Opini

Billu Barber, Ketidakadilan Sosial, dan Manifesto Ketulusan

4 Mins read

Oleh: Ahmad Soleh (Penyuka film-film Bollywood; Mahasiswa Magister Pend. Bahasa Indonesia SPs Uhamka)

SEJUK.ID – Di belahan dunia manapun, orang miskin itu hidupnya sulit. Orang miskin hidupnya sengsara. Orang miskin sering ditindas. Hal itulah yang dialami Billu (diperankan Irfan Khan), seorang tukang cukur di sebuah desa kecil bernama Budbuda. Sebagai tukang cukur yang hidup di bawah garis kemiskinan, Billu menghadapi beragam persoalan dalam hidupnya. Mulai dari rongrongan rentenir sampai masalah anak-anaknya di sekolah. Apa lagi kalau bukan tidak bisa melunasi biaya bulanan sampai sekolah mau men-DO kedua anaknya. Kesedihan begitu sempurna tergambarkan dalam kehidupan keluarga Billu.

Sialnya lagi, Billu hidup di lingkungan yang tidak berpihak kepadanya. Ia sering kali direndahkan, dicemooh, dan dihina. Seolah-olah di garis tangannya memang tergambar takdir hidup dalam kesengsaraan, tangis, dan ngenes. Sampai suatu hari, masyarakat dibuat heboh dengan kehadiran Sahir Khan (Shahrukh Khan). Sahir adalah seorang aktor terkenal yang berencana syuting di desa itu untuk sebuah project film terbarunya. Yang membuat heboh warga adalah mereka mendapat informasi bahwa Billu mengenal Sahir.

Mendengar fakta itu, sikap masyarakat kepada Billu pun berubah drastis. Semua menjadi “baik hati” secara tiba-tiba, bak mantra ajaib; simsalabim lorem ipsum dolor sir amit—bukan gitu sih mantranya hehehe. Aslinya, Billu memang mengenal Sahir sangat baik. Mereka berdua adalah sahabat di masa lampau. Persahabatan keduanya begitu erat. Tak pernah tebersit dalam benak Billu untuk melupakan Sahir. Pun, ia sangat berharap Sahir demikian, meski sudah jadi superstar yang dipuja banyak orang. Kenyataannya?

Ketidakadilan Sosial

Apa yang digambarkan lewat perubahan sikap masyarakat terhadap Billu ketika tahu Billu kawannya Sahir adalah bentuk penggambaran fenomena ketidakasilan sosial. Billu yang juga hidup di lingkungan menengah ke bawah, sehingga rentan diperlakukan tidak adil. Apalagi, pada kenyataannya Billu memang “bukan siapa-siapa”, ia hanya tukang cukur kere dengan segudang masalah hidup. Ketidakadilan itu terletak pada perlakuan masyarakat terhadap orang miskin—dalam hal ini Billu dan keluarganya.

Berbuat baik secara tidak tulus, tentu bukan hal yang baik. Berbuat baik karena “ada maunya”, berharap imbalan, bahkan ada yang berharap mendapatkan keuntungan. Kebaikan semacam itu tidak akan berlangsung lama. Sebab, jika tujuan-tujuan yang menyertainya tidak tercapai, mereka akan cenderung kembali ke “setelan pabrik”, yakni menghina, mencemooh, dan merendahkan orang miskin. Itulah perlakuan yang Billu dapatkan. Padahal, secara kepribadian, Billu bukanlah orang yang problematik. Hanya saja keadaan memang belum memihak kepadanya.

Sikap mereka kepada Billu amat berlebihan. Dalam sebuah lirik lagu (yang mereka nyanyikan), hal itu amat tergambarkan:

Billu se bada hajjaam naahi re

Saari duniya mein aisa kono naam naahi re

Billu rasile more bachpan ke beli re

Billu aise seedhe nikare jaise jalebi re

 

Tak ada tukang cukur yang lebih hebat dari Billu

Di seluruh dunia tak ada nama seperti itu

Billu yang manis, teman masa kecilku

Billu keluar selurus jalebi (kue India)

 

Ya, masyarakat berlebihan memuja Billu. Sangat berbeda dengan sikap yang mereka tunjukkan sehari-hari. Dalam scene lagu tersebut, jika diperhatikan wajah Billu sama sekali tidak merasa senang dengan perlakuan istimewa tersebut. Billu lebih memilih memasang wajah kebingungan, kaget, dan mungkin merasa ini seperti mimpi. Tak pernah ia bayangkan sebelumnya dipuja banyak orang bak artis atau tokoh ternama. Padahal ia hanya sahabatnya Sahir.

Memang benar kata orang-orang, berteman dengan tukang parfum bisa membuat kita ikut terpapar wanginya. Setidaknya hal itu terjadi sesaat dalam kehidupan Billu. Sampai hari di mana Sahir syuting. Masyarakat berekspektasi Sahir akan menemui mereka dan memberikan apa yang mereka inginkan. Nyatanya tidak, Billu sendiri pun sulit menembus lokasi syuting, apalagi untuk bertemu sang aktor. Lagipula, kru film di lokasi syuting taka da yang percaya Sahir berteman dengan seorang miskin bernama Billu.

Berkali-kali Billu mencoba bertemu, tetapi selalu dihalangi, bahkan ia diusir dari lokasi syuting. Perlakuan yang pastinya tidak akan ia dapatkan seandainya para kru itu tahu kalau Billu memang benar-benar sahabat Sahir. Sayangnya Billu memang tak bisa membuktikan apa-apa kepada mereka jika tak bertemu langsung dengan Sahir. Perlakuan yang tidak mengenakkan itu pun harus ia terima. Ditambah lagi, hinaan dan cemoohan dari masyarakat yang kini menghampirinya lebih keras. Masyarakat tertipu ekspektasi mereka sendiri, mereka meragukan kebenaran yang mereka bangun sendiri.

Lagi-lagi Billu dan keluarganya harus menanggung hal itu. Ia dianggap penipu yang mengaku-aku kenal Sahir untuk dihormati. Padahal, sejak awal Billu tak pernah minta dihormati dan dipuja oleh siapa pun. Akhirnya, Billu pun putus asa dan memilih untuk berdiam diri di rumah. Sementara istrinya gelisah karena tahu kebenaran bahwa Billu memang sahabat Sahir. Istrinya (diperankan Lara Dutta) mengerti betul bahwa tak banyak yang Billu inginkan, ia hanya ingin bertemu sahabatnya tersebut dan berharap sahabatnya tak melupakan masa lalu mereka—saat sama-sama hidup susah.

Manifesto Ketulusan

Apa yang dialami Billu dalam film Billu Barber (2009) adalah juga yang dialami jutaan manusia di berbagai belahan dunia ini. Bukan soal berteman dengan artisnya, tapi hidup dalam kesulitan, kemalangan, dan ketertindasan. Tidak semua orang hidup dalam kecukupan harta dan lingkungan yang adil dan suportif. Bahkan penindas itu bisa lahir dari kalangan mereka sendiri. Billu menampilkan sosok yang tampaknya rapuh dan lemah karene kemiskinannya, tetapi ia memegang teguh keyakinannya.

Kesedihan Billu dan keluarganya menjadi representasi dari perilaku ketidakadilan sosial yang terjadi akibat adanya kesenjangan status sosial di tengah masyarakat. Dalam kehidupan sosial yang demikian, banyak orang yang manipulatif dan hidup dalam ketidaktulusan. Melakukan kebaikan demi mendapat untung dan tujuan pribadi, misalnya. Penggambaran ini tentu jadi tamparan buat kita. Perlakuan kita terkadang berbeda hanya karena seseorang lebih kaya, punya jabatan, atau kita “ada maunya” pada orang tersebut.

Kita sering terjebak pada ekspektasi “apa yang gue dapet dengan melakukan kebaikan?” sehingga lebih memikirkan diri sendiri dan menihilkan keberadaan orang lain. Apa yang ditulis Fahruddin Faiz dalam bukunya, Filsafat Moral, ini patut menjadi permenungan kita: “Apa pun yang akan kita lakukan jangan sampai hanya berhenti di level aku. Pertimbangkanlah generasi yang akan dating dan pastikan tindakan kita tidak mengancam kelestarian hidup manusia dan lingkungan.”

Memikirkan diri sendiri memang bukan tindakan yang sepenuhnya salah, tetapi hal tersebut bisa menjadi kesalahan besar ketika kita sampai merugikan dan menindas orang lain. Bahwa kebaikan, sebut Faiz, harus didasarkan pada tercapainya kebahagiaan sebagian besar orang dan tidak melanggar hak-hak individu. Ini semacam sebuah kontrak sosial yang tidak tertulis, tetapi harus dipahami di level masing-masing individu.

Di akhir film, keraguan masyarakat Desa Budbuda terjawab dengan pidato yang disampaikan Sahir di hari terakhirnya syuting di desa tersebut. Sahir menceritakan masa kecilnya yang miskin dan tidak punya apa-apa, tetapi ia punya “anugerah Tuhan”, yaitu sahabat bernama Billu. Kebenaran pun terungkap. Sahir pun menghampiri Billu dan keluarganya. Pelajaran yang harus kita petik dari kedua sahabat ini adalah pentingnya kita memiliki ketulusan dalam menjalani hidup. Dengan ketulusan kita dapat melahirkan kebaikan-kebaikan yang autentik. Kita tidak bisa mengubah banyak hal, tetapi kita bisa mengubah diri kita menjadi lebih baik.

883 posts

About author
Pemuda yang senang belajar dan berbagi dengan sesama.
Articles
    Related posts
    OpiniPolitik

    Perluasan Peran TNI: HAM dan Demokrasi Terancam

    1 Mins read
    Opini

    Korupsi di Pertamina Menegaskan Fakta Jalan Menuju Kehancuran Sebuah Negara

    2 Mins read
    Opini

    Membaca Demokrasi dan Efisiensi

    3 Mins read

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *