Oleh: Bambang Prakoso (Dosen Ilmu Perpustakaan FISIP UWKS dan Ketua GPMB Jawa Timur)
SEJUK.ID – Konsepsi besar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan hanya dapat tercapai secara maksimal jika perpustakaan menjadi elemen yang fundamental. Namun, kenyataannya, sebagian besar perpustakaan di Indonesia masih jauh dari kata layak. Kemajuan perpustakaan sangat bergantung pada pemimpin lembaga pendidikan. Jika pimpinan memahami regulasi, manfaat, dan fungsi perpustakaan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, hampir dapat dipastikan perpustakaan akan memberikan kontribusi nyata bagi lembaga tersebut. Perpustakaan, dalam hal ini, menjadi cerminan kualitas lembaga.
Sayangnya, di Indonesia, kepala sekolah dan pimpinan lembaga pendidikan lainnya umumnya belum memiliki agenda serius untuk mengembangkan perpustakaan dan literasi. Mereka sering terjebak dalam urusan administrasi. Di sisi lain, para pustakawan sering kali kekurangan modal sosial yang baik. Ketika kepala sekolah tidak memperhatikan perpustakaan, perpustakaan akan “mandek.” Buku-buku yang tersusun rapi hanya menjadi simbol mewah, memberikan kesan intelektual, namun tidak berdampak nyata.
Pemerintah sebenarnya telah menyusun banyak regulasi terkait perpustakaan, mulai dari Undang-Undang hingga peraturan daerah. Beberapa di antaranya adalah UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, PP No. 24 Tahun 2014, Standar Nasional Perpustakaan, hingga Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional. Sayangnya, meskipun regulasi tersebut sangat melimpah, implementasinya justru minim. Produk regulasi ini terkesan hanya menjadi proyek untuk menyerap anggaran semata.
Mengutip Aristoteles, regulasi atau hukum bukan hanya sekadar kumpulan aturan yang mengikat masyarakat, tetapi juga para pemangku kebijakan. Senada dengan Plato, hukum seharusnya tersusun dengan baik dan dapat mengikat masyarakat maupun pemerintah. Sayangnya, banyak perwakilan pemerintah yang tidak memahami regulasi di bidang perpustakaan, termasuk mandat UU No. 43 Tahun 2007 yang mengamanatkan alokasi 5% dari anggaran lembaga untuk perpustakaan. Berapa banyak kepala sekolah atau pustakawan yang mengetahui dan mengimplementasikan ketentuan ini?
Sebagai contoh, beberapa sekolah negeri di Jawa Timur masih memiliki kondisi perpustakaan yang sangat memprihatinkan. Padahal, sekolah-sekolah ini memiliki sumber dana dari BOS dan BPOPP, serta terkadang masih menerima partisipasi masyarakat melalui SPP, meskipun hal ini sudah dilarang. Dengan anggaran tahunan mencapai 7–10 miliar untuk sekolah yang memiliki hampir 3.000 siswa, perpustakaan tetap tidak memenuhi standar, baik dari segi koleksi, sumber daya manusia, manajemen, teknologi, tata ruang, maupun sarana prasarana. Jika sekolah besar di kota saja demikian, bagaimana dengan sekolah kecil di daerah terpencil? Sumur pengetahuan tidak dipedulikan dengan serius, dan kualitas peserta didik pun dapat terbayangkan.
Istilah “Indonesia Emas 2045” sering diplesetkan menjadi “Indonesia Cemas 2045,” dan hal ini masuk akal jika kita melihat “sumur pengetahuan”—perpustakaan—yang kering kerontang. Amanat UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa hanya menjadi wacana di ruang hampa. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak pernah membaca buku panjang dapat menjadi cerdas, berwawasan luas, kreatif, dan inovatif? Hal ini mustahil.
Pelajaran dari restorasi Kaisar Meiji di Jepang menunjukkan bahwa agenda besar pemerintah harus dimulai dari pendidikan yang serius. Guru dan siswa wajib membaca, menulis, dan melakukan penelitian. Pemerintah bahkan mengirimkan SDM potensial untuk belajar ke luar negeri, kemudian memfasilitasi mereka saat kembali untuk mengembangkan pengetahuan demi kemajuan negara.
Polymath, sebutan untuk ilmuwan yang menguasai berbagai bidang ilmu, adalah bukti sejarah bahwa kecerdasan besar sangat erat kaitannya dengan buku dan perpustakaan. Contoh dari kalangan Muslim meliputi:
- Al-Khawarizmi: ahli matematika, astronomi, dan geografi.
- Al-Kindi: menguasai filsafat, matematika, kedokteran, fisika, optik, dan astronomi.
- Ibn Sina: pakar kedokteran, matematika, astronomi, dan filsafat.
- Ibn Rusyd: ahli filsafat, hukum, kedokteran, dan teologi.
Dari kalangan non-Muslim, ada nama-nama seperti Leonardo da Vinci, Isaac Newton, hingga Winston Churchill. Para polymath ini adalah pembaca berat yang menjadikan buku sebagai sumber utama kebijaksanaan dan inovasi.
Cita-cita luhur pendidikan untuk menghasilkan output berkualitas unggul hanya akan menjadi omong kosong tanpa tindakan nyata. Perpustakaan sering kali hanya dianggap pelengkap, bahkan banyak yang berubah menjadi gudang. Padahal, perpustakaan adalah tempat sakral yang penuh keajaiban, ruh dan martabat para pembelajar serta kaum intelektual bersumber darinya. Mengabaikan perpustakaan sama saja dengan memilih kedunguan dan kebodohan.
Sebagai penutup, mari kita renungkan kisah Al-Ma’mun, seorang pemimpin Romawi yang begitu mencintai buku hingga membayar penerjemah dengan emas seberat buku yang diterjemahkan. Ia berkata, “Buku sama berharganya dengan kemenangan dalam peperangan.” Kejayaan bangsa Romawi pada masa Al-Ma’mun tidak terlepas dari kecintaan pada ilmu pengetahuan dan perpustakaan.