Oleh: Bambang Prakoso
SEJUK.ID – Hidup bukan soal akhir cerita, melainkan bagaimana kita melangkah setiap harinya. Pemikiran ini selaras dengan pendapat Don Quixote: “Tidak sampai pada tujuan besar, perjalanan itu sendiri adalah kemenangan.” Begitu pula halnya dengan perjuangan seorang pegiat literasi. Mereka tidak pernah tahu batas perjuangan mereka, tetapi tugas mereka adalah terus berjuang. Para pegiat ini bertumpu pada kesadaran kolektif, bergerak menuju cita-cita kedaulatan bangsa. Tidak mustahil, apa yang mereka idamkan takkan pernah mereka temui semasa hidup—mirip dengan para pejuang kemerdekaan yang tak pernah tahu kapan bangsa ini akan benar-benar merdeka. Hasil dari perjuangan mereka mungkin baru akan dinikmati oleh anak cucu kelak.
Romantisme dinamika literasi di Indonesia begitu hidup dan dinamis. Ada yang memulai dari kejernihan pikiran dan kelembutan hati, terutama individu-individu luhur dari berbagai penjuru Nusantara yang dengan sukarela menghibahkan dirinya—pikiran, gagasan, ide, harta, dan waktu. Mereka inilah para pegiat organik yang lahir dari rahim kesadaran sosial.
Namun, literasi adalah proses panjang yang memerlukan sinergi lintas pihak: pemerintah atau lembaga terkait, pegiat, media, korporasi, dan akademisi. Semua pihak ini harus merumuskan langkah bersama, duduk melingkar, berjihad, dan berikhtiar untuk menyusun strategi yang benar-benar berdampak. Sebab hingga saat ini, mimbar-mimbar seminar literasi hanya meninggalkan jejak tanpa dampak nyata terhadap pertumbuhan literasi bangsa.
Menjelang akhir tahun 2025, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) merilis data peringkat Tingkat Kegemaran Membaca (TGM) di Indonesia. Yogyakarta menduduki peringkat pertama dengan skor 79,99, disusul Kepulauan Bangka Belitung di posisi kedua (77,47), dan Jawa Timur di tempat ketiga (75,07).
Selain itu, Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) mencatat capaian menggembirakan dengan skor 73,52, melampaui target 71,4. Pada tahun 2023, IPLM mencatat skor 69,42.
Tak berhenti di situ, PNRI juga mendapatkan Rekor MURI sebagai perpustakaan tertinggi di dunia, dengan ketinggian 126,3 meter dan 24 lantai. Fasilitasnya beragam, meliputi ruang teater, layanan multimedia, ruang bermain, hingga koleksi buku yang mencapai kurang lebih 8 juta eksemplar.
Namun, ada hal menarik dari salah satu kota, yakni Kota Pahlawan (Surabaya). Tingkat Kegemaran Membaca (TGM) kota ini dilaporkan mencapai 100%. Sebagai seorang pegiat literasi dan peneliti di Surabaya, saya kaget membaca data ini. Angka tersebut terasa tidak masuk akal dan berlebihan. Dengan populasi sekitar 3,02 juta jiwa, sulit membayangkan bahwa rata-rata setiap penduduk membaca 3 buku dalam setahun, sesuai standar UNESCO.
Mengacu pada data PNRI sebelum adanya program TPBIS (Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial), satu buku bahkan harus menunggu 90 orang pembaca. Setelah TPBIS berhasil menambah koleksi hingga 10 juta buku, belum ada data terbaru yang dirilis pada awal tahun 2025 ini.
Sebagai pegiat literasi, tentu saya bangga melihat angka-angka tersebut. Namun, saya juga prihatin terhadap kondisi di lapangan. Kebanggaan ini seharusnya tidak hanya berhenti di data nasional, tetapi harus meluber hingga masyarakat pinggiran dan pedalaman. Salah satu riset mahasiswa jurusan Ilmu Perpustakaan menunjukkan bahwa di SD Negeri Sekutren, NTT—yang berada di perbatasan dengan Timor Leste—hanya terdapat 40 koleksi buku yang sudah tidak layak pakai. Banyak siswa di sekolah tersebut bahkan belum bisa membaca.
Angka-angka yang dilaporkan di atas memang dirayakan secara luar biasa. Namun, angka tetaplah angka. Capaian ini hanya menggema di ruang-ruang seminar mewah, di kalangan pejabat PNRI, Dinas Perpustakaan Daerah, hingga Dinas Perpustakaan Kabupaten/Kota.
(Bersambung…)