Opini

Mahasiswa dan Budaya Konsumtif: Antara Gengsi dan Realita

3 Mins read

Oleh : M. Rendi Nanda Saputra

Mahasiswa dan internet dalam penggunaannya tidak dapat dipisahkan. Partisipasi mahasiswa dalam penggunaan internet memungkinkan mereka memanfaatkan berbagai fasilitas yang disediakan oleh internet, terutama dalam hal belanja. Umumnya, mahasiswa melakukan belanja online bukan didasarkan pada kebutuhan semata, melainkan demi kesenangan dan gaya hidup, sehingga menyebabkan seseorang menjadi boros atau yang lebih dikenal dengan istilah perilaku konsumtif. Menurut Jean Baudrillard, masyarakat konsumtif adalah terciptanya masyarakat yang di dalamnya terjadi pergeseran logika dalam konsumsi, yaitu dari logika kebutuhan menuju logika hasrat.

Di era globalisasi saat ini, gaya hidup konsumtif telah menjadi tren yang merebak di kalangan masyarakat, tak terkecuali mahasiswa. Hasrat untuk memiliki barang branded yang serba mewah dan mengikuti tren terkini demi menunjukkan status sosial kepada publik melalui konsumsi seakan menjadi daya tarik tersendiri bagi mahasiswa. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran atas dampak negatif budaya konsumtif pada diri mahasiswa. Budaya tersebut dapat menjerumuskan mahasiswa ke dalam gaya hidup yang kurang terkendali, biaya pengeluaran yang berlebihan, dan bisa jadi membuka jalan menuju hutang.

Fenomena ini bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi, budaya konsumtif dapat menjadi stimulus ekonomi, membuka peluang usaha baru, dan mendorong inovasi. Bagi mahasiswa, konsumsi bisa menjadi sarana untuk mengekspresikan diri, membangun relasi, dan mengikuti perkembangan zaman. Namun, di sisi lain, konsumerisme yang tak terkendali dapat menjerumuskan mahasiswa ke jurang hutang, menenggelamkan mereka dalam gaya hidup hedonistik yang semu, dan mengalihkan fokus dari tujuan utama mereka, yaitu menimba ilmu. Lalu, bagaimana mahasiswa bisa melangkah di atas tali tipis ini? Bagaimana mereka bisa menyeimbangkan antara gengsi dan realita keuangan?

Budaya Konsumtif dan Dampaknya 

Menurut KBBI, budaya adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah, sedangkan konsumtif adalah bersifat konsumsi (hanya memakai, tidak menghasilkan sendiri), bergantung pada hasil produksi pihak lain. Budaya konsumtif merupakan pola pikir dan perilaku individu atau masyarakat yang terobsesi dengan pembelian dan konsumsi barang dan jasa. Obsesi ini melampaui kebutuhan dan kemampuan finansial mereka, didorong oleh berbagai faktor seperti globalisasi, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, strategi pemasaran yang gencar, dan pergeseran nilai-nilai sosial.

Fenomena atau gejala yang dikenal sebagai “budaya konsumtif” terjadi di masyarakat modern di mana komoditas dan cara masyarakat mengkonsumsinya menjadi hal yang paling penting dalam kehidupan. Menurut hemat penulis, budaya konsumtif dapat diartikan sebagai kecenderungan individu atau masyarakat untuk membeli dan mengonsumsi barang dan jasa secara berlebihan, tanpa mempertimbangkan kebutuhan dan kemampuan finansial. Bagi mahasiswa, ini merupakan persoalan akut yang kemudian mengakibatkan tidak ada keputusan yang lebih bijak atas konsumsi sesuatu karena yang lebih diutamakan dari semua itu adalah kepuasan dan penilaian sosial atas dirinya.

Di tengah dinamika perkuliahan dan gempuran gaya hidup modern, mahasiswa rentan terjerumus dalam pola pikir dan perilaku konsumtif yang kemudian menjadikannya hedonistik. Adapun dampak negatif dari perilaku konsumtif bagi mahasiswa setidaknya terbagi menjadi tiga, yakni dampak akademik, dampak finansial, dan dampak sosial.

Dampak finansial dari budaya konsumtif menyebabkan mahasiswa mengalami krisis keuangan, ketidakmampuan dalam menabung, sehingga membuka ruang untuk terjebak pada pinjaman online. Dampak akademik dari budaya konsumtif menyebabkan kurangnya konsentrasi mahasiswa dalam kuliah atau belajar, stres dan depresi, serta kurang keterlibatan mereka dalam kegiatan positif seperti organisasi penelitian dan lain-lain. Dampak sosial, tindakan budaya konsumtif yang dilakukan dapat menyebabkan pergeseran nilai, gaya hidup yang hedonistik, dan mahasiswa terjebak dalam perbandingan status sosial atas barang yang dimiliki, sehingga bagi mahasiswa yang tidak mampu, membuatnya minder dalam bergaul serta memiliki tekanan sosial tersendiri untuk selalu mengikuti tren.

Faktor Pendorong Budaya Ini lahir 

Budaya konsumerisme, di mana membeli dan memiliki barang menjadi fokus utama dalam kehidupan, telah menjadi fenomena yang merebak di berbagai belahan dunia. Lahirnya budaya ini dipengaruhi oleh berbagai faktor kompleks, baik dari sisi individu, sosial, maupun ekonomi. Menurut hemat penulis, setidaknya terdapat empat faktor yang melatarbelakangi budaya ini, yaitu globalisasi dan perkembangan teknologi, strategi pemasaran dan psikologi konsumen, sosial budaya, dan ekonomi.

Faktor pertama adalah dampak globalisasi atas perkembangan teknologi yang memungkinkan terjadinya perdagangan bebas, sehingga membuka akses terhadap berbagai produk dan layanan dari seluruh penjuru dunia. Faktor kedua adalah strategi pemasaran dan psikologi konsumen. Perusahaan melakukan iklan secara bombastis dan berbagai upaya untuk menarik pelanggan, sehingga secara psikologis hal ini seakan mendorong konsumen untuk membeli barang yang mereka sukai, meski belum tentu menjadi kebutuhan mereka.

Faktor ketiga adalah sosial budaya. Nilai-nilai yang menekankan kesederhanaan, hidup hemat, dan upaya menabung mulai memudar, tergeser oleh budaya modern yang lebih menekankan konsumsi berlebihan untuk memenuhi gaya hidup, bukan kebutuhan hidup. Faktor keempat adalah ekonomi. Kemudahan akses kredit dan berbagai metode pembayaran, seperti pembelian secara cicilan tanpa bunga dan mudahnya akses pinjaman online, mendorong manusia untuk mengonsumsi meski mereka tidak memiliki cukup uang. Selain itu, kurangnya literasi dan numerasi tentang keuangan seringkali membuat seseorang tergoda untuk membeli meski tidak mereka butuhkan, bahkan dengan jalan berhutang.

Upaya Mengatasi dan Tinggalkan Gengsi

Mengatasi budaya konsumerisme dan meninggalkan gengsi tentu bukan hal yang mudah, tetapi ini juga bukan hal yang mustahil. Sebagai mahasiswa, kita bisa menjinakkannya dengan berbagai upaya, seperti meningkatkan kesadaran. Edukasi tentang keuangan, konsumsi berkelanjutan, dan dampak negatif budaya konsumerisme serta gengsi perlu digencarkan. Mahasiswa perlu membangun gaya hidup hemat dan sederhana, dengan menekankan pada kebahagiaan sejati, kepuasan batin, dan hubungan yang erat. Melatih diri untuk membedakan antara kebutuhan dan keinginan, serta fokus pada pembelian barang yang benar-benar dibutuhkan, merupakan langkah penting. Menunda pembelian impulsif dan mempertimbangkan kembali sebelum membeli juga perlu dilakukan.

767 posts

About author
Pemuda yang senang belajar dan berbagi dengan sesama.
Articles
    Related posts
    OpiniPolitik

    Waspada “Kelompok Agamis” : Menggembosi Aksi Mengawal Demokrasi

    4 Mins read
    Opini

    Literasi di Era Scrolling: Menemukan Makna di Tengah Informasi

    4 Mins read
    OpiniPolitik

    Senja Demokrasi Dinasti Jokowi

    5 Mins read

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *