ArtikelOpini

Reinvensi Hikmah Sosial dari Ramadhan

3 Mins read

Sejuk.IDRamadhan terus berlalu dan ibadah kita masih aja gitu-gitu. Belum ada yang signifikan dalam peningkatan ibadah. Bahkan biasanya pertengahan dan menuju akhir Ramadhan begini adalah saat-saat krisis semangat. Ghirah atau semangat untuk beribadah berada dibawah-bawahnya. Lagi lowbat atau low iman kalau kata anak muda jaman ini. Berbeda dengan di awal Ramadhan, yang puncak-puncaknya semangat. Sekarang mungkin terdistraksi dengan hal-hal yang terkait dengan hari raya, seperti: baju baru, jajanan hari raya, dan lain sebagainya.

Fluktuasi iman memang sangat manusiawi, tapi itu tidak boleh untuk kita jadikan alasan malas-malasan ibadah, apalagi di bulan yang penuh berkah. Bulan dimana pintu-pintu surga dibuka lebar, pintu-pintu neraka ditutup dengan rapatnya, dan setan-setan dibelenggu dengan kencangnya. Oleh karena itu, marilah kita semangat, melawan badai malas yang sedang menerpa sampai tiba saatnya hari kemenangan itu tiba (Idul Fitri).

Selama sejauh Ramadhan yang telah kita tempuh ini, pasti kita sudah mendengar khutbah atau kultum yang disampaikan di masjid-masjid. Terlebih keutamaan Bulan Ramadhan yang biasanya dari perspektif teologis (ketuhanan). Seperti: Pahala membaca Qur’an di bulan Ramadhan, Ramadhan sebagai bulan ampunan, amalan-amalan di Bulan Ramadhan, dan tema-tema lainnya. Namun kali ini penulis ingin mengajak para pembaca untuk ber-refleksi untuk menggali hikmah sosial yang berada di balik ibadah puasa Ramadhan, dengan mempraktekkan apa yang disebut Max Weber sebagai metode verstehen atau interpretative understanding supaya kita menemukan betapa banyaknya hikmah ibadah puasa Ramadhan.

Jika kita mau merefleksikan ibadah puasa Ramadhan ini, maka kita akan menemukan banyak sekali hikmah di baliknya, termasuk hikmah sosial. Bulan Ramadhan tidak hanya ingin menjadikan kita memperoleh kesholehan individual, tapi juga untuk mencapai kesholehan sosial. La‘allakum tattaquun. Ada berbagai interpretasi mengenai taqwa, tapi intinya adalah kondisi ekuilibrium relasi antara kepada Allah, manusia, dan alam. Itulah puncak keberhasilan dari ibadah puasa Ramadhan; memperoleh predikat taqwa.

Adapun beberapa hikmah sosial yang dapat kita petik dari ibadah puasa Ramadhan jika kita mau untuk berkontemplasi, antara lain:

Menghidupkan Kepekaan Sosial

Pada bulan Ramadhan, kita diwajibkan untuk berpuasa, yaitu menahan nafsu dari makan, minum, dan perbuatan-perbuatan tercela. Kita disyariatkan untuk menahan lapar dan dahaga di siang hari yang terik. Salah satu hikmah sosialnya yaitu supaya kita juga merasakan apa yang dirasakan oleh saudara-saudara kita yang fakir-miskin. Mereka terbiasa menahan lapar dan dahaga karena keterbatasan. Puasa seolah-olah mensimulasikan kita menjadi orang yang kekurangan makanan dan minuman, sehingga harus menahan nafsu perut kita.

Puasa yang memaksa kita untuk menahan lapar dan dahaga itu dapat mendidik kita untuk simpati dan empati kepada kaum fakir-miskin. Betapa susahnya mereka mencari sesuap nasi dan segelas air minum untuk kehidupannya. Untuk itu, puasa diharapkan mampu melahirkan kepekaan hati kita terhadap realitas sosial di sekeliling kita. Peka terhadap kemiskinan, kesengsaraan, dan kelaparan, serta berbagai problematika yang dialami oleh masyarakat di sekeliling kita, terlebih mereka yang tergolong pada predikat risk society (masyarakat beresiko). Kepekaan hati harus termanifestasi dalam bentuk amaliah, bukan hanya teori.

Menguatkan Solidaritas Sosial

Vibes Bulan Ramadhan tentu selalu berbeda daripada bulan-bulan biasanya. Amal jama’i semakin kentara dan terasa di bulan ini. Amal jama’i adalah amal yang dilakukan secara bersama-sama atau bahasa lain berjamaah. Pada Bulan Ramadhan, masjid menjadi semakin ramai jama’ahnya, dan majelis-majelis ilmu menjamur dimana-mana. Semangat kolektif; berkumpul dan berserikat serta bersolidaritas menguat. Amal jama’i biasa kita lakukan saat Ramadhan antara lain: Pengajian, sholat tarawih berjamaah, taddarus Qur’an bareng di masjid, buka bersama, dan lain sebagainya. Solidaritas sosial itu tumbuh dari intensitas dan kualitas pertemuan atau kolektivitas umat melalui amal-amal jama’i, serta dari kepekaan sosial yang terwujud dalam amaliah berupa zakat, infaq dan shadaqah.

Mengurangi Kriminalitas

Selain menahan nafsu makan dan minum, saat puasa juga diperintahkan untuk menahan dari perbuatan-perbuatan yang keji dan munkar. Jangankan perbuatan munkar, perbuatan yang makruh saja dilarang karena dapat merusak pahala puasa. Maka, orang yang puasanya benar, pasti tidak hanya menahan lapar dan dahaga, tapi juga menahan diri dari perbuatan-perbuatan buruk, kriminal, merugikan diri sendiri maupun orang lain dan kontraproduktif. Bahkan salah satu amalan pokok di saat Ramadhan yaitu meningkatkan sholat. Jika sholatnya telah meningkat secara kualitas dan juga kuantitas, maka akan dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Inna sholata tanha anil fakhsya’i wal munkar. Maka, paradoks, salah besar dan kurang memahami esensi dari puasa jika di masyarakat masih terdapat banyak atau bahkan meningkat tingkat kejahatan/ kriminalitas ketika Ramadhan.

Mengendalikan Konsumerisme

Puasa Ramadhan ditujukan untuk mengajarkan kita apa arti kesederhanaan. Gaya hidup yang sederhana, asketis dan tidak hedonis bukan malah meningkatkan konsumerisme. Namun paradoks sering kita jumpai atau bahkan jangan-jangan kita juga lakukan itu. Yaitu justru meningkatnya daya konsumtif masyarakat. Contoh kecilya seperti ketika berbuka puasa. Memang sebelum berbuka puasa mulut dan perut kita ingin ini itu, tapi ketika berbuka tiba, kita tidak menghabiskan makanan yang telah kita beli. Jadinya malah mubadzir. Padahal  innal mubadzirina kanu ikhwana syayatin (sesungguhnya orang-orang yang mubadzir/ pemboros itu adalah saudaranya setan). Untuk itu, mari kita pahami esensi puasa dengan baik, jika kita memahami esensi puasa dan mencoba berkontemplasi, melakukan reinvensi (pencarian kembali) hikmah puasa, maka pasti akan mampu mengendalikan konsumerisme. Justru akan terlahir karakter yang tidak konsumtif, tapi mencetak karakter yang sederhana, asketis, dan tidak hedonis.

Penulis: Muhammad Irfan Hakim, Kader HW & Mahasiswa Sosiologi UMM

692 posts

About author
Pemuda yang senang belajar dan berbagi dengan sesama.
Articles
    Related posts
    Opini

    Maafkan Semua Kesalahan

    2 Mins read
    Opini

    Risiko Menunda Pernikahan dengan Pasangan

    3 Mins read
    Opini

    SUDAH TAPI BELUM; analisis linguistik

    2 Mins read

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *