Opini

Memupuk Kualitas Bangsa dengan Budaya Literasi

4 Mins read

Sejuk.IDTingkat literasi masyarakat suatu bangsa memiliki hubungan yang vertikal
terhadap kualitas bangsa. Tingginya minat membaca buku seseorang berpengaruh
terhadap wawasan, mental, dan perilaku seseorang. Bangsa Indonesia adalah bangsa dengan tingkat literasi yang masih rendah padahal sudah 70 tahun sejak Indonesia menjadi negara merdeka. Ada banyak faktor mengapa literasi masyarakat Indonesia memiliki persentase yang rendah. Permasalahan ini harus segera mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Bagaimana wacana mengenai “melek bacaan” menjadi perhatian serius dalam semua kalangan masyarakat.

Ketika keadaan melek bacaan menjadi sebuah budaya di Indonesia. Maka, bukanlah mustahil untuk menjadi bangsa yang tidak hanya berhasil berkembang, tetapi juga sebagai bangsa yang maju. Pemerintah Indonesia juga tampak adem ayem saja ketika UNESCO mencatat indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, padasetiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat membaca. Masyarakat di Indonesia rata-rata membaca nol sampai satu buku per tahun. Kondisi ini lebih rendah dibandingkan penduduk dinegara-negara anggota ASEAN, selain Indonesia, yang membaca dua sampai tiga buku dalam setahun. Angka tersebut kian timpang saat disandingkan dengan warga Amerika Serikat yang terbiasa membaca10-20 buku per tahun. Saat bersamaan,warga Jepang membaca 10 – 15 buku setahun Akan tetapi, tidak ada diskusi panjang di media mengkritisi fenomena ini.

Tidak ada dialog dengan mengundang berbagai pakar untuk membahasnya. Tidak ada. Data itu hanya dibaca sebagai berita setengah menit yang berlalu begitu saja. Para politisi kita juga kelihatannya tidak ada yang tertarik untuk menunjukkan kepeduliannya. Mungkinkah memang tidak ada yang peduli?Fenomena termarjinalkannya budaya literasi dari diskusi-diskusi public.

Politik dan Budaya Literasi di Indonesia

Politik dan budaya literasi kita seolah-olah memang tidak berkaitan. Sepertinya elite-elite politik kita tidak pernah peduli terhadap budaya literasi. Diskusi-diskusi anggota Dewan lebih banyak menyentuh persoalan ekonomi, skandal politik, transportasi, korupsi, sampai konflik antar berbagai kepentingan di negara kita tercinta ini. Bahkan celakannya lagi, diskusi akan menjadi begitu panjang dan bersemangat, bila itu menyangkut kepentingan mereka sendiri. Gedung baru, kenaikan tunjangan, dan penyediaan fasilitas-fasilitas yang menunjang kenyamanan mereka dalam memperjuangkan’ nasib rakyat.

Budaya literasi sejatinya membutuhkan dukungan politik dari Pemerintah dan DPR. Budaya literasi berkaitan dengan masa depan bangsa, karena itu perlu mendapat perhatian serius. Selama ini dukungan dari pemerintah masih bersifat temporer. Baru ada perhatian jika peringatan harihari tertentu seperti perayaan Hari Buku Nasional beberapa bulan yang lalu, yang pelaksanaannya pun hampir sama seperti tahun-tahun sebelumnya, berlangsung sepi, baik secara seremonial maupun subtansial. Tidak ada kegiatan yang benar-benar menghentak atau menyulut kesadaran baru tentang buku, tentang budaya literasi. maupun subtansial.

Tidak ada kegiatan yang benar-benar menghentak atau menyulut kesadaran baru tentang buku,tentang budaya literasi. Sebenarnya isu budaya literasi di Indonesia sejak berkembang sejak masa Orde Lama. Pada masa itu sejumlah anggota DPR-GR yang dibentuk Presiden Soekarno menaruh perhatian serius terhadap budaya literasi. Akan tetapi hingar-bingar politik meminggirkan budaya literasi perhatian publik.

Walaupun Soekarno adalah seorang pembaca dan penulis buku, namun tidak tampak upayanya untuk menyebarkan budaya literasi. Pada masa Orde Baru, kondisinya nyaris tidak berubah. Rezim ini tidak punya perhatian banyak pada buku. Indonesia bahkan pernah mengalami krisis buku pada tahun 1973 di mana taksatu pun buku terbit pada tahun itu. Rezim Orde Baru juga tidak punya minat kepada intelektualisme. Banyak intelektual yang dipenjara karena menentang kebijakan Presiden Soeharto.

Memang pada masa akhir jabatan Presiden Soeharto sempat diadakan Bulan Buku Nasional tetapi hanya bersifat hangat-hangat tahi ayam. Soeharto dan para menterinya tak pernah kelihatansuka membaca buku. dia lebih suka memberi petunjuk kepada aparatnya.Rezim ini juga suka melarang buku-buku tertentu yang bisa menggoyangkan kekuasaan pemerintah dan militer. Harapan kembali muncul pada masa Reformasi.

Peraturan yang melarang buku-buku tertentu dihapus. Dunia perbukuan kembali bergairah. Berbagai macam buku diterbitkan. Namun itu juga bersifat temporer. Setelah sempat mengalami booming, dunia perbukuan kembali mengalami kelesuan. Mahalnya harga buku dan rendahnya minat baca masyarakat dituding sebagai biang keladi lesunya perbukuan Indonesia. Presiden Jokowi bahkan membubarkan Dewan Buku Nasional yang dibentuk pada masa Presiden SBY sehingga tidak ada lagi lembaga yang mengurusi perbukuan pada level nasional. Presiden Jokowi dan wakilnya, M. Jusuf Kalla, juga tidak pernah terlihat membaca buku. Argumentasi Presiden Jokowi ketika ditanya wartawan dalam konferensi Pers dan pernyataannya dalam forum-forum nasional dan internasional tidak menyiratkan beliau adalah seorang yang suka membaca buku.

Begitu juga anggota-anggota DPR di Senayan. Mereka mungkin membaca dan mengkoleksi buku, namun sebatas buku-buku politik dan undang-undang. Tidak terlihat mereka memahami masalah kebudayaan dan pendidikan. Apalagi artis-artis yang menjadi anggota DPR yang terhormat itu, mereka juga tidak tampak pandai dalam mengidentifikasi suatu masalah. Argumen mereka sangat dangkal. Tak terlihat mereka punya intelektualitas yang memadai untuk menjadi anggota Dewan Budaya literasi Indonesia berada dalam kondisi kritis. Mengapa Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla tampak tenang-tenang saja? Apa mereka tidak pernah membaca berita dan data statistik? Agaknya mereka juga tidak terlalu peduli pada nasib budaya literasi di Indonesia.

Meningkatkan Daya Baca Masyarakat

Bagaimana cara meningkatkan daya baca masyarakat Indonesia, sehingga akan terbentuk budaya literasi? Ada beberapa program yang layak dijalankan. Pertama, kita perlu memperbaiki
kualitas dan pemerataan pendidikan agar bisa mendorong tingkat melek huruf yang lebih tinggi. Infrastruktur (fasilitas) dan suprastruktur (Sumber Daya Manusia) perlu dikembangkan hingga
menjangkau pelosok Tanah Air. Jangan sampai ada masyarakat di pedalaman Nusantara yang masih sulit belajar garagara tidak ada sekolah, kekurangan guru, atau minim fasilitas lain. Negara bertanggung jawab memenuhi fasilitas pendidikan bagi warganya. Kedua, kita bangun lebih banyak perpustakaan di semua daerah sebagai tempat yang nyaman untuk membaca, jumlah koleksi buku yang banyak, dan menawarkan kegiatan yang menarik.

Ketiga, dibutuhkan program program berkelanjutan untuk lebih memperkenalkan buku dan mendorong minat baca buku ke sekolah dan masyarakat umum. Jangan terpaku pada seremoni, tetapi fokus pada terobosan yang lebih membumi dan memikat kamu muda untuk membaca. Para aktivis media sosial, seperti Twitter atau Facebook, juga perlu dirangkul untuk lebih sering mengunggah rangsangan membaca buku. Kita ingatkan bahwa bangsa Indonesia lahir berkat perjuangan para pemimpin setelah melihat realitas kehidupan masyarakat terjajah serta terinspirasi dari gagasan kemerdekaan bangsa yang dibaca dari buku-buku.

Buku adalah jendela dunia dan membaca adalah kuncinya. Dengan membaca buku, ilmu pengetahuan akan didapatkan. Kegiatan membaca akan menambah wawasan sekaligus memengaruhi mental dan perilaku seseorang, dan bahkan memiliki pengaruh besar bagi masyarakat. Pada gilirannya, kegemaran membaca ini akan membentuk budaya literasi yang berperan penting dalam menciptakan bangsa yang berkualitas. Akhirnya, mari kita membangun kesadaran bersama, budaya literasi Indonesia sudah berada dalam kondisi kritis.

Kalau para pemimpin kita kelihatan begitu tenang, bahkan tidak peduli, tampaknya sudah saatnya kelompok-kelompok masyarakat sipil memperjuangkan budaya literasi dan mengingatkan pemerintah dan elite politik agar segera mengambil kebijakan yang efektif. Jika tidak, Indonesia akan terus terpuruk dan menjadi negara paria. Budaya literasi adalah masalah serius.

Penulis : Muhammad Rafi Farhani (Mahasiswa Program Studi Hukum Keluarga Islam Universitas Muhammadiyah Malang)

767 posts

About author
Pemuda yang senang belajar dan berbagi dengan sesama.
Articles
    Related posts
    OpiniPolitik

    Waspada “Kelompok Agamis” : Menggembosi Aksi Mengawal Demokrasi

    4 Mins read
    Opini

    Literasi di Era Scrolling: Menemukan Makna di Tengah Informasi

    4 Mins read
    OpiniPolitik

    Senja Demokrasi Dinasti Jokowi

    5 Mins read

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *