SEJUK.ID – Dewasa ini, derasnya kemajuan teknologi informasi menjadi hal yang tak bisa dibendung. Bahkan, ketika globalisasi informasi dan budaya semakin luas seperti saat ini, aktifitas komunikasi warga dunia pun semakin cepat dan fleksibel, beragam konten informasi dari belahan dunia lain dapat masuk ke ruang-ruang pribadi dengan mudah melalui media digital. Dari situ banyak dampak positif yang bisa kita ambil darinya, namun tak sedikit pula dampak negatif yang membayangi.
Media sosial menjadi platform dari majunya teknologi informasi yang paling banyak penggunannya, baik sebagai pengguna aktif maupun pasif, baik sebagai konten kreator maupun penikmat konten. Jika hal tersebut tidak dibarengi dengan SDM yang baik, jangankan memberi manfaat, justru memberi kerugian bagi penggunannya. Meski UU ITE seringkali dipandang dan dikenal sebagai undang-undang “karet”, namun tetap saja tidak bisa kita pungkiri bahwa dalam berselancar di media sosial jika kita tidak bisa memosting hal-hal yang baik alangkah baiknya jika diam, sebab media sosial memiliki khalayak yang majemuk.
Sudah berapa banyak para konten kreator yang dihujat bahkan terjerat kasus hukum karena tidak bisa mengendalikan serta bijaksana dalam membuat sebuah konten. Sering kita mendengar ucapan dari para influencer kontroversial: “ya kalau gak suka jangan nonton konten saya”. Ini adalah contoh rendahnya SDM para konten kreator yang sudah mendapat banyak panggung.
Sistem algoritma di media sosial tidak bisa kita kendalikan, dan siapa saja yang menonton konten kita pun tidak bisa dikontrol. Konten-konten negatif seperti pornografi, kekerasan, hasutan hingga ajaran menyimpang menyebar luas. Oleh karena itu, media sosial harus dikawal dengan etika dan regulasi tegas. Bijaksanalah memberi tontonan yang layak dan mengedukasi masyarakat luas.
Yang menyebalkan, banyak konten kreator berlindung di balik ungkapan “kebebasan berbicara”. Konten SARA, adu domba, “dark jokes”, dan sejenisnya menjadi alasan untuk menghindar dari tanggung jawab. Ketika dikritik, mereka justru menyerang balik. Ini cacat logika. Jika tidak siap menerima konsekuensi publik, kenapa mengatasnamakan kebebasan?
Saya pernah melihat konten parenting dengan pakaian tidak pantas (bikini), lalu ketika dikritik, kreatornya membalas dengan hinaan seperti “iri ya gak punya body kayak gua?” dan “gua gini tapi banyak duit”. Ini adalah contoh nyata konten kreator yang belum bijak dan berpendidikan secara etika.
Warganet juga memberi panggung pada konten yang tidak bermanfaat. Semakin viral, semakin banyak uang masuk. Sayangnya, mindset “ini hak saya” menjadi pembenaran. Komentar buruk juga terjadi di konten edukatif sekalipun. Bahkan, kanal seperti Kinderflix pun menerima komentar berbau pelecehan seksual dari penonton remaja. Miris.
Pendidikan Etika & Akhlak
Dari kasus-kasus di atas, masyarakat perlu diberi bimbingan soal etika dan komunikasi di media sosial. Mata pelajaran etika dan akhlak harus diberi porsi lebih dalam sistem pendidikan kita. Bukan untuk merusak privasi, tapi menjaga hasil pendidikan dan kewarasan bangsa.
Etika adalah konsep tentang baik-buruknya perilaku manusia dan kewajiban-kewajibannya. Salah satu etika penting di media sosial adalah menjaga lisan. Rasulullah telah mengajarkan: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari-Muslim)
Perkataan yang baik punya efek besar, terutama dari publik figur. Hadits lain menyebutkan: “Sungguh jika seorang hamba mengucapkan kalimat tanpa dipikirkan terlebih dahulu, ia pun akan terlempar ke neraka sejauh antara timur dan barat.” (HR. Ibnu Hibban).
Maka guru agama jangan hanya mengajarkan dogma ritual, tetapi juga nilai-nilai kehidupan. Guru harus memberi contoh nyata.
Dalam kitab al-Jurumiyah karya Imam Ash-Shan Haji disebutkan: “Al-kalaamu huwal lafdzu al-murokabu al-mufiidu bil wadh’i” – Kalimat adalah susunan kata yang bermanfaat dan diucapkan dengan sadar. Ucapan berasal dari lisan dan hati yang sadar dan menunjukkan jalan kebaikan.
Menurut Syaikh Abdul Qadir al-Kuhin, memperbaiki lisan tanpa hati itu menyesatkan. Memperbaiki hati tanpa lisan itu tidak sempurna. Sempurna adalah memperbaiki keduanya.
Kita harus membersihkan hati agar berpikir jernih, dari situ keluar ucapan jernih dan tindakan yang jernih. Dalam falsafah Jawa: micara mentes (bernas), micara leres (jujur), dan micara teges (bermakna). Sekali lagi: “Salaamatul insaan fii khildzil lisaan” (keselamatan manusia ada pada lisannya). Ajining diri ana ing lathi!
Oleh: Annas Firmansyah
Sekbid Olahraga dan Kepemudaan DPD IMM Jawa Tengah