Oleh: Alvian Farhat*
Ideologi Pancasila merangkum seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia, menjadikannya panduan utama dalam kehidupan, mulai dari dimensi personal hingga batasan dalam kehidupan berkelompok. Prinsip-prinsip seperti Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, yang disusun melalui dinamika zaman awal kemerdekaan.
Namun, perkembangan implementasi Ideologi Pancasila telah mengalami penyimpangan, terutama yang berujung pada keterhambatan pencapaian tujuan nasional. Salah satu bentuk penyimpangan tersebut adalah aksi terorisme yang dilakukan oleh warga Indonesia terhadap sesama warga Indonesia, dipicu oleh proses radikalisme.
Radikalisme, sebagai keberpihakan suatu kelompok melawan pemerintahan, mengancam toleransi antarumat beragama, sesuatu yang sangat penting di Indonesia. Penting untuk diingat bahwa derajat manusia tetap sama tanpa memandang agama yang dianutnya. Namun, orang yang terpapar radikalisme cenderung menganggap ajaran agama yang berbeda sebagai kesalahan, bahkan dapat menyikapinya dengan genosida, yaitu pelenyapan golongan tertentu oleh sekelompok orang.
Seperti yang kita tahu, Indonesia telah mengalami serangkaian kasus terorisme signifikan sejak awal abad ke-21, termasuk bom Bali 1 dan bom Bali 2, yang menjadi pemicu gerakan nasional melawan terorisme. Setelah peristiwa bom Bali 2 pada tahun 2002, pemerintah mendirikan Detasemen Khusus (Densus 88) sebagai lembaga anti-terorisme untuk mengatasi radikalisme di Indonesia, diatur oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Namun, dalam perjalanannya, Densus 88 beberapa kali mengalami kegagalan setelah serangkaian kasus terorisme terulang, seperti kasus pengeboman 3 gereja di Surabaya pada Mei 2018. Kejadian ini menarik perhatian nasional dan internasional karena melibatkan satu keluarga sebagai pelaku, termasuk anak kecil yang terlibat dalam aksi bom bunuh diri. Enam anggota keluarga, terdiri dari ayah, ibu, dan empat anak, terlibat dalam aksi tersebut, menargetkan gereja Santa Maria dan Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Surabaya. Serangkaian aksi ini juga memicu aktivitas jaringan terorisme lainnya di Surabaya, termasuk bom di Polrestabes Surabaya dan rusunawa tempat pelaku tinggal.
Setelah dua tahun berlalu, teroris kembali berhasil melancarkan aksinya pada tahun 2020. Awal tahun itu, di depan salah satu gereja di Makassar, terjadi bom bunuh diri yang melibatkan suami istri yang menggunakan sepeda motor. Ledakan terjadi saat motor tersebut tiba di depan target, menewaskan kedua pelaku. Meskipun tidak merugikan warga sipil, insiden ini menunjukkan kurangnya tindakan pencegahan terorisme oleh pemerintah Indonesia.
Tindakan pencegahan terorisme bukanlah tanggung jawab eksklusif pemerintah, melainkan melibatkan seluruh warga Indonesia. Kepedulian dan toleransi terhadap sesama di kehidupan bermasyarakat serta tindakan pencegahan individu menjadi kunci penting dalam menyuarakan sikap anti-terorisme. Sikap saling menghargai dan toleransi tercermin dalam Sila ke-3 Persatuan Indonesia dalam Pancasila. Implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan individu merupakan fondasi bagi masyarakat Indonesia.
Dalam konteks individu, kesadaran akan implementasi Pancasila, yang terdiri dari kelima sila, menjadi dasar bagi tingkah laku dan keputusan masyarakat Indonesia. Upaya pencegahan terorisme memerlukan langkah-langkah holistik, termasuk pendidikan karakter sejak dini, promosi nilai-nilai luhur, penguatan keamanan, pemberdayaan masyarakat, komitmen politik, kerjasama internasional, penegakan hukum yang adil, dan manajemen media sosial. Pendidikan karakter bertujuan membentuk kesadaran toleransi, keadilan, dan persatuan, sementara promosi toleransi melalui kampanye publik menjadi kunci untuk memahami dan menghargai perbedaan agama, suku, dan budaya.
Penguatan keamanan nasional menjadi aspek krusial dengan meningkatnya koordinasi lembaga keamanan untuk mengawasi potensi kegiatan terorisme. Melibatkan masyarakat dalam memberikan informasi yang mendukung pencegahan juga menjadi langkah penting. Pemberdayaan masyarakat difokuskan pada partisipasi aktif dalam kegiatan sosial dan ekonomi, memberikan alternatif positif bagi individu yang rentan terpapar ideologi radikal.
Selanjutnya, komitmen politik menjadi landasan utama dengan menegaskan dukungan pemerintah dan pemimpin politik terhadap nilai-nilai Pancasila. Langkah-langkah konkret diambil untuk menanggulangi ketidakpuasan yang dapat menjadi pemicu terorisme. Kerjasama internasional dibutuhkan untuk pertukaran informasi dan koordinasi tindakan guna mengatasi jaringan teroris lintas batas.
Penegakan hukum yang adil harus dijamin untuk mencegah munculnya sentimen anti-pemerintah yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok teroris. Terakhir, manajemen media sosial dan edukasi online perlu diperkuat untuk mencegah penyebaran propaganda teroris. Ini juga akan meningkatkan literasi digital masyarakat agar dapat memilah informasi yang benar dan sehat. Melalui pendekatan ini, Indonesia dapat membangun fondasi yang kokoh dalam menjaga keamanan dan mencegah radikalisme.
Pendekatan ini diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang tidak mendukung tumbuhnya ideologi dan aksi terorisme, sambil memperkuat dasar nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penguatan implementasi nilai Pancasila juga merupakan langkah krusial yang seharusnya menjadi kesadaran setiap warga Indonesia. Nilai-nilai Pancasila, seperti gotong royong, musyawarah mufakat, keadilan sosial, dan ketuhanan yang maha esa, memiliki potensi besar untuk mengampanyekan sikap anti-radikalisme di Indonesia.
Penyebaran paham radikalisme, termasuk upaya pencucian otak, dapat dicegah melalui pemahaman yang kuat terhadap Pancasila oleh individu dalam masyarakat. Ini menempatkan pemuda sebagai agen penggerak digital yang memiliki peran utama dalam memperjuangkan gerakan anti-radikalisme di Indonesia. Selain itu, peran pemuda dalam mengadvokasi gerakan anti-radikalisme di lingkungan pendidikan juga sangat krusial, dengan mengimplementasikan pemahaman Pancasila yang telah dimiliki.
*) Mahasiswa Fakultas Teknik Jurusan Informatika Universitas Muhammadiyah Malang
Editor: Fathan Faris Saputro