Sejuk.ID – Bulan suci Ramadhan sebentar lagi tiba. Bulan ini begitu istimewa bagi umat Muslim. Dalam rangka menyemai semangat menyambut bulan suci Ramadhan 1444 Hijriyah, Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA (Uhamka) menggelar kegiatan Tarhib Ramadhan di Aula Ahmad Dahlan Kampus FKIP Uhamka, Jakarta Timur, Jumat (17/4).
Sejak jauh-jauh hari, PP Muhammadiyah secara resmi telah memutuskan, 1 Ramadhan 1444 Hijriyah jatuh pada Kamis, 23 Maret 2023, dan 1 Syawwal atau Idul Fitri 1444 Hijriyah jatuh pada tanggal 21 April 2023.
Rektor Uhamka Prof Gunawan Suryoputro M.Hum, dalam sambutannya menjelaskan bahwa kegiatan Tahrib Ramadhan 1444 H ini diselenggarakan atas inisiasi LPP AIK Uhamka, yang kemudian dilanjutkan dengan rangkaian event Gebyar Ramadhan Uhamka, yang digelar secara online dan telah menjangkau peserta dari mancanegara.
Kegiatan Tarhib Ramadhan yang mengusung tema “Ramadhan Menyulam Kecerdasan Spiritual, Intelektual, Emosional, dan Sosial” ini, juga akan dilanjutkan dengan Pengajian Ramadhan PP Muhammadiyah yang akan digelar pada 31 Maret-4 April 2023. Selain itu, dalam rangka menggembirakan menyambut Ramadhan, Uhamka juga mengadakan tradisi munggahan, dengan adanyapembagian daging untuk segenap civitas academica Uhamka.
“Ini bulan yang penting untuk kita semua, sehingga dapat menjadi motivasi dan inpirasi kita semua untuk berkhidmat di Uhamka,” ujarnya, Jumat (17/3)
Hakikat Iman dan Puasa
Ketua PP Muhammadiyah, Dr. KH. Saad Ibrahim, MA., yang hadir sebagai narasumber menjelaskan kandungan surah al baqarah 183, yang berbunyi: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Menurut KH Saad, pada bagian awal ayat tersebut mengandung makna syarat utama untuk sempurnanya puasa adalah iman. “Sehingga dapat kita rumuskan paradigma bahwa baik buruknya puasa kita bergantung pada baik buruknya iman kita,” ujarnya, Jumat (17/3).
Dia melanjutkan, di akhir ayat disebutkan, ibadah puasa terkait dengan persoalan tubuh dan mental, maka tidak hanya pada kita, orang-orang terdahulu pun berpuasa. “Laallakum tattaqun”, kata dia, bermakna tidak mungkin seseorang pada posisi istimraru taqwa (takwa terus-menerus), kecuali orang itu sempurna iman dan puasanya.
“Iman berhubungan dengan dimensi dalam kita. Iman itu tidak nampak, tetapi indikasi-indikasinya memang tampak,” kata KH Saad menjelaskan.
Kemudian, dia menjelaskan, ashaum (puasa) secara hakikat adalah al imsak, yang berarti menahan diri. Puasa disebut dengan “al-imsak ‘anil akl wa al-syurb wa al-jima.” Artinya, secara etimologis, puasa berarti mengendalikan diri dari makan, minum, dan hubungan suami-istri. “Hal ini lebih tampak sebagai hal yang terkait dengan dimensi fisik kita,” ungkap KH Saad.
Mendidik Mentalitas Kita
KH Saad juga menjelaskan, dalam kajian filsafat dan psikologi ada aliran-aliran yang membahas tentang hakikat manusia. “Yang pertama, adalah aliran yang paling umum kita kenal, yaitu aliran dualisme, dualistik. Bahwa manusia terdiri atas fisik dan mental. Lalu timbul pertanyaan, bagaimana relasi fisik dengan mental? Maka aliran yang pertama menyatakan fisik dan mental saling memengaruhi, bisa saling terpengaruh satu sama lain. Yang kedua, mentallah yang memengaruhi fisik. Yang ketiga, fisiklah yang memengaruhi mental,” ujarnya.
Dia menjelaskan, ungkapan Aristoteles “mensana in corporesano” yang dalam bahasa Arab diterjemahkan “al aqlu saliim fil jismi saliim”. “Maknanya adalah fisik, karena fisiklah yang memengaruhi mental kita,” ungkapnya.
Aristoteles masuk dalam pandangan monoisme, yakni materialisme, yang menyatakan manusia merupakan materi. Adapun rasa cinta, benci, kecewa, dan sebagainya itu hanya mekanisme dari keberadaan fisik.
Bagi Ibnu Sina, ungkapan Aristoteles itu kurang tepat, seharusnya menurut dia “al jismu saliim fil aqli saliim” (tubuh yang sehat itu terletak pada jiwa yang sehat). “Kalau kita ikuti pandangan Ibnu Sina, maka sesungguhnya hal itu soal memanaje, mengelola mental kita, maka dikaitkan dengan Ramadhan ini lebih pada konteks pengelolaan pada dimensi mental kita,” ujarnya.
KH Saad mengatakan bahwa dalam pandangan Islam, manusia secara fisik adalah ada, termasuk alam semesta ini merupakan hal yang riil (ada). “Realitas kita secara mentality dan phisically itu sebenarnya wujud kita ini sebenarnya wujud yang disebut dalam ilmu kalam sebagai mumkinul wujud (boleh ada boleh tidak ada), sedangkan Allah itu wajibul wujud (harus ada),” ujarnya.
KH Saad mengatakan, salah satu hikmah puasa antara lain, yaitu meninggikan dimensi ruhani. “Ramadhan itu adalah kampus untuk mengingatkan atau mendidik manusia supaya manusia menyadari bahwa yang paling penting adalah dimensi ruhaninya, bila ruh itu sudah pada posisi tertinggi maka kemudian yang namanya nafs (hawa nafsu) itu akan tunduk,” ungkapnya.
Bahkan, kata dia, puasa juga berkaitan dengan dimensi kesehatan, yaitu yang terkait dengan dimensi fisik kita. (*)