Ketua Umum PC IMM Bima: Bima Rawan Korupsi, Upaya Preventif Harus Segera Dilakukan
Anas Arifin, Ketua Umum PC IMM Bima
Akhir-akhir ini, kita menyaksikan banyaknya penangkapan terhadap penyelenggara negara di Indonesia lantaran melakukan tindak pidana korupsi, diantaranya termasuk hakim, anggota DPR, anggota DPRD, gubernur, bupati, walikota, dan pejabat negara lainnya. Berdasarkan Rilis Akhir Tahun 2024, yang disampaikan langsung oleh Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo pada 31 Desember 2024 di Mabes Polri Jakarta Selatan, bahwa jajaran Polri telah mengungkap 1280 perkara korupsi selama tahun 2024. Dari jumlah itu, Polri telah menyelesaikan 431 perkara atau 33,7% dan menjerat 830 orang sebagai tersangka. Dari kasus-kasus tersebut, Polri dan jajarannya telah mengidentifikasi kerugian keuangan negara senilai Rp. 4,8 triliun.
Khususnya di Kota maupun di Kabupaten Bima, beberapa kasus korupsi terus diungkap oleh penegak hukum, sebut korupsi yang dilakukan oleh eks Walikota Bima, HML, yang diungkap pada tahun 2023. Dugaan tersebut kemudian terbukti, bahwa eks Walikota Bima divonis 7 tahun penjara oleh PN Tipikor Mataram, NTB, atas kasus tindak pidana korupsi terkait pengadaan barang dan jasa di Pemerintah Kota Bima.
Kasus lainnya menjerat eks Anggota DPRD Kabupaten Bima yang berinisial B, yang divonis penjara 16 bulan oleh PN Tipikor Mataram, NTB, pada Maret 2023, atas kasus korupsi dana bantuan operasional pendidikan untuk program Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Tahun 2017-2019 dengan kerugian negara Rp. 862 juta. Korupsi dana BOS di lingkup SMAN 1 Woha yang merugikan keuangan negara sebesar Rp. 200 juta, ditemukan pada tahun 2024. Sementara tersangka atas dugaan ini adalah HJ yang merupakan Kepala SMAN 1 Woha dan telah ditahan oleh penyidik Kejari Bima.
Hasil temuan terbaru, yaitu mengenai korupsi dana Kredit Usaha Rakyat (KUR) di BSI Soetta 2 Bima, yang berdasarkan temuan penyidik Kejari Bima, kasus ini merugikan keuangan negara hingga Rp. 13 M. Saat ini, terduka pelaku telah ditahan oleh pihak penyidik. Juga kasus korupsi dana KUR di BNI Tbk Cabang Bima, yang berdasarkan temuan penyidik Polres Bima Kota bersama Tim Audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTB, kasus ini melibatkan dana sebesar Rp. 39 M. Kasus korupsi lainnya menjerat pemerintah desa, kepala sekolah, kepala dinas, camat, serta pejabat lainnya yang kian diungkap oleh pihak penegak hukum di Kota maupun Kabupaten Bima.
Dari kasus-kasus tersebut, seolah-olah korupsi sudah melekat sebagai sebuah kultur dan menjadi bahan tontonan masyarakat Kota/Kabupaten Bima. Korupsi ini sangat berdampak buruk terhadap keuangan megara/daerah, karena dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi pendapatan negara. Belum lagi, menurunnya rasa kepercayaan masyarakat terhadap institusi penyelenggara negara di daerah lantaran adanya kasus penyuapan di institusi terkait. Juga akan berdampak pada terhambatnya akses masyarakat miskin untuk memperoleh kemakmuran, serta menghambat pemberantasan kemiskinan, apalagi Bima yang saat ini masih dililit oleh kemiskinan yang merajalela di berbagai pelosok. Korupsi ini juga menunjukkan bahwa etika dan moralitas pejabat daerah atau institusi terkait sudah mengalami degradasi dan semakin hari kian amburadul.
Dalam proses penegakan hukum, kita mengenal adanya upaya preventif dan upaya represif terhadap suatu tindakan yang melawan hukum. Karenanya, perlu dipertanyakan, sudah sejauh mana langkah preventif ini dilakukan oleh pihak penegak hukum dalam mencegah korupsi? Dari situ, saya tidak bisa munafikan bagaimana langkah represif yang diambil oleh penegak hukum untuk memberantas korupsi di Bima, baik dilakukan oleh Polres Bima Kota dan Polres Bima, Kejari Bima, BPKP NTB, hingga Inspektorat. Namun, mesti kita sadari, ketika pihak penegak hukum mampu membongkar kasus demikian, bahwa itu bukanlah sebuah prestasi, melainkan itu menandakan bahwa korupsi merajalela dan menjadikan daerah ini sebagai daerah yang rawan korupsi.
Artinya apa, mestinya, pihak penegak hukum, dalam proses pemberantasan korupsi ini, melakukan langkah strategis atau upaya preventif, untuk bagaimana mencegah terjadinya tindak pidana korupsi dan meminimalisir peluang terjadinya korupsi di daerah, baik itu melalui edukasi-edukasi lewat pendidikan anti korupsi, membangun integritas dan transparansi mengenai penyelenggaraan negara di daerah, maupun dengan upaya meningkatkan kualitas etika dan moralitas pejabat di berbagai institusi daerah. Mengingat korupsi dapat merusak tujuan negara dan menimbulkan skeptisisme masyarakat, maka perlu secepatnya dilakukan upaya-upaya pencegahan tersebut.