Opini

Wajah Literasi

2 Mins read

Oleh: Bambang Prakoso

SEJUK.ID – Persoalan bangsa ini, jika dipresentasikan dalam 100%, cukup dengan menjalankan 10% berupa kejujuran saja, saya yakin lebih dari separuh persoalan bangsa akan terselesaikan. Masyarakat umumnya berharap dunia pendidikan menjadi penjernih ruang publik. Namun, yang sering muncul di ruang sosial justru kekeruhan: siswa bunuh diri, pelecehan seksual, manipulasi nilai, tawuran, korupsi, hingga dunia pesantren pun turut menyumbang polusi sosial. Contohnya, peristiwa di tahun 2024: seorang kiai di Trenggalek menghamili santrinya, empat santri menjadi korban kekerasan seksual oleh pengasuh pondok pesantren di Tempuran, Jawa Tengah, dan banyak kasus lainnya.

Jika literasi di dunia pendidikan berjalan dengan baik, ia dapat mengurai persoalan yang rumit serta menyelesaikan berbagai simpul masalah. Literasi sejatinya bermuara pada keseimbangan intelektual, spiritual, dan estetika. Membaca adalah proses yang menetesi batin; ia melembutkan hati, menajamkan analisis, menjernihkan pikiran, dan membuka cakrawala pengetahuan. Sayangnya, hingga kini pemerintah belum memiliki agenda yang serius dalam memajukan literasi.

Ketidakseriusan ini memiliki dampak yang dahsyat. Guru malas membaca, siswa juga malas membaca, dan perpustakaan—yang seharusnya menjadi sentrum pengetahuan—hanya dijadikan pelengkap. Perpustakaan di kota-kota besar sering kali diperhatikan hanya ketika ada lomba atau akreditasi; setelah itu, dibiarkan terbengkalai. Kondisi perpustakaan di daerah-daerah bahkan lebih memprihatinkan.

Selain itu, pustakawan juga memerlukan peningkatan kualitas, baik dalam sikap mental maupun kemampuan profesional. Pustakawan, yang seharusnya menjadi penjaga khazanah pengetahuan, justru terjebak dalam zona nyaman, hanya melakukan rutinitas teknis. Mereka mengelola pengetahuan, tetapi pengetahuannya sendiri tidak berkembang. Malas membaca, malas menulis—tercela dari ruh seorang pustakawan. Kreativitas mereka sering tereduksi oleh rasa malas, sementara perpustakaan sejatinya adalah surplus ide dan gagasan intelektual.

Ketidakjujuran juga kerap terlihat pada pimpinan lembaga pendidikan, khususnya sekolah, dalam penyelenggaraan perpustakaan. Pengadaan buku sering kali didasarkan pada transaksi untung-rugi: memilih penyedia yang menawarkan diskon tinggi tanpa peduli kualitas buku yang dibeli. Buku-buku lama dari gudang penerbit sering dibeli hanya karena diskon mencapai 60%. Lebih parah lagi, ada yang hanya membeli kwitansi senilai 5% dari harga buku—pengalaman ini pernah saya alami saat menjadi pustakawan sekolah. Kondisi ini sangat memprihatinkan. Bagaimana kita bisa memulai memperbaiki keadaan ini?

Tidak mungkin kualitas pendidikan menjadi baik jika sumur pengetahuan tidak diperbaiki. Kita perlu kembali membaca, seperti halnya Immanuel Kant yang mengulas moral. Moral adalah sistem nilai yang menentukan cara kita hidup: bertumpu pada niat baik, pertimbangan nurani, kematangan batin, kebermanfaatan bagi sesama, otonomi, dan rasionalitas.

Kejujuran adalah amanat semesta yang harus kita biasakan untuk menjernihkan ruang sosial dan kehidupan berbangsa. Literasi memiliki peran estetis, karena ia adalah mercusuar peradaban yang tegak di samudera waktu tanpa tepi—dan harus dijalankan dengan kejernihan hati dan pikiran.

818 posts

About author
Pemuda yang senang belajar dan berbagi dengan sesama.
Articles
    Related posts
    Opini

    Paradoks: Luka Menjadi Tinta

    2 Mins read
    Opini

    Perpustakaan sebagai Episentrum Pengetahuan

    2 Mins read
    Opini

    Menyoal Literasi

    2 Mins read

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *