OpiniPolitik

Senja Demokrasi Dinasti Jokowi

5 Mins read

Isa Almasih Putra Muhammadiyah – Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa FAI UMM

SEJUK.ID – Dua bulan menjelang masa transisi pemerintah Indonesia, kita merasakan bahwa demokrasi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Meskipun selama ini, pemerintah selalu mengelak bahwa demokrasi bangsa ini tidak ada masalah, namun kenyataannya demokrasi kita sedang tercabik-cabik tubuhnya sampai hancur lebur.

Menurut laporan Kompas, indeks demokrasi Indonesia mengalami penurunan pada tahun 2019 yaitu 62 point menjadi 53 point pada 2023. Pelemahan terhadap institusi demokrasi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Mahkamah Konstitusi (MK)m enjadi sebabnya serta puncaknya adalah merenggangnya tokoh yang terindikasi sebagai pelanggar HAM dan politik dinasti pada pemilihan presiden 2024.

Selain itu intimidasi terhadap kebebasan berekspresi juga menjadi faktornya. Terbukti, bahwa terjadi peningkatan kasus serangan terhadap jurnalis pada tahun 2023 yaitu 89 kasus dibandingkan tahun 2022 yaitu 61 kasus dan tahun 2021 berjumlah 41 kasus. Lemahnya jurnalisme juga terjadi, akibat kepemilikan media yang berafiliasi terhadap partai politik tertentu dan oligarki.

Ambang Menuju Kegelapan Negara Demokrasi

Dalam sistem demokrasi tentu kita menyadari keberadaan lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif sangat diperlukan dalam menjalankan pemerintahan. Tujuannya adalah sebagai upaya untuk menciptakan pemerintahan yang berjalan seimbang yaitu, peranan legislatif mengawasi eksekutif, serta yudikatif bertugas menegakkan hukum dalam suatu negara.

Namun, kita melihat bahwa konsolidasi menuju negara yang demokratis di era Jokowi mengalami hambatan yang cukup serius. Cawe-cawe dalam percaturan politik karena ingin memajukan Gibran sebelumnya untuk melenggang sebagai wakil presiden, dinilai banyak pakar politik sebagai upaya Jokowi membangun dinasti politiknya. Meskipun berbeda dari sistem pemerintahan monarki, karena dipilih oleh rakyat, namun proses menjadi kontestan dinilai melanggar etika dalam bernegara. Ini juga ditegaskan oleh Yusril tim kuasa hukum Prabowo-Gibran bahwa, sekalipun keputusan MK tentang batas usia calon presiden dan wakil presiden memberikan kepastian hukum, namun keputusan tersebut dinilai problematik.

Keputusan Mahkamah Agung (MA) yang merubah batas usia calon 30 tahun bagi kepala daerah dan wakil daerah sejak pasangan calon terpilih dilantik, disinyalir keputusan tersebut akan menguntungkan Kaesang putra Jokowi untuk maju dalam kontestasi Pilkada 2024. Keputusan tersebut, juga dinilai sarat akan kepentingan politis. Oleh sebab itu, ini bertentangan bahwa seharusnya sebagai negara hukum, menjadikan hukum sebagai landasan dalam segala aspek kehidupan termasuk politik, bukan malah sebaliknya, hukum menjadi peralatan politik.

Pemanfaatan lembaga legislatif sebagai upaya untuk menganulir keputusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan bahwa calon kepala daerah dan wakil daerah berusia 30 tahun semenjak ditetapkan, serta dihapuskannya ambang batas kursi parlemen partai sebagai syarat mengajukan calonnya sendiri, pertanda bahwa Jokowi tidak ingin ada partai lain yang mengusung calon lain selain yang ditentukan oleh dirinya. Ini bertentangan bahwa legislatif memiliki fungsi sebagai kontroling terhadap eksekutif bukanlah malah diperalat.

Pembentukan Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus sebagai koalisi raksasa yang terdiri dari 12 partai untuk maju dalam pilkada DKI juga menunjukkan bahwa Jokowi tidak menghendaki adanya oposisi. Ini bertentangan dalam sistem demokrasi, bahwa harus ada oposisi sebagai kubu yang mengambil jarak dengan kekuasaan sehingga, dapat menjaga sikap kritis dalam mengontrol pemerintah.

Ditambah, majunya calon independen untuk menghindari narasi melawan kotak kosong di pilkada DKI Jakarta meninggalkan catatan pelanggaran hak asasi manusia. Pencabutan identitas masyarakat juga merupakan bentuk pidana, oleh sebab itu harus ada tindak tegas dari pihak yang berwenang yakni kepolisian. Meskipun begitu, KPU masih nekat menetapkan calon independen Dharma Pongrekun-Kun Wardana. Banyak pihak menilai calon ini sebagai boneka istana dan majunya dianggap sebagai formalitas saja.

Segala tindakan yang dilakukan Jokowi untuk melanggengkan dinastinya, menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia berada dalam situasi senja kala yang hampir menuju kegelapan. Tidak berjalannya sistem pembagian kekuasaan, berpotensi menjadikan pemerintahan yang totaliter. Tidak ada oposisi, tidak ada kontrol, serta penegakkan hukum yang lemah tergantung permintaan penguasa adalah bukti nyata demokrasi yang hampir mati.

Gelap Gulita dalam Nuansa Otoritarianisme

Profesor Mahfud MD, dua hari lalu 20 Agustus melalui tulisannya yang dimuat dalam media Kompas memperingatkan bahwa demokrasi berpotensi dapat membunuh demokrasi itu sendiri. Dengan mengutip pandangan Bung Hatta, menjelaskan bahwa membunuh demokrasi dengan demokrasi maksudnya adalah perampasan hak rakyat dan hak asasi manusia yang direncanakan melalui prosedur demokrasi yang formal.

Mahfud juga mengingatkan bahwa, Hitler seorang penguasa Jerman dari kelompok Nazi Pada awalnya juga dipilih melalui sistem demokrasi. Namun, seiring berjalannya waktu Hitler menjelma menjadi pemimpin yang otoriter. Perampasan hak rakyat dan kejahatan kemanusiaan terjadi dimana-mana dengan korbannya yang cukup banyak. Saking otoriternya, Hitler dikenal sebagai salah satu diktator penjahat perang dunia ke-II.

Kita semua ingat, bahwa merenggangnya Jokowi pada tahun 2014 sebagai presiden juga dipilih melalui sistem demokrasi. PDI-P sebagai pengusung Jokowi pun berharap majunya pemimpin mantan walikota Solo ini sebagai representasi ‘wong cilik’ (orang kecil), juga sebuah konsekuensi ideologi Marhaenis yang dipegang teguh oleh partai tersebut yang memperjuangkan hak-hak rakyat kecil.

Seiring berjalannya waktu, tanda-tanda kekuasaan yang mulai meninggalkan demokrasi nampak adanya. Pasca pemilu yang mengantarkan Jokowi menuju kemenangan kedua, sebagaimana termuat dalam laporan CNN 24 Oktober 2019 dengan tegas Jokowi mengatakan bahwa pada masa pemerintahannya tidak memerlukan oposisi, menurutnya demokrasi Indonesia memiliki azaz gotong royong. Dengan sikap politik itu pula, Prabowo merapat dalam kubu Jokowi.

Menjelang masa lengsernya juga, Jokowi masih berupaya membangun dinasti politiknya. Segala upaya dilakukan, melalui pelemahan institusi demokrasi, penggunaan hukum sebagai instrumen politik, serta menjadikan kasus hukum sebagai transaksi politik dalam melemahkan lawan-lawan politiknya. Dengan itu pula, banyak partai yang kadernya tersandera kasus, sehingga tidak memungkinkan jika bersikap kritis terhadap pemerintah. Pertanda bahwa demokrasi menuju gelap gulita otoritarianisme pun jika dibayangkan betapa mengerikannya. Perampasan hak-hak rakyat melalui demokrasi prosedural pemilu, menyebabkan suara rakyat tidak lagi diakomodir sebagai aspirasi yang autentik.

Maraknya kasus korupsi di antara elit lembaga politik, serta penegakkan hukum yang lemah dapat menyebabkan kehidupan masyarakat yang tidak kondusif. Korupsi yang dapat mengurangi anggaran pembangunan, serta penegakkan hukum tumpul ke atas tajam ke bawah dapat menimbulkan ketimpangan keadilan. Pada intinya otoritarianisme dapat menimbulkan krisis multi-dimensional dalam sosial, politik, ekonomi dan hukum.

Kepemimpinan otoritarianisme menyebabkan pemerintah yang tidak dapat lagi dikontrol. Upaya menyuarakan keadilan juga banyak mendapat sikap represif dari pemerintah. Pembungkaman sejumlah media komunikasi dan para aktivis, mengantarkan demokrasi Indonesia bukan lagi kepemimpinan kedaulatan rakyat, mamun demokrasi untuk membangun dinasti politik Jokowi juga kepentingan yang menguntungkan segelintir elit politik di negeri ini.

Kesadaran Kolektif Menjemput Fajar Harapan

Keberhasilan reformasi 1998, menurut beberapa catatan ialah karena adanya kesadaran secara kolektif oleh seluruh elemen rakyat Indonesia, yang merasa ada kejanggalan kebijakan, serta merasakan dampak dari kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Krisis ekonomi, minimnya keterwakilan rakyat dalam pengambilan kebijakan, hukum sebagai instrumen politik, serta kurangnya transparansi pemerintahan berdampak pada kehidupan yang tidak kondusif karena kental akan suasana korupsi, kolusi dan nepotisme.

Di era sekarang ini, kita menyadari bahwa gerakan sosial pasca reformasi banyak sekali terjadi tanpa melibatkan seluruh elemen civil society. Gerakan mahasiswa yang eksklusif dari keikutsertaan masyarakat, menimbulkan suatu gerakan yang kurang memberikan dampak. Selain itu, gerakan mahasiswa -pada batas tertentu- seringkali ditunggangi kepentingan partai politik, sehingga kajian terhadap isu yang sedang dilawan kurang mendalam serta memiliki tendensi politis dan sikap reaksioner belaka.

Gerakan sosial yang terfragmentasi kita meyakini kontribusinya sangat kecil. Keterlibatan seluruh masyarakat menjadi suatu keniscayaan mewujudkan transformasi sosial yang autentik. Peran institusi sosial seperti ormas, masyarakat umum, serta para akademisi sangat dibutuhkan untuk saling bersinergi. Menjemput fajar harapan demokrasi bukanlah suatu hal yang mudah, di gelapnya malam ketika banyak orang terlelap, kerja-kerja dalam suasana yang sunyi sangat dibutuhkan. Malam bukan sebagai simbol mati suri, malam juga bukan masalah tidak dapat diatasi. Malam dengan suasananya yang sunyi adalah kesempatan untuk merefleksikan nasib bangsa yang kian sakit jiwa raganya.

Gelap malam merupakan siklus -pada tahap tertentu- kesempatan untuk kita mempersiapkan diri menjemput hari esok. Fajar demokrasi adalah harapan kita semua, oleh sebab itu mari bersama-sama menjaga kedaulatan rakyat. Jangan sampai devide etmimpera ala Jokowi terjadi semakin parah di negeri ini, sehingga dapat melemahkan solidaritas kita semuanya sebagai putra bangsa. (*).

Editor Septi Sartika

Related posts
OpiniPolitik

Waspada “Kelompok Agamis” : Menggembosi Aksi Mengawal Demokrasi

4 Mins read
Opini

Literasi di Era Scrolling: Menemukan Makna di Tengah Informasi

4 Mins read
OpiniPolitik

Menuju Pemilu yang Lebih Adil: Suara Mahasiswa dalam Perubahan PKPU

1 Mins read

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *