Opini

Pegiat Literasi: Bersimpuh di Jalan yang Teduh

2 Mins read

Oleh: Bambang Prakoso
Dosen Ilmu Perpustakaan FISIP UWKS, Pegiat Literasi

SEJUK.ID – “Bersimpuh di jalan yang teduh” merupakan premis kebudayaan yang menggambarkan posisi pegiat literasi. Pegiat literasi harus terlebih dahulu menyelesaikan persoalan dalam dirinya. Jika belum, mustahil ia mampu mengurai permasalahan di luar dirinya. Seperti yang dikatakan Rumi, “Aku mencintai permasalahanku karena aku tahu yang memberiku permasalahan juga mencintaiku.” Penyair dan sufi masyhur ini mengajak kita bertumpu pada kesadaran ilahiah dalam bertindak.

Literasi Sebagai Jalan Sunyi

Literasi adalah jalan sunyi. Siapa pun yang mengakrabi literasi harus siap menghadapi kesepian, sebab hanya sedikit orang yang benar-benar berangkat dari kejernihan untuk mengurai persoalan rumit kebangsaan. Acap kali literasi justru dibangun di ruang hampa, seperti seminar-seminar di hotel atau gedung mewah yang hanya “menyeminarkan kebodohan” tanpa memberikan dampak nyata pada sikap dan perilaku masyarakat. Padahal, inti persoalan berada di akar rumput—di tengah masyarakat.

Langkah konkret dalam gerakan literasi harus dilakukan. Pegiat literasi mesti mengambil posisi, terjun langsung, berkeringat, dan larut di tengah masyarakat. Dalil dan teori memang penting, tetapi yang utama adalah tindakan. Rumi pernah berkata, “Perkecillah dirimu, maka kau akan tumbuh lebih besar dari dunia. Tiadakan dirimu, maka jati dirimu akan terungkap tanpa kata-kata.” Pesan ini masih sangat relevan dengan kondisi hari ini.

Lembaga-lembaga yang menyelenggarakan selebrasi literasi harus lebih literat dibandingkan para pegiatnya, agar tidak berjarak dengan esensi literasi itu sendiri.

Hakikat Literasi: Lebih dari Sekadar Membaca

Literasi bukan sekadar membaca, tetapi juga mencakup kemampuan memahami, menganalisis, dan mencari solusi atas permasalahan. Idealnya, pegiat literasi harus memiliki kecukupan finansial agar tidak kemana-mana membawa proposal dan meminta-minta. Jika ini terjadi, selain merendahkan martabat, pemahaman tentang literasi pun akan tereduksi. Selain itu, pegiat literasi harus memiliki daya belajar dan pengetahuan yang baik.

Muara dari literasi adalah nilai luhur: keseimbangan intelektual, spiritual, dan estetika. Pengetahuan seorang pegiat harus mumpuni, baik secara tekstual maupun kontekstual. Spiritualitas bukan hanya tentang tempat ibadah seperti masjid, pura, atau gereja, tetapi juga tercermin dalam akhlak dan kesalehan sosial—bukan kegenitan sosial. Adapun estetika berkaitan dengan daya merawat keindahan, kejernihan perilaku, dan sikap yang mampu menjernihkan ruang publik.

Pegiat Literasi dan Konsep Pendidikan Alternatif

Pegiat literasi juga harus memahami bahwa literasi berbeda dengan pembelajaran di sekolah yang bersifat instruksional, mengukur nilai, atau memberikan ijazah dan gelar. Faktanya, belajar adalah aktivitas manusia yang paling tidak membutuhkan manipulasi. Ivan Illich menegaskan bahwa cara terbaik belajar adalah dengan melebur bersama apa yang ingin dipelajari. Literasi bukan sekadar rutinitas formal, melainkan sikap mental yang harus dihayati oleh para pegiat.

Literasi sebagai Jembatan Sosial

Literasi adalah jembatan untuk menyeberangi jurang sosial yang masih curam di negeri ini, sekaligus menyapa hati yang redup—hati yang kehilangan cita-cita dan misi hidup. Saat dunia pendidikan semakin mahal dan menjadi komoditas transaksional, hanya mereka yang kaya atau pintar yang mampu mengaksesnya. Lalu, bagaimana dengan mereka yang bodoh dan miskin? Mereka sering kali tidak mendapatkan haknya, terus menanggung kebodohan, kemiskinan, dan keterpinggiran.

Universitas Kehidupan

Literasi memanusiakan manusia. Literasi menumbuhkan harkat dan martabat, tanpa mengemas pengetahuan menjadi transaksi jual-beli. Pegiat literasi biasanya menghibahkan pikiran, tenaga, dan hartanya untuk membangun gerakan seperti taman baca atau pojok baca. Sikap mental semacam ini jarang diajarkan di ruang kelas. Tidak ada kurikulum, tetapi ada kitab peradaban. Belajar bisa dilakukan di mana saja, bersama siapa saja, dan kapan saja. Inilah yang disebut universitas kehidupan.

Literasi mereduksi dehumanisasi di tengah masyarakat dan menjadi penjernih di ruang publik karena bertumpu pada kesadaran kolektif. Literasi adalah sajadah panjang untuk bersimpuh di jalan yang teduh.

839 posts

About author
Pemuda yang senang belajar dan berbagi dengan sesama.
Articles
    Related posts
    Opini

    Kata-kata sebagai Medium Perjumpaan Dua Ruh

    3 Mins read
    Opini

    Ketua Umum PC IMM Bima: Bima Rawan Korupsi, Upaya Preventif Harus Segera Dilakukan

    2 Mins read
    Opini

    Iqro dan Pagar Ketauhidan

    4 Mins read

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *