Sejuk.ID – Sebelum membahas lebih jauh, penting untuk mengetahui konteks dari perpanjangan masa jabatan presiden. Di beberapa negara, konstitusi mengatur batas waktu yang diizinkan bagi seorang presiden untuk menjabat. Namun, ada beberapa negara yang tidak memiliki batas waktu yang jelas, atau di mana batas waktu tersebut dapat diubah melalui perubahan konstitusi atau amendemen.
Dalam beberapa kasus, ada upaya untuk memperpanjang masa jabatan presiden oleh para pemimpin yang tengah menjabat.
Ketika seorang presiden mempertimbangkan untuk memperpanjang masa jabatannya, ada dua pilihan yang mungkin diambilnya yang pertama, pensiun atau merayap ke kekuasaan tanpa akhir. Pilihan pensiun akan membuat presiden menyerahkan kekuasaannya kepada orang yang terpilih secara demokratis setelah masa jabatannya berakhir. Pilihan selanjutnya adalah merayap ke kekuasaan tanpa akhir, yaitu memperpanjang masa jabatan atau mencari cara untuk mempertahankan kekuasaannya melalui manipulasi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Dalam pandangan saya pribadi, memperpanjang masa jabatan presiden tidak sejalan dengan semangat demokrasi. Batas waktu yang jelas dan terbatas pada masa jabatan presiden sangat penting dalam menjaga kestabilan politik sebuah negara dan menjamin adanya persaingan yang sehat di antara calon presiden. Dalam sistem demokrasi, perubahan kepemimpinan yang teratur dan lancar merupakan salah satu indikator keberhasilan negara dalam menjaga prinsip-prinsip demokrasi dan menghindari terjadinya kudeta atau kekerasan politik.
Pada dasarnya, perpanjangan masa jabatan presiden menunjukkan keinginan untuk mempertahankan kekuasaan dan mengabaikan kebutuhan rakyat. Seorang presiden yang memperpanjang masa jabatannya cenderung tidak terikat oleh janji-janji kampanye dan tanggung jawab terhadap rakyat, karena tidak perlu lagi mempertanggungjawabkan tindakannya kepada pemilih dalam pemilihan selanjutnya. Hal ini dapat memunculkan risiko penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi.
Perpanjangan masa jabatan presiden juga dapat memicu ketidakstabilan politik dan kerusuhan. Hal ini terjadi karena adanya keengganan untuk menyerahkan kekuasaan kepada orang yang terpilih secara demokratis setelah masa jabatan berakhir. Kegagalan dalam mematuhi batas waktu masa jabatan presiden dapat memicu ketegangan politik dan krisis konstitusional. Negara yang mengalami ketegangan politik cenderung tidak stabil dan kurang mampu untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi, seperti keamanan, ekonomi, dan kesejahteraan rakyat. Terkait dengan risiko penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi, perpanjangan masa jabatan presiden dapat membuka pintu bagi penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi.
Seorang presiden yang memperpanjang masa jabatannya dapat memanfaatkan posisinya untuk memperkaya diri sendiri atau kelompoknya, dan menindas oposisi atau lawan politiknya. Hal ini berdampak negatif pada kepercayaan rakyat terhadap pemerintah dan berpotensi memperburuk kondisi ekonomi dan sosial negara.
Selain itu, perpanjangan masa jabatan presiden dapat menghambat adanya proses demokratisasi dan pembangunan institusi demokrasi yang kuat. Dalam sistem demokrasi, ada kebutuhan untuk membangun institusi yang mandiri dan kuat, seperti lembaga legislatif dan yudikatif. Memperpanjang masa jabatan presiden dapat menghambat proses demokratisasi dan menghalangi perkembangan institusi tersebut, karena kekuasaan yang terpusat pada seorang presiden yang terlalu lama berkuasa.
Oleh karena itu, penulis percaya bahwa perpanjangan masa jabatan presiden bukanlah solusi yang tepat bagi negara yang ingin memperkuat demokrasi dan kestabilan politik. Ada beberapa cara untuk memastikan bahwa negara tetap demokratis dan stabil tanpa harus memperpanjang masa jabatan presiden. Salah satunya adalah dengan membangun lembaga dan mekanisme yang kuat untuk mendorong partisipasi dan keterlibatan rakyat dalam proses politik dan demokratisasi.
Selain itu, penting juga bagi seorang presiden untuk mematuhi batas waktu masa jabatannya dan menyerahkan kekuasaannya dengan damai kepada penerusnya.
Hal ini menunjukkan bahwa kematangan politik seorang presiden dan menjamin terjadinya transisi kekuasaan yang damai dan lancar. Dalam hal ini, seorang presiden yang menyerahkan kekuasaannya dengan damai akan dikenang sebagai pemimpin yang baik dan bertanggung jawab, bukan sebagai seorang diktator yang mengabaikan kepentingan rakyat.
Di akhir opini ini, penulis ingin menegaskan bahwa perpanjangan masa jabatan presiden tidaklah sejalan dengan semangat demokrasi dan kestabilan politik sebuah negara. Sebaliknya, perpanjangan masa jabatan presiden dapat memicu ketidakstabilan politik, memperburuk kondisi ekonomi dan sosial, dan membuka pintu bagi penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi. Oleh karena itu, saya berharap agar pemimpin di seluruh dunia mematuhi batas waktu masa jabatan yang telah ditetapkan dan mendorong proses demokratisasi dan pembangunan institusi yang kuat untuk mencapai kestabilan politik dan kemakmuran rakyat.
Dalam kesimpulannya, perpanjangan masa jabatan presiden dapat membahayakan stabilitas politik dan demokrasi di Indonesia. Hal ini dapat memicu perpecahan di antara masyarakat, merusak hubungan Internasional, dan mengancam kestabilan politik dan ekonomi negara. Oleh karena itu, Indonesia harus terus membangun institusi demokrasi yang kuat dan memperkuat partisipasi dan keterlibatan rakyat dalam proses politik. Upaya ini dapat dilakukan dengan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah, memperkuat lembaga legislatif dan yudikatif, serta mendorong partisipasi masyarakat dalam proses politik. Dengan demikian, Indonesia dapat menjadi negara yang demokratis dan stabil, serta mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh rakyat.
Penulis: Fiya Ainurrohmah (Mahasiswi Prodi Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang)