Opini

Partisipasi Warga Golongan Putih dalam Proses Pemilihan Umum

3 Mins read

Oleh: Amelia Aisyafurry*

Pemilu menjadi tonggak penting dalam melaksanakan kedaulatan rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sesuai dengan prinsip Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Setiap lima tahun sekali, rakyat Indonesia dengan penuh antisipasi menanti pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu). Keberlangsungan Pemilu bukan hanya sekadar proses demokrasi rutin, tetapi juga mewakili harapan baru untuk masa depan yang lebih baik. Pemilihan seorang Presiden baru dianggap sebagai kunci pembuka menuju realisasi impian-impian baru di masa yang akan datang. Meskipun demikian, tidak sedikit warga yang memilih untuk golput, sebuah fenomena yang kerap muncul menjelang Pemilu atau Pemilihan Kepala Daerah. Golput, atau golongan putih, seringkali diartikan sebagai sikap cuek, apatis, atau penolakan untuk terlibat dalam dinamika politik, yang berujung pada ketidakpartisipasian di Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Fenomena golput muncul dengan alasan yang sadar, salah satunya adalah ketidakpuasan terhadap calon pemimpin yang dianggap tidak layak. Golput juga mencuat karena tidak adanya kewajiban warga untuk memberikan suara dalam Pemilu. Jika kita menengok sejarah, istilah golput muncul menjelang Pemilu 1971, yang diadakan pada 5 Juli 1971, sebagai Pemilu pertama di era Orde Baru. Partisipasi peserta Pemilu pada saat itu menurun dibandingkan dengan pesta demokrasi sebelumnya, dengan jumlah partai politik yang lebih sedikit. Beberapa partai politik, seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), dan Partai Sosialis Indonesia (PSI), bahkan dibubarkan pada waktu tersebut.

Golput sejatinya merupakan sikap politik dalam merespons perhelatan elektoral atau pemilu. Sikap ini sebagai protes baik terhadap sistem maupun alternatif pilihan yang dipandang tidak ada yang kredibel untuk layak dipilih. Meski wujudnya berupa lebih memilih berlibur daripada menggunakan hak pilih, sebenarnya fenomena itu tetap menggambarkan ketiadaan alternatif pilihan yang dinilai layak atau minimal dikenal untuk dipilih. Hal tersebut belum bicara alasan rekam jejak, visi-misi, kinerja buruk, dan lain-lain.

Sebagai gambaran umum, angka golput memang cenderung meningkat dari pemilu ke pemilu. Pemilihan Presiden (Pilpres) pada tahun 2004, 2009, dan 2014 saja menunjukkan tren peningkatan itu, angka golput naik lagi. Penyebab dari tindakan ini adalah masyarakat yang bersikap apatis terhadap politik. Masyarakat dengan tipe seperti ini tidak lagi peduli dengan urusan politik, bahkan tidak juga mencari tahu apa itu golput dan risiko jika memilih untuk golput pada setiap pemilu. Ketidakpedulian serta ketidakpercayaan masyarakat tersebut muncul karena mereka merasakan bahwa tidak ada dampak positif yang terjadi padanya setelah pemilihan.

Sementara itu, berita korupsi yang dilakukan oleh para pemimpin serta wakil rakyat semakin meningkatkan apatis masyarakat terhadap para pejabat. Lalu, pemberitaan pemilu di media massa atau media sosial ternyata tidak membuat semua orang mengetahui tanggal pasti diadakannya pemilu. Pada Pemilu 2019, hasil survei LSI yang diadakan sebulan sebelum hari pencoblosan menunjukkan mayoritas tidak mengetahui tanggal pasti diadakannya pemilu. Kemudian, penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya untuk memberikan suara di hari pemilu.

Sayangnya, keterbatasan yang dimiliki seringkali menghambat mereka dalam mencoblos, misalnya tidak ada bantuan untuk pergi menuju ke lokasi TPS dan tidak tersedianya surat suara khusus bagi disabilitas. Berbagai macam faktor tersebut yang memicu masyarakat Indonesia melakukan golput. Memang golput bukanlah pilihan bijak, namun tetap golput adalah hak suara. Mengapa? Pertama, pilihan untuk tidak memilih adalah bentuk pemborosan terhadap anggaran belanja Negara. Kedua, legitimasi kekuasaan calon terpilih tidak mewakili aspirasi rakyat, dalam arti legitimasi uji materi dan uji publik calon terpilih tidak valid dan bisa memunculkan pembangkangan sipil di kemudian hari. Pemilihan langsung seperti saat ini adalah bentuk pilihan rakyat atau dengan bahasa lain berkonotasi bebas melakukan apa yang dikehendaki karena dipilih rakyat.

Hak untuk Memilih dan Dipilih

Jika kita membahas tentang golput, maka hal ini akan berkaitan dengan hak politik (political rights), yaitu hak yang diperoleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai anggota organisasi politik, seperti hak memilih dan dipilih, mencalonkan diri, dan memegang jabatan umum dalam negara. Hak politik juga dapat diartikan sebagai hak di mana individu dapat memberikan andilnya dalam mengelola masalah negara atau pemerintahan.

Sebenarnya, hal ini menjadi bumerang bagi golput. Golput tidak memiliki substansial dan prosedural yang sah dan dipandang sebagai kegagalan proses demokrasi. Ketiga, golput adalah bentuk keluhan terhadap keadaan yang ada. Golput membuat kita nakal terhadap demokrasi, dalam arti demokrasi tidak rusak dan juga tidak diperbaiki dengan adanya golput. Artinya, keberadaan golput adalah fenomena tawar menawar harga demokrasi dan ini merupakan bagian dari hak politik. Contohnya, keberadaan golput dipakai sebagai tekanan untuk memunculkan peraturan calon independen baik Gubernur, Bupati, Wali Kota, dan Presiden untuk disahkan menjadi UU.

Dapat disimpulkan bahwa golput atau golongan putih merupakan fenomena di mana seorang pemilih memutuskan untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan. Dampak dari golput sangatlah besar, seperti menurunnya legitimasi pemilihan, berkurangnya kepedulian politik, potensi kegagalan pembangunan, dan meningkatnya peluang calon tertentu. Oleh karena itu, sangat penting bagi setiap warga negara untuk menggunakan hak pilihnya dengan bijak.

Selain itu, perlu ada upaya yang lebih besar untuk meningkatkan kepedulian dan partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi. Dengan demikian, dapat tercipta pemilihan yang lebih meyakinkan dan mewakili suara mayoritas dari seluruh pemilih. Banyak dampak buruk yang akan tercipta akibat golput. Apakah kita masih ingin golput? Tentu, jika iya, maka kita sendirilah yang akan mendapatkan kerugian. Oleh karena itu, marilah kita mulai menentukan sikap untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat yang nantinya akan memperjuangkan aspirasi masyarakat, agar tercapainya cita-cita kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

*) Mahasiswi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Malang

Editor: Fathan Faris Saputro

767 posts

About author
Pemuda yang senang belajar dan berbagi dengan sesama.
Articles
    Related posts
    OpiniPolitik

    Waspada “Kelompok Agamis” : Menggembosi Aksi Mengawal Demokrasi

    4 Mins read
    Opini

    Literasi di Era Scrolling: Menemukan Makna di Tengah Informasi

    4 Mins read
    OpiniPolitik

    Senja Demokrasi Dinasti Jokowi

    5 Mins read

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *