OpiniPolitik

Waspada “Kelompok Agamis” : Menggembosi Aksi Mengawal Demokrasi

4 Mins read

Isa Almasih Putra Muhammadiyah – Gubernur Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa FAI UMM

SEJUK.ID – Saat suasana genting mengawal demokrasi dari pembajakan dinasti Jokowi, saya dikejutkan postingan di media sosial “Tiktok yang berisi konten bernada “menggembosi” aksi yang dilakukan oleh seluruh lapisan rakyat di berbagai Kota atau Kabupaten, terkhusus yang dilakukan oleh mahasiswa. Isi konten tersebut adalah; pertama, tuduhan terhadap peserta aksi yang dianggap tidak paham politik dinasti.

Kata mereka, selama pemimpin dipilih oleh rakyat itu tidak bisa disebut sebagai dinasti. Kedua, menuduh DPR secara khusus terhadap ketua DPR partai PDI-P yang seolah mencoba menganulir keputusan MK untuk kepentingan politiknya. Ketiga, menganggap Jokowi tidak boleh disalahkan dari rentetan fenomena pembajakan demokrasi. Keempat pengalihan isu dengan mengangkat RUU Perampasan Aset yang ditawarkan Presiden Jokowi namun tak kunjung disahkan oleh DPR.

Konten tersebut tidak berlebihan, bisa penulis mengatakan adanya cacat dalam memahami sebuah fenomena. Tetapi, yang membuat saya paling geram adalah, konten tersebut mengidentifikasi diri sebagai salah satu aliran keagamaan yakni “salafi”. Konten tersebut berisi penggiringan opini agar masyarakat tidak boleh membenci pemimpin (presiden). Bila, pemimpin berbuat dzalim harus bersabar dan mendo’akan. Gagal faham, yang disertai klaim agama tidak lebih hanya sekedar konten sampah dan tolol yang seolah-olah menutup mata, bahwa Demokrasi Indonesia sedang baik-baik saja.

Memahami “Salafi” dalam Konteks Politik Salafi merupakan kelompok yang berpegang teguh pada manhaj salaf. Yakni, mengikuti jalan para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Singkatnya, kelompok ini yang mengikuti pemahaman para sahabat Rasulullah Muhammad SAW. Kelompok ini juga disebut sebagai ahlu sunnah wal-jama’ah atau mereka yang berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah (tuntunan nabi). Mereka juga biasa disebut Ahlul Hadist wal Atsar , karena kelompok ini berpegang teguh pada hadist dan atsar di tengah situasi banyak orang menerima pendekatan rasional dalam agama.

Dalam konteks politik, sejauh yang saya fahami kelompok ini memandang ulil amri (pemimpin) sebagai sosok yang wajib ditaati. Selain itu, segala upaya yang sifatnya memberikan kritik keras tidak diperbolehkan apalagi sampai menggelar aksi demonstrasi. Seperti yang sudah disampaikan di atas, bahkan jika pemimpinnya berbuat zalim selaku masyarakat kita dilarang membencinya, tapi cukup dido’akan saja. Pemahaman yang agak nyleneh kata orang Jawa bahkan cenderung bersifat fatalis menerima nasib hidup di bawah ketidakbenaran suatu rezim

Ajaran Agama : Basis Transformasi atau Menerima Status Quo ?

Dalam beberapa literatur, kita bisa jumpai tentang penjelasan ajaran agama serta aktualisasinya dalam kehidupan manusia, termasuk dalam konteks politik. Machiavelli menganggap bahwa agama merupakan salah satu alat untuk mengkonsolidasikan negara, oleh sebab itu agama harus diatur bahkan tunduk terhadap negara. Max Weber dalam tesisnya, juga meneliti etika Protestan sebagai basis tumbuhnya kapitalisme di Eropa.

Dalam konteks ajaran Islam, misalnya kita mengenal teologi Al-Ma’un sebagai basis kesatuan religius dan praksis sosial. Juga teologi Al-‘Asr sebagai basis dalam membangun peradaban melalui kesadaran Tauhid, pelembagaan amal shalih, penguasaan IPTEKS dan moralitas yang utama. Begitu juga, teologi pembebasan, yang dikonstruksi melalui interpretasi Al-Imran 110 sehingga melahirkan gerakan liberasi (pembebasan), humanisasi (memanusiakan) dan transendensi (dilandasi keimanan).

Kontekstualisasinya dengan politik, agama ibarat pedang bermata dua, yang sama-sama memiliki potensi sebagai pemelihara atau bahkan menggoyang status quo. Dalam situasi politik yang stabil, penulis berpendapat memang seharusnya agama harus menjadi alat untuk mengkonsolidasikan masyarakat. Tapi, dalam situasi politik yang mengarah pada tindakan kesewenang-wenangan, agama perlu mengambil posisi sebagai basis transformasi sosial. Jadi, agama semata-mata tidak bisa ditafsirkan melalui kacamata kuda. Perlu adanya pemahaman secara obyektif tentang situasi kondisi yang sedang terjadi. Dalam keadaan yang stabil, saya pun tidak setuju agama menjadi biang keladi perpecahan sesama internal pemeluknya.

Agama : Legitimasi dalam Mengawal Demokrasi

Dua bulan menjelang masa transisi pemerintahan Indonesia, kita semua merasakan adanya upaya pembajakan terhadap demokrasi oleh kekuatan politik keluarga Jokowi, yang mencoba ingin membangun dinastinya dalam sistem demokrasi. Meskipun tidak sama dengan sistem monarki, secara substansi mulai dari proses pencalonan terdapat indikasi yang sangat problematik.

Dalam pilkada 2024, UU tentang threshold 25% benar-benar menjadi pengganjal kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu, MK mengabulkan gugatan partai Gelora dan Buruh untuk mengubah UU threshold baik secara kuantitatif, juga berubahnya persyaratan tentang minimal kepemilikan kursi di parlemen menjadi suara sah yang dimiliki suatu partai di daerah tertentu. Sayangnya, perubahan ini menjadi kabar buruk oleh Petahana yang membuat Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus.

Melalui DPR upaya dilakukan oleh Jokowi untuk menggagalkan keputusan MK tersebut dengan membuat UU tandingan. Apa yang dilakukan oleh DPR, oleh banyak pakar politik disebut sangat sarat akan kepentingan politis Jokowi. Sehingga, dapat diindikasikan bahwa pemerintah sekarang sedang menjadikan hukum sebagain instrumen politik, serta pelemahan terhadap institusi demokrasi baik eksekutif legislatif, maupun yudikatif. Upaya tersebut, boleh dikatakan sebagai tindakan pembajakan demokrasi.

Ketika dalam keadaan seperti ini, pada posisi manakah agama mengambil peran? Apakah agama berlindung dibalik ketiak penguasa atau tampil sebagai basis teologi untuk melegitimasi mobilisasi massa dalam mengawal demokrasi? Dalam keadaan bahwa politik yang berjalan mengarah pada kesewenang-wenangan, maka agama sudah semestinya mengambil posisi yang memperjuangkan kebenaran. Dalam hal ini, mengawal demokrasi adalah upaya mengembalikan marwah hidup bernegara yang akhir-akhir ini hancur lebur tercabik-cabik oleh kepentingan dinasti politik Jokowi.

Penyalahgunaan Kekuasaan melalui Instrumen Hukum, serta Melemahkan Institusi

Demokrasi merupakan tindakan yang secara etika agama tidak dibenarkan. Apalagi, kepentingan umum diabaikan demi kepentingan satu orang keluarga, yang anak menantunya ingin berkuasa di beberapa daerah Indonesia. Ditambah, secara proses menggunakan cara-cara yang menabrak sistem meritokrasi. Bukankan agama juga berpesan bahwa “sebaik-baik urusan apabila diserahkan kepada ahlinya?”. Maka, kepentingan dinasti yang coba mengabaikan syarat kompetensi perlu dikawal bersama-sama agar tidak semakin salah arah dalam kehidupan bernegara.

Penguasaan Sosial Media : Melawan Narasi Penjilat Penguasa

Sosial media menjadi arena pertarungan bebas berbagai narasi yang menyikapi situasi demokrasi Indonesia terkini. Mulai dari kelompok yang pro sampai yang kontra. Meskipun, akhir-akhir ini kita melihat mayoritas masyarakat mendukung atau setuju terhadap aksi mengawal demokrasi, nyatanya masih dapat kita temukan sejumlah konten yang coba menggembosi perjuangan tersebut. Meskipun angkanya kecil, namun tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Sekalipun, dalam demokrasi kebebasan berekspresi dijamin haknya, namun narasi-narasi yang melemahkan perjuangan demokrasi perlu diberikan kritik dengan upaya yang sama juga yakni terjun langsung membuat konten-konten di media sosial.

Tidak bisa dipungkiri, sosial media menjadi tantangan baru dalam kehidupan berdemokrasi bangsa ini. Meskipun sosial media memberikan dampak positif dalam kemudahan komunikasi, namun sosial media ini juga berdampak negatif ketika menjadi tolak ukur benar atau salahnya suatu isu yang sedang berkembang. Berita hoax, serta konten-konten tidak masuk akal banyak berseliweran. Ini berpotensi memberikan edukasi politik yang kurang tepat terhadap masyarakat. Oleh sebab itu, konten-konten yang memberikan edukasi dengan akurat perlu diperbanyak, agar masyarakat tidak disuguhi dengan konten-konten sampah dan tolol tersebut. (*)

Editor Septi Sartika

Related posts
Politik

Download Foto Resmi Presiden dan Wakil Presiden RI 2024-2029 Di Sini!

1 Mins read
Opini

Literasi di Era Scrolling: Menemukan Makna di Tengah Informasi

4 Mins read
OpiniPolitik

Senja Demokrasi Dinasti Jokowi

5 Mins read

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *