Oleh: Bambang Prakoso
Dosen Ilmu Perpustakaan FISIP UWKS, Pegiat Literasi
SEJUK.ID – “Perpustakaan adalah kuil universal sekaligus firdaus agung bagi para cendekia yang merawat akal budi dan kejernihan ruhani.” Setiap bacaan meninggalkan jejak dalam memori kita. Endapan pengetahuan itu harus ditambang dan diolah menjadi kata-kata penuh makna. Saya merekonstruksi mantra literasi tersebut dari hasil olah pikiran dan olah batin, menyerap energi semesta yang termanifestasi dalam magnum opus (buku) yang berjajar di perpustakaan.
Seorang filsuf pernah berkata, manusia dibekali kecerdasan majemuk dan multidimensi. Siapa saja yang mau menggali pemadatan semesta ini akan menemukan potensi dalam dirinya. Salah satu cara untuk menggali potensi tersebut adalah dengan bertapa di kuil universal yang disebut perpustakaan. Perpustakaan adalah firdaus agung yang berada di puncak mazhab universal, yakni mazhab cinta.
Universalitas perpustakaan tak dapat disangkal oleh agama, suku, atau ras mana pun. Baik kasta Sudra, Waisya, Ksatria, Brahmana, kaum proletar, borjuis, aliran kepercayaan, ateisme, monoteisme, maupun ideologi lainnya seperti fasisme dan komunisme, semua dipersilakan bersimpuh, melingkar, dan menekuk lutut untuk mengakrabi deposit peradaban yang tersusun di rak-rak buku, di lorong-lorong cakrawala pengetahuan dalam perpustakaan.
Perpustakaan adalah rumah penuh cinta: tidak sinis, tidak sumbang, tidak mengobarkan api kebencian. Setiap pemustaka dapat menemukan cerminan dirinya dalam buku yang dibaca. Perjalanan tanpa batas, pengetahuan tanpa ujung, lautan metafor, dan hamparan panjang kata-kata menjadikan bacaan sebagai perahu untuk mengarungi gelombang makna. Samudra waktu yang tak bertepi menjadi mercusuar peradaban.
Dialog Imajiner di Perpustakaan
Suatu ketika, seorang lelaki duduk di sudut ruang perpustakaan setelah membaca buku karya Rumi. Ia menemukan kalimat yang membuatnya hanyut: “Aku hanya ingin menjadi debu yang menempel di bawah terompah.” Lelaki itu berusaha mewujudkan apa yang diinginkannya, lalu bergulat dengan isi pikirannya sendiri. Terseret oleh arus kalimat tersebut, ia melahirkan eksotisme bahasa:
“Wahai rembulan, walau tanganku tak mampu menjangkaumu,
temaram cahayamu mampu menerangi gulita malam jiwaku.
Wahai matahari, walau tanganku tak mampu meraihmu,
panas api cintamu menghangatkan kedalaman kalbuku.”
Di sudut lain, seorang pembaca duduk di kursi kayu cokelat dekat jendela. Sesekali ia mendengar desingan angin menggesek dedaunan di luar jendela. Ia membaca kidung tentang kematian Tuhan, menciptakan konsep Tuhan dari pikirannya sendiri, lalu menertawakan orang-orang yang mabuk agama. Ia melanjutkan bacaan tentang sebuah kampung berjuluk “Kampung Sejuta Kubah Masjid,” yang hampir seluruh pengurusnya terlibat korupsi. Pengelola kampung menjual agama dan dalil untuk kepentingan politik dan kelompok tertentu. Kini, kampung itu terpuruk, hampir bangkrut. Mungkin 50 tahun lagi hanya menjadi cerita, sebab kampung ini sibuk membangun isu, pencitraan, dan ornamen tanpa mengindahkan tata nilai kehidupan.
Membaca dan perpustakaan adalah dua hal yang tak terpisahkan. Siapa pun yang bertapa dengan sungguh-sungguh, bahkan menghikmati tiap kata, akan mendapatkan keberkahan hingga tiap aksara. Hal itu melahirkan sosok-sosok yang mengagumkan. “Aku tak bisa hidup tanpa buku,” ungkap Thomas Jefferson, yang merekonstruksi kalimat penuh makna lahir dari pengalaman panjang dan matang.
Dalam ilmu perpustakaan, ada kajian tentang klasifikasi. Saya mencoba mengklasifikasi tokoh-tokoh dunia yang besar karena membaca. Di antara mereka adalah negarawan seperti Sukarno, Hatta, Tan Malaka, Sutan Syahrir, Gus Dur, hingga Obama; ideolog seperti Hasan al-Banna, Gandhi, Hitler, Stalin, Mao, Khomeini, dan Karl Marx; budayawan seperti Emha Ainun Nadjib, Pri GS, dan Ajib Rosidi; teknokrat seperti Steve Jobs, Elon Musk, dan Larry Page; serta para penyair seperti WS Rendra, D. Zawawi Imron, Jalaluddin Rumi, Kahlil Gibran, Emily Dickinson, dan Pablo Neruda. Mereka lahir ke dunia bak halilintar membelah langit. Semesta bergemuruh, menggetarkan. Saat mereka bertindak dan berbicara, semesta merayakan. Masyarakat menyambut dan mengikuti mereka.
Sejarah adalah medium pengabadian biografi sosok-sosok luhur. Mereka adalah jiwa umat manusia, dengan keluasan pengetahuan dan kedalaman ilmu. Kehebatan mereka dikaji oleh banyak penulis, peneliti, dan akademisi lintas disiplin, dari beragam sudut pandang, yang menjadi embrio lahirnya teori tentang orang-orang besar. Perpustakaan adalah tempat menemukan fakta sejarah bahwa sesungguhnya buku-lah yang menghantarkan mereka menjadi sosok luar biasa. “Kalau salat adalah tiang agama, maka membaca adalah tiang peradaban.”