Sejuk.ID – Ibu adalah teladan sekaligus figur pendidikan yang inspiratif bagi buah hatinya. Berbicara tentang ibu bukan sekadar aspek kodrati seperti mengandung dan melahirkan tetapi juga menjaga, mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Peran sentral sosok ibu di sebuah keluarga akan melahirkan generasi yang tangguh pula. Seorang anak mempelajari segala sesuatu di sekitarnya lewat sang ibu.
Anggapan bahwa ibu hanya sibuk bertugas di wilayah domestik semata, seperti memasak, berdandan, membersihkan setiap sudut rumah dan merawat si bayi kuranglah tepat. Sebab ibu memiliki amanah besar yang tidak kalah pentingnya dari peran seorang ayah. Bahkan, fungsi ibu bukan hanya bersifat biologis tetapi memiliki peran strategis dan politis sebagai arsitek generasi pemimpin masa depan.
Dalam khazanah Islam, Hafidz Ibrahim menyebutkan dalam bait syairnya, bahwa al-umm madrasatul al-ula, idza a’adadtaha sy’aban thayyiba al-a’raq. Artinya, ibu adalah madrasah yang pertama, jika kamu menyiapkannya, berarti kamu menyiapkan lahirnya sebuah masyarakat yang baik budi pekertinya.
Amanah mulia ini ditujukan untuk pembangunan sumber daya manusia. Artinya ibu berperan penting dalam membentuk karakter bangsa. Kemajuan sebuah negeri tergantung pada kualitas para ibu yang berpendidikan. Sehingga perempuan harus diberi pendidikan setinggi-tingginya sebagai bekal mereka untuk menjadi ibu yang berkualitas di masa depan.
Demikianlah posisi strategis dan politis mereka dalam pembangunan jangka panjang sebuah negeri. Ibu dan anak merupakan investasi untuk mengukur seberapa kualitasnya sebuah negeri. Siapa sangka dibalik tokoh-tokoh hebat diluar sana, ada seorang ibu yang mendidik dan merawat mereka sejak kecil.
Ketika ibu mengemban amanah tersebut dengan baik tumbuhlah generasi tangguh dan hebat pula. Hal ini tercermin dari sosok Ibunda Muhammad bin Ismail atau dikenal sebagai Imam Bukhari. Diriwayatkan bahwa beliau pernah mengalami kebutaan dua kali semasa hidupnya. Sang Ibu dengan gigih memotivasi Bukhori kecil untuk meraih ilmu seluas mungkin. Dan terbukti semangat dari sang ibu turun ke buah hati. Bukhori kecil tumbuh menjadi Imam besar yang sangat teliti dan detail dalam menyeleksi hadis.
Begitu besar tanggung jawab yang dibebankan kepada seorang ibu. Maka sebagai seorang anak tidak layak untuk membantah ataupun bersikap apatis dengan ajakan ibu. Bahkan Islam melarang dengan tegas berkata “ah” kepadanya. Sebab kata tersebut sarat akan rasa enggan, kesal, marah atas sesuatu yang diperintahkan oleh orang tua.
Hal ini linear dengan apa yang tertera di surat Al-Isra’ ayat 23, bahwa Allah memerintahkan berbakti kepada orang tua, berucap dengan ucapan yang baik dan melarang sekecil apapun tutur kata yang menyakiti hati mereka. Seperti merespon ujaran mereka dengan menjawab “ah”. Kata Imron At-Tamimi perkataan tersebut merupakan kata-kata kotor yang samar (Tafsir At-Thobari).
Maka jelas seorang anak memiliki kewajiban untuk berbakti kepada kedua orang tua. Ini merupakan konsekuensi logis sebagai anak untuk taat dengan penuh cinta kepada keduanya. Terlebih lagi, jika dia seorang muslim yang beriman.
Dan banyak disebutkan dalam Quran maupun hadis mengenai kedudukan ibu dalam Islam. Dalam surat Al-Ahqaaf ayat 15 dijelaskan akan hak ibu terhadap anaknya. Bahwa ibu mengalami tiga macam kepayahan. Pertama adalah hamil, kedua melahirkan dan terakhir menyusui. Ketiga bentuk kehormatan itu hanya dimiliki seorang ibu. Kebaikannya tiga kali lebih besar daripada ayah (Al-Qurthubi).
Rasul sendiri menyampaikan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Bahwa orang yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dan dimuliakan adalah ibu. Bahkan Rasul juga menegaskan kata “ibu” sebanyak tiga kali pengulangan lalu ayah. Hal ini menunjukkan betapa mulia dan dimuliakan sosok ibu dalam Islam.
Begitulah hubungan ibu dan anak, keduanya tidak dapat dipisahkan. Pengasuhan dan bimbingan dengan iman yang kokoh serta cerdas mampu melahirkan generasi pemimpin yang kuat sehingga siap menebarkan manfaat.
Perjuangan seorang ibu berbanding lurus dengan kesuksesan yang diraih. Ia harus mampu menjadi sosok idola dan teladan yang baik bagi anak. Akibatnya anak akan memiliki visi hidup yang jelas dan lebih dekat dengan nilai ruhiyah yang ditanamkan sejak kecil. Anak tidak akan repot mencari sosok idola diluar rumah. Karena Ibu sudah lebih dari kata cukup untuk digugu dan ditiru.
Perlu ditegaskan ulang, pembangunan sumber daya manusia untuk negeri harus dimulai dari ibu. Tugas mulia ini harus dilanjutkan dalam acara-acara dengan langkah yang tepat. Seperti Hari Ibu yang jatuh pada tanggal 22 Desember. Akan halnya, momentum seperti ini seharusnya tidak hanya diekspresikan melalui ucapan terimakasih anak kepada ibunda. Namun ada perubahan progresif yang menghantarkan pada kemajuan masyarakat.
Sehingga esensi Hari Ibu tidak mengalami distorsi yang dimaknai sebatas kasih anak kepada ibunya dan menghindari kesempitan makna syukur yang terbatas pada momentum tertentu. Sebab berbakti tidak perlu diperingati dengan momentum tahunan, tapi perwujudan akhlak setiap saat.
Peran kaum ibu harus disadarkan kembali pada fitrahnya yaitu menyiapkan putra putri bangsa negeri untuk menjadi the next generation atau pemimpin umat di masa mendatang. Oleh karenanya, para ibu tidak boleh berpendidikan rendah, bila menginginkan peradaban bangsa yang maju. Menyiapkan para ibu sama halnya dengan menyiapkan peradaban bangsa dan negara.
Megaproyek semacam ini diharap mampu dikecap oleh semua lapisan masyarakat. Maka pemerintah berperan besar untuk merealisasikan dan melirik dengan penuh perhatian. Partisipasi para pejabat negara sangat menentukan keberhasilan dalam membangun negeri yang maju dan berperadaban.
Peran ganda yang dipikul oleh ibu seorang selayaknya mendapatkan atensi serta fokus maksimal. Karena merekalah salah satu bagian terpenting untuk menciptakan peradaban. Rusaknya peran ibu awal mula rusaknya generasi negeri.
Penulis : Mohammad Jiddan Imaduddin (mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang)