struktur, logika, dan intonasi.
Berbicara tanpa makna ibarat drum yang nyaring bunyinya namun kosong isinya. Membaca memberi kita keluasan pengetahuan dan kedalaman ilmu, sehingga setiap kata yang diucapkan mengandung makna lebih dari sekadar getaran udara. Dalam idiom Jawa: “ojo waton omong”—jangan asal bicara. Rangkaian kata yang padat metafora mampu menyampaikan pesan dengan kaya dan efektif, tanpa kehilangan kedalaman makna.
Di tengah euforia era visual yang dinamis dan serba instan, otak kita terbiasa dengan kecepatan, namun sering kehilangan kedalaman. Tradisi membaca memaksa kita melambat, merenung, dan menggali makna—hal yang tidak bisa diberikan oleh visual instan. Teknologi informasi hanyalah alat, bukan tujuan. Tanpa membaca, kita akan gagal memahami kehidupan dalam segala dimensinya.
Dari membaca, kita belajar bahwa berbicara bukan hanya tentang merangkai kata, tetapi juga tentang merekonstruksi ide dan gagasan melalui olah pikir dan olah batin yang mampu menyentuh hati dan pikiran orang lain. Yang muncul dari hati akan sampai ke hati; yang lahir dari pikiran jernih akan menimbulkan vibrasi positif, mengalir, dan bermuara pada sikap serta tindakan yang bermakna.
Pribadi yang kaya kosakata tidak terbentuk dari latihan berbicara semata, melainkan dari tradisi membaca yang sabar dan tekun. Setiap buku menambah warna baru dalam galaksi bahasa kita, menambah partitur kata dalam pikiran, membuka tabir kebodohan, dan memperluas cakrawala pengetahuan. Para pribadi luhur yang menginspirasi dunia adalah mereka yang menjaga daya baca secara konsisten, karena setiap waktu sangat berharga.
Ketika berbicara menjadi seni, ia tidak hanya informatif, tetapi juga transformatif, bahkan inspiratif. Dari bacaan, kita memahami bahwa kata-kata mampu mengubah suasana, membangun hubungan, dan bahkan menciptakan dunia baru. Membaca memiliki sisi magis yang kuat; kekuatan kata-kata bisa melesat melintasi zaman, memengaruhi cara berpikir, mengubah kehidupan manusia, dan dalam konteks yang lebih luas, mampu memengaruhi tatanan dunia.
Paradoks kata-kata terletak pada kemampuannya untuk membangun sekaligus menghancurkan. Membaca meneteskan kebijaksanaan ke dalam batin dan pikiran, mengajarkan kita menggunakan “senjata” ini dengan bijak—untuk menyampaikan, bukan sekadar membunyikan. Membaca tidak boleh berhenti pada tataran wacana, tetapi harus bermuara pada tindakan nyata.
Ada keajaiban dalam setiap kata yang kita tulis. Ketika jari-jari menari di atas keyboard mengikuti irama pikiran, atau pena menggoreskan tinta di atas kertas, sebuah dunia baru terbuka—dunia di mana emosi menemukan tempatnya, ide-ide bermekaran, dan pikiran menjadi lebih jernih. Saat menulis, kita tidak sekadar menuangkan kata-kata, tetapi juga menyelami diri sendiri dan berdialog dengan batin. Setiap kata yang tertulis adalah pantulan emosi yang mungkin lama terpendam, membawa kelegaan seperti hujan setelah kemarau panjang.
Lebih dari itu, menulis adalah ruang di mana kreativitas diuji. Otak mencari ide-ide baru, menghubungkan hal-hal yang sebelumnya tampak tak terkait. Dari satu kata ke kata lainnya, sebuah cerita, rencana, atau solusi terlahir dengan sendirinya. Saat kita mulai menuliskan tujuan atau merencanakan hari-hari, hidup terasa lebih terarah; setiap aktivitas menjadi lebih mudah dijalani karena semua tertata rapi dalam pikiran.
Dengan menuliskan peristiwa sederhana sehari-hari, menuangkan keresahan, atau sekadar mencatat ide, kita tak hanya merasa lebih tenang, tetapi juga meningkatkan kualitas tidur, membuat tubuh terasa lebih segar, dan mengurangi stres. Menulis bukan hanya sarana berbicara dengan diri sendiri, tetapi juga jendela untuk menjangkau dunia yang lebih luas. Menulis adalah perjumpaan dua ruh—ruh penulis dan ruh pembaca.
Menulis tidak bisa menunggu momen atau inspirasi semata. Ia harus dilatih, tidak hanya dengan membaca banyak buku, tetapi juga melalui olah rasa dan kejernihan pikiran. Menulis bukan bakat bawaan, melainkan keterampilan yang diasah seiring waktu.