Opini

Islam dan Pemilu Damai

4 Mins read

Oleh: Supriadin*

Menjelang Pemilu 2024, situasi politik kini terasa sangat terpolarisasi di tengah masyarakat, terutama setelah dimulainya masa kampanye untuk masing-masing calon presiden. Saling serang dan penghujatan bahkan telah muncul di berbagai platform media sosial sebelum calon-calon tersebut mendaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tindakan gugatan terkait batasan umur di Mahkamah Konstitusi (MK) turut menyulut kemarahan masyarakat, menciptakan lingkungan yang penuh dengan gosip dan saling menggunjing.

Dalam menghadapi semua tantangan ini, bagaimana seharusnya masyarakat Indonesia bersikap? Apakah, dengan berbagai permasalahan ketidakadilan di negeri ini dan polarisasi politik yang semakin membesar, kita menuju arah perang dalam politik, tanpa mengenal batas kompromi?

Meskipun telah ada tiga pasangan calon yang secara resmi mendaftar, kondisi politik saat ini tidak terlalu berbeda dengan politik pada tahun 2019. Polaritas di tengah masyarakat tetap menjadi pemicu perpecahan, dengan melibatkan isu-isu agama, korupsi, hukum, lingkungan, dan lainnya. Sebagai contoh, dalam kasus agama, munculnya singkatan “Amin” dalam beberapa pertemuan masyarakat telah menimbulkan kekhawatiran, karena mereka yang tidak mendukung presiden tersebut enggan mengucapkan “Amin,” meskipun konteksnya berbeda.

Penting untuk mencermati bagaimana agama dicampuradukkan dengan politik. Dalam konteks korupsi, Indonesia saat ini merupakan negara dengan jumlah pejabat terkorup terbanyak di dunia. Masalah ekonomi juga menjadi sorotan, dengan kegagalan menciptakan ekonomi yang tidak eksploitatif yang berdampak negatif pada lingkungan.

Program Pengembangan Lahan sebagai lumbung pangan, yang diinisiasi oleh PBB dan diimplementasikan di Indonesia, contohnya, gagal dilaksanakan dan justru meninggalkan kerusakan hutan dengan luas ratusan hektar. Isu-isu hukum juga menjadi pemicu polarisasi yang intens. Semua isu ini menimbulkan kegaduhan di masyarakat, bersama dengan sejumlah isu lainnya

Konflik dalam Politik

Meskipun konflik identitas antara nasionalis dan Islam yang ditandai dengan panggilan “kampret” dan “cebong” tidak begitu mencolok dalam politik saat ini, namun tidak sepenuhnya tidak ada. Malah, konflik di antara sesama Islam muncul. Potret politik Islam saat ini menunjukkan bahwa keterwakilan umat Islam dalam politik tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap solusi keumatan saat ini.

Faraj Fauda dengan sangat tajam dan kasar mengkritik konflik politik dalam tubuh umat Islam pada masa lalu. Menurut Faraj Fauda, dalam buku “Kebenaran yang Hilang,” Dia mengkritik sikap politik umat Islam saat ini yang jauh dari substansi, hanya mengandalkan identitas semata, tanpa mau berijtihad terhadap persoalan kesejahteraan rakyat hari ini. Bagi Faraj, kita mungkin terlalu memuja politik Islam pada masa lalu, padahal sejarah politik umat Islam pada masa lalu dipenuhi dengan bau darah dan terjebak oleh promadialisme. Meskipun Faraj mengkritik sejarah politik umat Islam pada masa lalu, menurutnya, kita seharusnya tidak hanya mengambil dalil nash tetapi juga meneladani manhaj atau metode pemikiran politik hasil ijtihad Umar bin Khattab yang bahkan berani berbeda dengan Nabi harus mengilhami gerakan politik umat Islam saat ini.

Dalam siroh nabawiyah, peperangan di Badar memberikan pelajaran berharga tentang peperangan, di mana Nabi Muhammad SAW mengakui bahwa perang melibatkan kontestasi ide, pertempuran fisik (verbal), dan taktik. Dalam pemilihan umum di Indonesia yang mungkin tidak melibatkan pertempuran fisik, ide dan taktik tetap merupakan syarat mutlak dalam politik, dan tidak mustahil juga terjadi pertempuran fisik.

Politik dan konflik sulit dipisahkan; kita tidak harus menyatakan bahwa agama adalah satu-satunya motif di balik konflik politik. Motif ekonomi dan hukum juga sering menjadi penyebab konflik politik, seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Tidak dapat diabaikan bahwa antara satu dengan yang lainnya, ada keterkaitan antara agama, ekonomi, hukum, dan sebagainya. Munculnya konflik dalam politik bukan tanpa sebab; semuanya terkait dengan keyakinan dan doktrin yang diterima. Bagi kalangan Islam, keyakinan bahwa peran politik adalah sebagai penjaga Agama (hifz al-din), dan peran politik Islam adalah untuk mewujudkan Al-Mashlahah Al’aam (kemaslahatan umum). Bagi kalangan kapitalis, politik adalah kumpulan harta sebanyak-banyaknya. Bagi sosialis, politik adalah perlawanan terhadap kekuatan kapitalis dan sarana untuk pembagian harta secara kolektif. Konflik berasal dari perbedaan ideologi.

Jalan Damai dalam Politik Hebermas (1929)

Seorang tokoh filsuf dan sosiolog Jerman, dalam bukunya “The Theory of Communicative Action,” berusaha memberikan solusi terhadap konflik dengan menggunakan pendekatan komunikatif, yakni melalui dialog. Meskipun kelemahan dari teori ini adalah bahwa hasil dari dialog bukanlah satu-satunya jalan kebenaran, namun realitas menjadi pijakan kebenarannya. Ini kembali pada fakta sosial yang terjadi tanpa adanya pemaksaan.

Menurutnya, setiap orang memiliki kebenaran masing-masing dan menolak untuk mengklaim bahwa pendiriannya paling benar. Oleh karena itu, dialog harus dikedepankan dengan prinsip kesetaraan. Teori ini menjadi etika masyarakat Eropa dalam menghadapi perbedaan pandangan. Bagi umat Islam, kebenaran bersifat mutlak dan absolut; tidak boleh digadaikan dengan cara apa pun. Oleh karena itu, kebenaran harus diperjuangkan. Namun, terkait dengan politik, apakah hal yang sama berlaku? Apakah kebenaran absolut berlaku pada semua aspek dalam Islam, termasuk dalam masalah politik?

Di sinilah umat Islam menghadapi kesulitan. Tidak semua orang bersedia berkompromi dengan kebenaran orang lain, terutama jika sudah berbeda secara identitas, apalagi jika dikemas dengan firman Tuhan. Bahkan, ada yang menggunakan ijtimak ulama dalam politik, padahal dalam masalah agama saja terkadang kita berbeda, apalagi dalam masalah politik. Ijtimak, yang posisinya sangat tinggi dalam fiqih sebagai hujjah dan menyelisihinya dianggap dosa, dapat menciptakan perselisihan internal umat yang tak berujung. Oleh karena itu, tidak sedikit umat Islam yang melihat politik secara hitam putih, sebagaimana halnya ibadah lainnya seperti salat dan zakat.

Politik Damai dalam Islam

Apakah Islam mengenal politik damai? Sebenarnya, jika kita menempatkan politik sebagai muamalah hubungan antara sesama dalam kehidupan dunia, kita bisa meminimalisir konflik dalam politik. Meskipun memiliki keterkaitan dengan agama, namun tidak bersifat langsung. Karena otoritas negara sepenuhnya tidak terlibat dalam urusan agama. Agama memiliki otoritasnya sendiri, begitu pula negara.

Pelajaran penting yang perlu diambil dari sejarah konflik antara Muawiyah ra. dan Ali ra. adalah bahwa meskipun mereka berselisih, perselisihan mereka dilakukan untuk menemukan solusi dan jalan keluar. Mereka tidak terjebak dalam polarisasi politik yang terjadi, Muawiyah menunjukkan etika politik yang menjunjung tinggi solidaritas persaudaraan di antara mereka.

Ketika Romawi yang pada saat itu menguasai Laut Tengah, sebagian Afrika Utara, sebagian Eropa, dan wilayah Asia Minor, Turki mengajaknya untuk mengalahkan rival politiknya, yaitu Ali bin Abi Tahlib. Dia berkata sebagai berikut: “Wahai orang yang terlaknat! Demi Allah. Apabila engkau tidak meninggalkan cara berpikir seperti ini (memerangi kaum Muslimin) dan tidak kembali ke negerimu, aku akan bersatu dengan anak pamanku memerangimu dan mengusirmu dari seluruh negerimu serta mempersempit bumi bagimu.” Setelah itu, kaisar Roma menjadi cemas dan mengirimkan surat perjanjian gencatan senjata.

Oleh karena itu, seharusnya kita menciptakan politik damai yang tidak merusak persatuan nasionalisme dan persaudaraan Islam (Ukhuwah Islam). Melihat kondisi politik kita yang serba tidak jelas, kita sebaiknya kembali pada kaidah fiqh yang menyatakan, “Al-khuruj minal Ihktilaf Mustahibbun” keluar dari konflik itu lebih baik.

*) Sekretaris Umum Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Nusa Tenggara Barat

Editor: Fathan Faris Saputro

757 posts

About author
Pemuda yang senang belajar dan berbagi dengan sesama.
Articles
    Related posts
    OpiniPolitik

    Waspada “Kelompok Agamis” : Menggembosi Aksi Mengawal Demokrasi

    4 Mins read
    Opini

    Literasi di Era Scrolling: Menemukan Makna di Tengah Informasi

    4 Mins read
    OpiniPolitik

    Senja Demokrasi Dinasti Jokowi

    5 Mins read

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *