Opini

El Nino dan Konservasi Lingkungan: Implikasi Geopolitik dan Peran Umat Islam Indonesia

3 Mins read

Oleh: Krisna Wahyu Yanuar*

Cuaca di Indonesia hari ini mengalami perubahan yang cukup drastis, ditandai oleh peningkatan suhu, kurangnya curah hujan, dan gagal panen tanaman. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat, terutama karena sebagian besar wilayah di Indonesia masih menghadapi suhu yang sangat panas. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengidentifikasi beberapa masalah yang muncul akibat iklim ekstrem ini.

Menurut BMKG, ada tiga alasan utama untuk perubahan cuaca ini. Pertama, adanya anomali iklim El Nino yang dipengaruhi oleh suhu permukaan laut Pasifik di sebelah timur khatulistiwa. Hal ini mengakibatkan minimnya pembentukan awan hujan di Indonesia. El Niño, yang berarti “Kecil” dalam bahasa Spanyol, pertama kali ditemukan oleh nelayan Amerika Selatan pada tahun 1600 dan biasanya mencapai puncaknya sekitar bulan Desember.

El Niño dapat berdampak signifikan pada cuaca, dengan perairan yang lebih hangat menyebabkan aliran jet Pasifik bergerak ke selatan dari posisi netralnya. Dampaknya terlihat dalam kondisi kering dan hangat di wilayah utara Amerika Serikat dan Kanada, sementara di pantai teluk dan Amerika Serikat bagian tenggara, terjadi peningkatan banjir (National Ocean Service, 2023).

Kedua, anomali iklim positif Indian Ocean Dipole (IOD) di kawasan ekuator barat Samudra Hindia juga berkontribusi pada minimnya pembentukan awan hujan di Indonesia. Ini terjadi karena sinar matahari di wilayah ekuator selatan Indonesia mencapai bumi tanpa perlindungan awan hujan.

Ketiga, cuaca panas saat ini dipengaruhi oleh angin kering yang bertiup dari Australia. Angin ini menyebabkan intensifikasi musim kemarau dengan menurunkan kelembapan, meningkatkan suhu, dan menciptakan kondisi yang semakin tidak nyaman (Damiana, 2023).

Tidak hanya itu, tetapi tantangan tambahan muncul dari aktivitas manusia seperti penggundulan hutan, pembakaran hutan, perusakan habitat terumbu karang, perburuan hewan langka, dan pertumbuhan populasi yang tidak seimbang dengan eksploitasi sumber daya mineral. Pertanyaan muncul tentang bagaimana Islam, sebagai Agama penjaga, menjawab tantangan ini. Apakah Islam hanya bersifat theosentris dalam responsnya? Dan bagaimana umat Islam di Indonesia menghadapi tantangan ini menjelang tahun 2024?

Dakwah Islam sebagai Ajaran Lingkungan yang Ramah

Kehidupan di bumi ini tidak mungkin ada tanpa pola yang sempurna bagi semua makhluk yang dihuni oleh desain ilahi Allah SWT. Oleh karena itu, setiap penyimpangan, sekecil apa pun, dalam desain ini tidak hanya memengaruhi bumi tetapi juga seluruh isinya. Manusia, sebagai peran sentral, bertanggung jawab atas kepemimpinan, pengelolaan, dan pemeliharaan keseimbangan harmoni ini, yang dalam Islam dikenal sebagai Dasar Beragama. Dasar beragama umat Islam dirangkai dari tiga aspek utama: hubungan dengan Allah (Habluminallah), hubungan dengan sesama manusia (Habluminannas), dan hubungan dengan alam (Habluminalam).

Namun, seringkali manusia terputus dari hubungannya dengan alam, dan agama hanya dipandang sebagai pandangan antroposentris yang tidak beralih ke reinterpretasi ekologis. Kelalaian terhadap lingkungan dan alam turut serta mengubah pola ekosistem yang ada, mengganggu keseimbangan beragama di dunia. Padahal, Al-Qur’an memberikan pemahaman tentang konservasi lingkungan.

Mudhofir Abdullah menyatakan bahwa konservasi lingkungan adalah tujuan tertinggi dari syariah. Konservasi dianggap sebagai amanah bagi semua makhluk hidup untuk menjaga keberagaman kehidupan dengan seluruh sistemnya. Tindakan konservasi melalui pelestarian, perlindungan, pemanfaatan yang lestari, rehabilitasi, dan peningkatan mutu lingkungan sejalan dengan keberlanjutan untuk menjamin kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya dalam jangka panjang. Oleh karena itu, kehidupan manusia menjadi berarti hanya dengan adanya lingkungan yang baik. Argumen ini menegaskan bahwa konservasi lingkungan adalah tujuan tertinggi syariah (Mudhofir, 2010: 329).

Surat-surat dalam Al-Qur’an, seperti al-Baqarah (sapi), al-Ra‟d (halilintar), al-Nahl (lebah), al-Nur (cahaya), al-Anfal (binatang ternak), al-Naml (semut), al-Syams (matahari), al-Qamar (bulan), dan lain-lain, memiliki makna simbolik yang menyindir kesadaran beragama manusia terhadap lingkungan (alam) (Ahmad, 2015: 59).

Spiritualitas ekologis harus ditanamkan dan dihidupkan sebagai ruang transmisi manusia dari teks menuju konteks. Hadis Nabi yang menunjukkan keutamaan beragama dengan lingkungan dapat diilustrasikan dari HR Muslim no 328 yang berbunyi:

حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا حَبَّانُ بْنُ هِلَالٍ حَدَّثَنَا أَبَانُ حَدَّثَنَا يَحْيَى أَنَّ زَيْدًا حَدَّثَهُ أَنَّ أَبَا سَلَّامٍ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْعَرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطُّهُورُ شَطْرُ الْإِيمَانِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَأُ الْمِيزَانَ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَآَنِ أَوْ تَمْلَأُ مَا بَيْنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالصَّلَاةُ نُورٌ وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَبَايِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوبِقُهَا

Telah menceritakan kepada kami [Ishaq bin Manshur] telah menceritakan kepada kami [Habban bin Hilal] telah menceritakan kepada kami [Aban] telah menceritakan kepada kami [Yahya] bahwa [Zaid] telah menceritakan kepadanya, bahwa [Abu Salam] telah menceritakan kepadanya dari [Abu Malik al-Asy’ari] dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bersuci adalah setengah dari iman, alhamdulillah memenuhi timbangan, subhanallah dan alhamdulillah keduanya memenuhi, atau salah satunya memenuhi apa yang ada antara langit dan bumi, shalat adalah cahaya, sedekah adalah petunjuk, kesabaran adalah sinar, dan al-Qur’an adalah hujjah untuk amal kebaikanmu dan hujjah atas amal kejelekanmu. Setiap manusia adalah berusaha, maka ada orang yang menjual dirinya sehingga membebaskannya atau menghancurkannya.” (HR. Muslim 328)

Dari hadis di atas, disampaikan bahwa “Kesucian (kebersihan) itu separuh dari iman.” Dengan kata lain, kesucian atau kebersihan adalah pintu menuju keamanan (iman). Sebelumnya telah disebutkan bahwa kebersihan mencakup upaya masyarakat dalam melindungi diri dan lingkungannya dari segala sesuatu yang kotor (tidak menyenangkan), bertujuan mempertahankan kehidupan yang sehat dan nyaman. Najis, selain berpotensi berbahaya, juga mencerminkan ketidaksehatan. Karena itu, menjaga kebersihan merupakan bagian dari kewajiban beragama untuk memelihara kebiasaan yang aman dan baik, demi menjalani proses amal yang baik juga (Kadarusman, dkk.: 2022: 793).

Wacana Lingkungan Tahun 2024 Harus Tetap Tergaris

Di tengah-tengah eskalasi konflik geopolitik seperti perang Rusia-Ukraina, konflik Palestina-Israel, dan ketegangan dari negara-negara lain, umat Islam Indonesia seharusnya mampu mengambil posisi dalam wacana progresif-emansipatoris. Hal ini diperlukan untuk menjaga harmoni keberagamaan. Menyikapi transisi kepemimpinan pada tahun 2024, merupakan momentum yang sangat tepat untuk mempertahankan dan mengembangkan isu-isu lingkungan. Upaya ini bertujuan untuk memupuk kesadaran individual yang pada gilirannya dapat menuju kesadaran kolektif, menekankan pentingnya dakwah lingkungan. Dakwah lingkungan ini menjadi krusial dalam menghadapi perubahan iklim, menjaga kelestarian alam, memberikan pemahaman serta pengelolaan keterampilan yang diperlukan, dengan harapan dapat mengurangi dampak negatif dari eksploitasi lingkungan.

*) Mahasiswa UIN SATU Tulungagung

Editor: Fathan Faris Saputro

770 posts

About author
Pemuda yang senang belajar dan berbagi dengan sesama.
Articles
    Related posts
    OpiniPolitik

    Waspada “Kelompok Agamis” : Menggembosi Aksi Mengawal Demokrasi

    4 Mins read
    Opini

    Literasi di Era Scrolling: Menemukan Makna di Tengah Informasi

    4 Mins read
    OpiniPolitik

    Senja Demokrasi Dinasti Jokowi

    5 Mins read

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *