Sejuk.ID – Sebagai masyarakat di era globalisasi saat ini menawarkan kesempatan dan kemudahan yang luar biasa bagi siapa saja yang mau dan mampu memanfaatkannya, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan seluruh umat manusia. Namun tak jarang di era globalisasi ini juga membawa dampak negatif bagi siapa saja yang gagal membentengi diri dengan berbagai akhlak mulia, dan berkembangnya teknologi dan kemudahan akses informasi saat ini, sangat penting bagi anak-anak untuk mendapatkan pendidikan seksual yang akurat dan dimulai dari sejak dini.
Pendidikan seksual merupakan informasi penting yang perlu diketahui oleh anak-anak yang berusia antara 3-4 tahun, anak mulai memperhatikan dunia di sekitarnya dan ia akan mulai belajar untuk mengenali tubuhnya sendiri dan membandingkan dirinya dengan teman temannya. Banyak orang yang beranggapan bahwa pendidikan seksual merupakan hal yang biasa untuk dibicarakan. Namun sayangnya, hal ini justru berakibat anak agar lebih sadar dan peduli dengan kesehatan seksual di masa depan.
Menurut implementasi UU No.23 tahun 2003 tentang perlindungan anak yang diharapkan adalah semakin banyaknya berita mengenai child sexual abuse. Fakta yang menyedihkan adalah anak-anak menjadi korban sexual abuse disaat usia mereka terbilang masih sangat muda. Penyebab anak anak yang membuat mudah menjadi sasaran child sexual abuse yaitu anak anak yang polos, percaya dengan perkataan orang dewasa. (Solihin 2015)
Anak-anak yang di usia masih sangat muda, yang tidak mampu melihat motivasi yang dimiliki oleh orang dewasa, mereka harus diajarkan untuk menurut kepada orang dewasa. Secara ilmiah, anak-anak memiliki rasa ingin tahu mengenai tubuhnya dan anak-anak diasingkan dari informasi yang berkaitan dengan seksualitasnya. Para usia remaja secara sederhana merupakan banyak sekali yang menjadi korban pada kelompok usia 11-24 tahun.
Masa ini adalah masa yang paling berbahaya secara transisi maupun secara psikologis dan fisiologis. Terlebih jika dipengaruhi oleh faktor stimulus dari lingkungan, kepribadian, serta keberfungsian keluarga dan pengaruh teman sebaya. Perkembangan perilaku tersebut diikuti oleh perkembangan sosial. Hal itulah yang menyebabkan mereka menjadi rentan terhadap pengaruh buruk dari luar yang saat ini memicu timbulnya perilaku seksual yang menyimpang dan berisiko tinggi.
Hasil survei yang dilakukan kru Deteksi (Jawa pos) pada bulan Mei 2003 mengungkap tentang kehidupan seks para remaja pada umumnya yang dilakukan di Jakarta dan Surabaya dengan mengambil sampel siswa-siswi SMA dan para Mahasiswa dari perguruan tinggi. Adapun jumlah responden mencapai sebesar 1.522. Hasil dari survey tersebut, menyatakan bahwa dari Jakarta terdapat 10,9% pernah melakukan hubungan seks sebelum menikah, dan untuk dari Surabaya, pernah melakukan hubungan seks di luar nikah sebanyak 12,4%.
Dan kebanyakan dari mereka, mengaku bahwa mereka melakukan hubungan tersebut dengan pacar atau orang yang dicintainya, dengan presentase sebanyak 73, 4% untuk wilayah Jakarta, sementara untuk wilayah Surabaya sebanyak 79,4%. Selain kasus di atas, terdapat pula kasus serupa seperti yang terjadi di Jakarta, tepatnya di Hotel Parmin dan Hotel Asri. Dari kedua hotel ini, 10 pasangan muda-mudi diamankan oleh aparat kepolisian, karena tertangkap basah sedang melakukan hubungan intim layaknya pasangan suami-istri, padahal mereka belum memiliki ikatan untuk menikah.
Kekerasan terhadap perempuan adalah kekerasan seksual. Dari data yang ada tampak bahwa kekerasan seksual di tempat terbuka sama banyaknya dengan kekerasan non seksual. Kekerasan seksual sering disamakan dengan pelecehan seksual. Dari perspektif bahwa perempuan sebagai korban, keduanya memang tidak berbeda. Dan selanjutnya, dalam tulisan ini pun keduanya tidak dibedakan dan tulisan ini lebih banyak menggunakan istilah pelecahan seksual daripada kekerasan seksual.
Pada peristiwa pelecehan seksual, sebagian besar korban dari kaum perempuan dan pelakunya hampir dari kaum laki-laki. Tidak berarti bahwa tidak ada laki-laki yang mengalami pelecehan seksual, namun jumlah dan porsinya tergolong kecil. Berdasarkan aspek perilaku (Sri Kurnianingsih 2003), yang mendefinisikan pelecehan seksual sebagai rayuan seksual yang tidak di kehendaki penerimanya. Rayuan tersebut muncul dalam beragam bentuk baik secara halus, kasar, terbuka, fisik maupun verbal dan bersifat searah. Bentuk umum dari pelecehan seksual adalah verbal dan godaan secara fisik.
Pelecehan secara verbal lebih banyak daripada secara fisik. Para ahli tersebut menyebutkan pelecehan seksual dalam bentuk verbal adalah bujukan seksual yang tidak diharapkan, dalam bentuk candaan atau pesan seksual yang terus menerus, mengajak kencan terus menerus walaupun sudah ditolak, pesan yang menghina atau merendahkan, komentar yang sugestif atau cabul, ungkapan sexist mengenai pakaian, tubuh atau aktivitas seksual perempuan, permintaan pelayanan seksual yang dinyatakan dengan ancaman tidak langsung maupun terbuka.
Remaja berkembang dengan cara yang sehat secara sosial artinya mampu mempertimbangkan nilai nilai sosial yang ada di sekitarnya dalam menampilkan perilaku positif tertentu yang berakar dari nilai agama dan budaya. Mampu meyakini diri dan beradaptasi secara sehat dengan nilai dan norma yang diyakini. Kemudian bertanggung jawab dengan bersikap menghargai diri sendiri maupun orang lain, mampu mengendalikan dan mengontrol diri, memilih teman yang bermanfaat dan menjauhkan teman-teman yang negatif, memahami konsekuensi tingkah laku dan siap menerima resiko dari tingkah lakunya tersebut.
Pelecehan seksual terhadap perempuan merupakan dampak negatif. Ketika dibiarkan itu terjadi, persoalannya tidak dapat terpecahkan. Maka, sebagai pelaku pelecehan seksual terhadap perempuan, sebelum anak-anak beranjak ke usia dewasa pertama-tama yang harus dilakukan adalah menanamkan kepada anak-anak tentang pendidikan seksual sejak usia dini. Oleh karena itu, para orang tua seharusnya jangan merasa takut, jika anak-anaknya nanti akan berpikiran negatif tentang masalah seks. Untuk para orang tua, jangan menunda-nunda dalam melakukan pemberian pendidikan seks kepada mereka. Keluarga pun juga harus dapat membangun komunikasi yang baik bersama dengan anak-anaknya, sehingga rasa penasaran anak terhadap masalah seks dapat teratasi dengan bijak.
Penulis : Else Rukmamaya (Mahasiswi Semester Satu Prodi Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang)