SEJUK.ID – Melalui pergolakan sejarah yang cukup panjang, negara kita hampir merdeka dan siap untuk memerdekakan dirinya. Satu soal yang belum terselesaikan di antara ribuan soal bangsa ini, krisis identitas! Ya, anda tidak salah membaca! Bagaimana bisa sebuah negara yang hampir merdeka namun belum mempunyai konsep dasar negara ataupun ideologi berbangsa. Apa yang akan terjadi pada sebuah negara yang menaungi berbagai suku, agama dan adat-istiadat yang begitu banyak namun tidak mempunyai satu “prinsip” mendasar untuk menyatukan mereka semua dalam naungan kedamaian dan kedaulatan? Ideologi menjadi sangat penting sebagai acuan dalam program sebuah gerakan apalagi sebagai acuan sebuah kehidupan berbangsa. Bagaimanapun itu, kita hidup di era pertarungan ideologi yang diadu dalam “colosseum” media sosial. Ideologi secara langsung maupun tidak langsung, sadar maupun tidak sadar sedikit banyak pasti mempengaruhi pemikiran kita, karena dia lahir dan diproduksi oleh sistem pengetahuan dan kekuasaan tertentu. Ideologi juga merupakan mitos yang menjadi doktrin politik yang kemudian mempengaruhi suatu pandangan atas cara kita bermasyarakat, memandang arti moral, menentukan benar-salah, mengoreksi “keadilan” hingga mengatur tingkah laku masyarakat dalam segi kehidupan duniawi.
Saat itulah, berbagai tokoh menyampaikan pandangan-pandangannya dalam “menggarap” lahan tanah air ini. Berbagai pendapat dasar negara bergema dalam sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 dan muncul rumusan dasar negara yang disampaikan oleh Ir. Soekarno dengan nama Pancasila. Secara teoritis, Pancasila merupakan falsafah negara (philosofische gronslag). Taruhlah dalam soal ini kita sepakatkan diri jika Pancasila didudukkan sebagai “ideologi” kita berbangsa dan bernegara. Maka dari itu Pancasila digunakan sebagai dasar untuk mengatur pemerintahan dan dasar untuk mengatur penyelenggaraan negara. Nilai-nilai Pancasila bersifat universal, sehingga perlu adanya internalisasi dalam penerapannya untuk kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk dalam beragama. Kepekaan terhadap realitas sosial di sekeliling kita tidak hanya mengandalkan cara-cara eksistensialisme tetapi juga memandang sisi subtansialisme untuk memahami itu semua.
Mengenai nilai-nilai Pancasila yang harus diinternalisasikan dalam kehidupan beragama, terdapat beberapa dimensi yang harus dipenuhi oleh suatu ideologi agar dia tetap dalam status quo-nya dan mampu mempertahankan relevansinya. Pertama, dimensi realitas, adalah kemampuan ideologi untuk mencerminkan realitas dan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakatnya. Kedua, dimensi idealis, adalah kemampuan dasar ideologi yang terkandung di dalam nilai-nilai dasar ideologi itu sendiri. Ketiga, dimensi fleksibilitas, dimensi ini menuntut ideologi bukan saja mampu melandasi dan meneropong perubahan atas pembaharuan masyarakat, namun juga sekaligus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan itu.
Tentu pada masa sekarang ini bentuk dan konsep beragama seperti bagaimana sering menjadi permasalahan dan menimbulkan konflik antar umat beragama bahkan antar jamaah suatu agama. Apakah Pancasila selaras dengan nilai-nilai agama terutama Islam, ataukah justru agama yang harus menyelaraskan ajarannya dengan Pancasila? Bila kita menilik kembali pada pembukaan UUD 1945 dinyatakan “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Sudah jelas dalam pembukaan ayat konstitusi tersebut dalam kemerdekaannya pun para founding fathers bangsa ini menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang ber-Tuhan. Hal tersebut diperjelas dalam alinea ke-IV UUD 1945, yaitu “…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UUD Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sudah jelas dalam UUD 1945 bahwa Indonesia adalah negara yang ber-Tuhan.
Lalu mengenai prinsip dalam Pancasila sebagai dasar negara, dapat dilihat substansinya yaitu kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau peri kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial dan ketuhanan yang berbudaya (Dahlan Thaib dkk, 1999:91). Substansi Pancasila itupun sejalan dengan prinsip agama terutama Islam sebagai mayoritas, bisa kita formulakan ketuhanan (tauhid), kemanusiaan (insaniyah), persatuan (ukhuwah), musyawarah (syura’) dan keadilan (‘adalah). Dalam pelaksanaannya menurut Prof. Dr. Syaiful Bakhri, S.H. Indonesia sebagai nation state yang tidak hanya menjunjung ayat suci namun juga harus diformulasikan atau diregulasikan menjadi ayat konstitusi, kebebasan beragama harus dilaksanakan berdasarkan tiga pilar, yaitu freedom (kebebasan), rule of law (aturan hukum), dan tolerance (toleransi).
Dalam kehidupan bergama dan berbangsa, Indonesia mempunyai karakteristik tersendiri yang menjadikan Islam di Indonesia memikat dimata dunia. Islam sebagai agama yang paripurna dan universal (Qs. Al-Maidah [5]: 2, dan Ali Imran [3]:19) sangatlah selaras dengan karakter Indonesia yang ramah, sopan dan bersahaja sehingga terwujud karakter Islam yang tidak ekstrim, kaku, dan keras dalam beragama. Karena agama dalam kehidupan masyarakat Indonesia bukan hanya kumpulan ritual ibadah dan doktrin-doktrin yang didera sedari lahir. Agama merupakan model perilaku yang tercermin dari tindakan nyata yang mendorong terwujudnya watak jujur, dipercaya, dinamis, kreatif dan berkemajuan.
Secara sosiologis wajah masyarakat Islam di Indonesia terwakili oleh dua ormas Islam terbesar di bangsa ini, yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang mempunyai pandangan Islam yang moderat. Sehingga karakter Islam yang moderat sejalan dengan watak masyarakat Indonesia yang majemuk dan mewujudkan masyarakat Islam yang toleran, terbuka, damai, dan dialogis. Islam dapat diterima di Indonesia dan Islam dapat menerima bentuk negara Indonesia. Terwakili dengan Muhammadiyah yang menerima negara Indonesia dan Pancasila sebagai Dar al-ahdi wa al-syahadah (negara perjanjian dan persaksian), serta Nahdlatul Ulama yang menyatakan NKRI Harga Mati.
Perintah Iqra dalam surat al-‘Alaq ayat 1-5 memberi contoh bahwa Islam selaras dengan cita-cita bangsa untuk “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”. Sehingga Islam sebagai agama pencerahan yang menuntun umatnya menuju cahaya kebenaran (minazh zhulumati ilan-nur) dan menyempurnakan akhlak manusia (innama bu’istsu li-utamimma makarima al-akhlaq) terwujud menjadi masyarakat Islam yang berbudi pekerti, karakter, mental, etika dan pola perilaku manusia yang luhur adab dan tata krama. Bukan masyarakat Islam yang menyalahgunakan agama sebagai ajaran yang ekstrem, menebar kebencian, permusuhan, dan konflik baik internal antar jamaah maupun eksternal antar umat beragama.
Sekarang di masa ini, di generasi ini, di zaman ini bagaimana kita merawat kemajemukan Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan beragama yang berkeadaban bukan dengan kebiadaban, tentunya dengan budi pekerti yang luhur.
Selamat Hari Lahir Pancasila!
(Oleh: Annas Firmansyah)
(Sekbid Olahraga dan Kepemudaan DPD IMM Jawa Tengah)