ArtikelOpini

Peran Intelektual Mencerahkan Ruang Publik

5 Mins read

(Sumber Gambar: Redaksi SEJUK.ID)

Dalam setiap kemajuan sebuah bangsa, terdapat kelompok kaum cendekia yang memegang peran strategis. Mereka menjadi navigator penting dalam menentukan arah peradaban bangsa; dialah para kaum intelektual. Istilah intelektual, secara bahasa dimaknai sebagai cerdas, berakal, dan berpikiran jernih. Berdasarkan ilmu pengetahuan. Dalam istilah Arab disebut ‘Aqil, yang berarti orang yang berakal, orang yang mengetahui, juga berbudaya. Bentuk kata sifat dari ‘aqil adalah ‘aql yang diterjemahkan melalui terma “nalar”.

Ada dua hal penting dari makna intelektual tersebut yaitu, pertama, kecerdasan sebagai syarat utama bagi seorang dikatakan sebagai intelektual dan ditandai dengan kepemilikan ilmu pengetahuan yang luas. Itulah kenapa intelektual disebut juga sebagai cendekiawan. Kedua, tentang makna berakal. Jika merujuk pada pemikiran Raymond Williams, kata intelektual sering kali diidentikkan dengan orang yang menganut intelektualisme (intellectualism) dan kata intelektualisme merupakan bentuk lain dari rasionalisme (rationalism). Jadi intelektual dapat dipahami sebagai seorang rasionalis dan rasonalitas gagasannya menjadi indikator keintelektualan seseorang.

Karl Mannheim menyebut intelektual dengan istilah intelligensia. Menurutnya, dalam setiap masyarakat, intelligentsia yang memiliki tugas khusus (special task) untuk memberikan interpretasi dunia (an interpretation of the world) untuk masyarakat tersebut. Intelektual merupakan interpreter (penafsir) realitas politik demokrasi dengan tujuan memberikan kejelasan kepada publik agar memiliki kesadaran, pengetahuan dan pemahaman politik yang benar. Dalam perspektif lain, kaum intelektual, didefinisikan sebagai mereka yang berani berbicara kebenaran dan mengungkap kebohongan. Mereka adalah individu yang mempunyai bakat untuk mengartikulasikan pesan, pandangan dan sikapnya kepada publik.

Urgensi hadirnya kaum intelektual ditengah masyarakat adalah untuk melakukan advokasi atas lingkungan sosialnya yang tidak adil. Terlibat langsung dalam pergumulan sosial untuk menjaga akal sehat tetap kritis dan merawat agar kebenaran tidak diselewengkan. Dalam pandangan Edward Said, kaum intelektual tidak boleh netral, tapi harus mempunyai keberpihakan terhadap kelompok lemah yang tertindas.15 Dosa terbesar kaum intelektual adalah apabila ia tahu apa yang seharusnya dikatakan, tapi dia memilih diam dengan dalih apapun. Setiap orang mempunyai potensi untuk menjadi intelektual, tapi tidak semua orang bisa menjadi intelektual dengan fungsi sosialnya.

Kasus Menyimpang Intelektual

Dalam kasus Indonesia, di tengah gaung era disrupsi dan revolusi industri yang menggema, kaum intelektual muda mengalami surplus. Era disruptif adalah era dimana munculnya inovasi yang tidak terlihat dan tidak disadari, bahkan tidak diprediksi oleh organisasi atau Lembaga yang mapan sekalipun, sehingga mengganggu tatanan yang sudah ada. Namun demikian, ditengah kondisi tersebut, realitanya kaum intelektual terpolarisasi menjadi dua bentuk; intelektual yang menyelami karir birokratik dan menjadi penyokong negara dalam lingkaran kekuasaannya dan intelektual yang terbawa arus perengkingan universitas dalam kosmopolitanisme pendidikan global, sehingga kehidupan akademik terfokus untuk membuat paper atau makalah yang terindeks global (baca=scopus), namun miskin kontribusi bagi umat dan rakyat banyak. Sehingga dua arus kecenderungan intelektual itu mempunyai konsekwensi terpinggirkannya peran advokasi pengetahuan untuk masyarakat sipil. Tidak hanya peran advokasi sosial yang lumpuh tapi integritas dan moral juga pelan-pelan runtuh.

Terkait penyelewengan intelektual, Majalah tempo edisi Januari 2021 dan Februari 2021 menurunkan investigasi ihwal benang kusut praktik plagiarisme dan praktik keji dalam mengejar jurnal predator untuk sebuah gengsi universitas serta obral penghargaan doktor honoris causa kepada penguasa yang belum jelas sumbangsihnya bagi masyarakat dan kemanusiaan. Ini hanya salah satu alarm yang tak hanya menunjukkan matinya fungsi sosial kaum intelektual karena hanya tunduk dan menjadi penyokong kekuasaan, tapi juga runtuhnya integritas dan moral kaum intelektual karena lebih mengejar target World Class University dengan cara instan.

Dengan situasi seperti ini, perlu kiranya kembali merenungkan; masih adakah intelektual yang independen dalam menyampaikan gagasannya? Karena itu, perlu kiranya setiap aktivis yang menganggap dirinya sebagai intelektual tidak hanya berprofesi dengan tujuan material an sich. Ancaman khusus intelektual saat ini bukan otonomi kampus, komersialisasi pendidikan, bukan posisi pinggiran, tapi justru perangai birokratisasi-administratif yang dapat membelenggu peran dan derajat intelektual seseorang. Seharusnya, kaum intelektual bergerak bukan karena mengejar keuntungan atau karena mendapat imbalan, melainkan bergerak karena cinta kebenaran, mempunyai rasa keberpihakan pada yang lemah dan tertindas.

Hal ini tentu relevan dengan apa yang dipertanyakan oleh Antonio Gramsci tentang peran intelektual di dalam ruang publik (masyarakat). Menurutnya, semua orang pada dasarnya adalah intelektual yang mampu berpikir secara rasional, namun tidak semua orang memanfaatkan intelektualitasnya tersebut untuk memajukan masyarakat. Gramsci menyebutkan bahwa intelektual modern bukan hanya berbicara dan mengajarkan suatu ilmu, melainkan juga turut ambil bagian dalam pembangunan hegemoni. Atas dasar itu, ia membagi intelektual menjadi dua jenis, yaitu intelektual tradisional dan intelektual organik. Intelektual tradisional, menurut Gramsci, adalah intelektual yang menempatkan dirinya sebagai strata yang terpisah dari masyarakat. Intelektual semacam ini tinggal di “menara gading” institusi akademik dan hanya berkutat dengan teori-teori yang tidak praktis bagi lingkungan sosial.

Sebaliknya, intelektual organik tidak berkutat dengan hal-hal yang bersifat saintifik semata, melainkan memilih untuk mengaplikasikan pengetahuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Gramsci menyebutkan bahwa peran intelektual organik adalah memberi wawasan tentang bahasa pengetahuan dan bahasa ekspresi yang tepat agar masyarakat dapat mengartikulasikan hal-hal yang ia rasakan dan pikirkan. Melalui peran semacam itu masyarakat tidak akan mudah terjebak dalam dogma ideologi fundamentalis, transnasionalis, kapitalis maupun hegemoni penguasa.

Setiap orang dapat disebut sebagai intelektual yang memiliki fungsi sosial, sepanjang ia mampu memposisikan diri secara sosial untuk membela dan berkontribusi menyelesaikan persoalan-persoalan sosial-politik mendasar, meskipun menimbulkan resiko. Namun, keberanian kaum intelektual di dalam menyuarakan gagasannya diruang publik, baik ruang publik konvensional maupun digital, sebagai respon atas realitas yang dihadapi merupakan wujud totalitas sekaligus tanggung jawab kaum intelektual.

Intelektual di Ruang Publik

Pada posisi ini, peran intelektual sangat krusial pada ruang publik digital dengan mengimbangi berbagai isu dan wacana yang berkembang di ruang publik dengan cara mengkounter informasi viral yang sering kali menyesatkan atau merusak nalar umat yang sengaja dan sistematis diseminasikan oleh para pendengung bayaran (buzzers). Mekanisme kounter isu atau wacana tersebut juga dapat dilakukan dengan cara melibatkan pendengung organik (the organic buzzers) yang diaktivasi dan diorganisasikan oleh para intelektual muda melalui berbagai komunitas.

Melalui berbagai sarana dan media, intelektual diharapkan dapat menyajikan wacana dan gagasan alternatif yang sekiranya bisa meningkatkan literasi keagamaan umat/publik. Merujuk pada gagasan Gramsci, kemauan kaum intelektual menjalankan fungsi sosialnya. Yakni, intelektual yang senantiasa menyebarkan gagasan yang mencerahkan, berkualitas, dan positif serta memberikan kontribusi ilmu pengetahuan, daya tenaga untuk menemani dan memberdaya kondisi sosial ekonomi masyarakat secara kongkrit. Dalam pandangan Julien Benda, intelektual yang mampu adaptif dan inovatif merupakan intelektual sejati. Mereka adalah intelektual yang memiliki kepribadian kuat, siap menanggung resiko, pantang menyerah atas masalah praktis (practical concerns), dan memiliki keberanian untuk menjadi oposisi permanen terhadap ketidakadilan dan penindasan.

Sebagai ruang dialog dan diskusi, ruang publik digital maupun konvensional, harus menjadi pasar gagasan (market of ideas) intelektual dimana gagasan-gagasan dikontestasikan. Isu-isu strategis didiskusikan agar terbangun pemahaman publik yang benar. Publik manjadi tercerahkan, sehingga mereka tidak terjebak dalam lingkaran setan (devil’s circle) hoaks, misinformasi, dan bahkan ujaran kebencian. Dengan demikian, ruang publik dapat menjadi mekanisme preventif bagi potensi terulangnya praktek wacana pasca-kebenaran (post-truth) tentang ajaran agama. Di ruang publik, berbagai gagasan fundamentalis, pesan propaganda maupun ujaran kebencian diverifikasi melalui diskusi rasional-kritis. Jadi, ruang publik bisa menjadi mekanisme proteksi umat dari serangan pesan propaganda, fundamentalis, atau bahkan destruktif.

Ruang publik dapat dioptimalkan menyehatkan nalar publik umat. Upaya peningkatkan literasi umat/publik dapat dilakukan dengan mentransformasikan melalui berbagai media, semisal: e-books, e-paper, e-buletin, e-magazine, e-journal, e-flayer, youtube, socmed, atau media kreatif lainnya. Dengan ruang publik tersebut, lanskap literasi keagamaan moderat dan inklusif tidak sekedar menjadi lebih interaktif tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu, tetapi juga berbasiskan media literasi yang melimpah (abundantly informed). Internet telah merubah cara publik berdialektika.

34 posts

About author
Penulis adalah Alumnus Program Studi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang.
Articles
Related posts
OpiniPolitik

Waspada “Kelompok Agamis” : Menggembosi Aksi Mengawal Demokrasi

4 Mins read
Artikel

Menyikapi Tanda-Tanda Kiamat dengan Kesadaran dan Perubahan

2 Mins read
Opini

Literasi di Era Scrolling: Menemukan Makna di Tengah Informasi

4 Mins read

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *