Oleh: Muhammad Bagus Saputro*
Apa yang Dimaksud dengan Ikhlas? Ikhlas adalah suatu keadaan batiniah yang tidak dapat diamati secara langsung. Ikhlas merupakan syarat esensial bagi setiap ibadah. Sebagai hasil dari niat, ikhlas tidak dapat dipisahkan dari proses berpikir. Secara etimologis, kata “ikhlas” merujuk pada kebersihan, kemurnian, dan ketulusan tanpa campuran dengan unsur lainnya. Ikhlas menjadi pemisah antara diterimanya atau ditolaknya suatu amal perbuatan. Dengan demikian, tindakan baik tanpa keikhlasan dapat menjadi sia-sia.
Tidak ada manusia yang mampu menilai tingkat keikhlasan seseorang, kecuali Allah, karena niat berada dalam hati yang tidak terlihat. Meskipun manusia dapat melihat beberapa indikator yang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, namun kebenaran sejatinya hanya diketahui oleh Allah yang Maha Mengetahui.
Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman,
وَأَسِرُّوا۟ قَوْلَكُمْ أَوِ ٱجْهَرُوا۟ بِهِۦٓ ۖ إِنَّهُۥ عَلِيمٌۢ بِذَاتِ ٱلصُّدُورِ
أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ ٱللَّطِيفُ ٱلْخَبِيرُ
“Dan rahasiakan perkataanmu atau nyatakanlah, sungguh Dia Maha Mengetahui isi hati. Apakah (pantas) Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui? Dan Dia Maha Halus, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Mulk:13-14)
Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas mentaati-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah:5)
Menurut Dr. Yusuf al-Qordawi, Ikhlas adalah “ketulusan dalam mengabdi kepada Tuhan, dengan segenap hati, pikiran, dan jiwa seseorang.” Meskipun ikhlas merupakan hasil dari niat, namun keikhlasan tidak selalu mengikuti niat.
Beberapa kasus menunjukkan bahwa seseorang mungkin berniat untuk melakukan suatu pekerjaan dengan baik, tetapi tujuannya sebenarnya adalah untuk mendapatkan imbalan, pujian, atau popularitas dari manusia. Fenomena ini dapat diamati dalam masyarakat, seperti banyaknya orang yang menjadi calon legislatif. Apakah niat mereka untuk menjadi anggota legislatif benar-benar karena Allah? Apakah tujuan mereka untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, memakmurkan bangsa, atau hanya untuk mendapatkan kekayaan, kehormatan, ketenaran, dan pujian dari masyarakat? Fakta di lapangan menunjukkan bahwa yang terakhir seringkali menjadi motivasi utama.
Tidak hanya terbatas pada aktivitas sehari-hari, kecenderungan ini juga dapat ditemukan dalam ibadah mahdah, seperti puasa atau shalat. Seseorang mungkin melakukan ibadah ini dengan tujuan mendapatkan pujian dari manusia atau ingin dikenal sebagai orang yang alim, ustadz, atau kyai.
Secara historis, pada masa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, dalam suatu syarah hadits dijelaskan bahwa seseorang ikut hijrah bersama Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam dari Makkah ke Madinah bukan karena menginginkan keutamaan hijrah, tetapi untuk menikahi seorang wanita yang bernama Ummu Qois.
Demikianlah beratnya nilai ikhlas, sehingga apabila ada seseorang yang mengklaim telah mencapai tingkat keikhlasan, tidak dapat diabaikan kemungkinan bahwa ia perlu memperbarui dan menyempurnakan keikhlasannya sekali lagi.
Di sisi lain, kata “ikhlas” menjadi identitas sebuah surah dalam Al-Qur’an, yaitu surah Al-Ikhlas, yang merupakan surah ke-112 dengan 4 ayat, dan termasuk surah Makkiyah yang turun di Makkah. Surah Al-Ikhlas dan konsep hakikat ikhlas menurut hadits-hadits Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam memiliki keterkaitan yang erat dan saling mendukung.
Beberapa definisi ikhlas melibatkan ketulusan dalam beribadah kepada Tuhan dengan sepenuh hati, pikiran, dan jiwa, mengajak untuk melakukan perbuatan baik semata-mata untuk mencari keridhaan Allah, serta menyucikan perbuatan dari segala bentuk kesenangan dunia. Ikhlas dalam ketaatan juga mencakup meninggalkan sikap riya’ atau memperlihatkan amal ibadah kepada orang lain.
Ikhlas juga dapat diartikan sebagai pelaksanaan perbuatan hamba yang benar secara lahir maupun batin. Para ulama membagi perkara ibadah menjadi dua jenis, yakni ibadah murni (ibadah mahdhoh) yang harus dilakukan berdasarkan wahyu, dan ibadah yang tidak bersifat ibadah (ibadah ghoiru mahdhoh) yang berasal dari perkara dunia. Kedua jenis ibadah ini, jika diniatkan dengan ikhlas karena Allah, memiliki nilai pahala.
Tujuan utama muakallaf (individu yang berkewajiban beribadah) dalam beribadah adalah hanya Allah, bukan yang lain. Dalam beribadah, kita diperintahkan untuk menyucikan ibadah hanya kepada-Nya, dan menjauhi niat beribadah untuk riya’ di hadapan manusia.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
حدثنا الحمیدي عبد الله بن الزبیر قال حدثنا سفیان قال حدثنا یحیى بن سعید الأنصاري قال أخبرني محمد بن إبراھیم التیممي أنھ سمع علقمة بن وقاص اللیثي یقول سمعت عمر بن الخطاب رضي الله عنھ على المنبر قال سمعت رسول الله صلى الله علیھ و سلم یقول إنما الأعمال بالنیات وإنما لكل امرىء ما نوى فمن كانت ھجرتھ إلى دنیا یصیبھا أو إلى امرأة ینكحھا فھجرتھ إلى ما جاھر إلیھ.
“Khumaidiy ‘Abdullah ibnu az – Zubair telah menceritakan kepada kami, ia berkata Sufyan telah menceritakan kepada kami, ia berkata Yahya ibnu Sa’id al – Anshariy Sulesana Volume 6 Nomor 1 Tahun 2012 telah menceritakan kepada kami, ia berkata Muhammad ibn Ibrahim at – Taimiy telah memberitahukan kepadaku, bahwasanya ia telah mendengar ‘Alqomah ibn Waqosh al – Laitsiy berkata : Saya telah mendengar ‘Umar ibn al – Khattab radiallahu ‘anhu di atas mimbar berkata : “Sesungguhnya semua amal itu tergantung dari niatnya, dan sesungguhnya apa yang diperoleh oleh seseorang adalah sesuai dengan apa yang diniatkannya. Siapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya itu akan diterima oleh Allah dan Rasul – Nya, Dan siapa yang hijrahnya Karena mencari dunia atau karena wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu hanya memperoleh apa yang diniatkannya dalam hijrahnya itu.’” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, berdasarkan hakikat ikhlas menurut hadits Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, baik dalam beribadah maupun beramal, penting untuk memurnikan tujuan dengan mencari keridhaan Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Sementara itu, surah Al-Ikhlas menjelaskan bahwa kemurnian keesaan dan penolakan terhadap segala bentuk kemusyrikan kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala saling menyatu dalam suatu titik yang sama, yaitu Tauhid.
*) Sekretaris Bidang Organisasi PD IPM Kabupaten Nganjuk
Editor: Fathan Faris Saputro