Diakui oleh para sarjana Barat bahwa sulit untuk merumuskan defoinisi yang tepat tentang intelektual atau intellectuals. Salah satu alasannya karena seringkali definisi tersebut merupakan self-definitions (Bauman, 1987: 8), kurang objektif dan cenderung bias, definisi disusun atas dasar binary opposition antara siapa yang disebut “intellectuals” dan “non-intellectuals” dengan batas-batas yang sudah sangat jelas dikonstruksi oleh kelompok sosial tertentu.
Apabila merujuk pada makna dasar penggunaannya, Raymond (1985: 169-171), dalam Keywords: A vocabulary of culture and society menyebutkan bahwa kata “intellectual” digunakan untuk merujuk pada jenis orang tertentu atau seseorang yang melakukan pekerjaan tertentu. Kata ini efektif digunakan pada akhir abad ke-19. Meskipun penggunaan kata itu sendiri kurang disukai, kata “intellectual” menjadi sangat popular dalam literature Inggris pada pertengahan abad ke-20. Kata “intelektual” sekarang digunakan secara netral untuk menggambarkan orang yang melakukan jenis pekerjaan tertentu dan utamanya jenisjenis pekerjaan yang bersifat umum. Antonio Gramsci mengatakan bahwa intelektual organik adalah seseorang yang terlibat langsung terkait persoalan yang terjadi di masyarakat. Edward W. Said juga menyatakan bahwa intelektual tidaklah berada di menara gading tetapi terlibat dalam persoalan masyarakat dan mempertahankan negara dengan kewaspadaan.
Dalam tradisi Islam terdapat istilah klasik yang lazim digunakan untuk merujuk kepada sekelompok orang yang berkecimpung dalam tradisi keilmuan, istilah tersebut yaitu ‘ulama (bentuk jamak dari ‘lim) berarti sarjana atau scholar, orangorang yang memiliki pengetahuan (ilm). Akan tetapi, istilah ini digunakan hanya bagi “mereka yang memiliki pengetahuan agama” (Milson, 1972: 17). ‘Ulama sebagai special group dalam masyarakat Muslim, cenderung lebih berperan sebagai moral caretakers dibanding sebagai pengkritik (Esposito, 2001: 14). Puncak kemapanan ‘ulama dalam sejarah Islam klasik tercatat pada masa Dinasti Ustmani terdapat kerjasama harmonis antara ‘ulama dan penguasa di mana ulama berperan sebagai pemegang legitimasi bagi kekuasaan raja (1972: 21; 2001: 14-16) atau disebut oleh Abdo (2000: 43) sebagai religious stamp of approval. Kekuasaan seorang raja tidak akan legitimate kalau belum mendapat persetujuan dari ‘ulama. Merujuk pada deskripsi ini, istilah intelektual kurang tepat apabila dipadankan dengan kata ‘ulama dalam tradisi Islam klasik.
Untuk konteks modern, tepatnnya pada akhir abad ke-19 terdapat dua kata Arab yang lazim digunakan sebagai padanan kata “intelektual”: yaitu mutsaqqaf dan mufakkir, yang pertama berasal dari kata tsaqafa, kebudayaan (a man of culture) atau academically trained, ditempuh melalui jenjang pendidikan formal. Sedangkan yang terakhir berasal dari kata fikr atau thought (a man of thought). Dari dua istilah tersebut, penulis seperti halnya Hofmann (2007: 67) merasa lebih tepat untuk menggunakan kata mufakkir sebagai padanan untuk kata “intelektual” yang diartikan sebagai “analytical mind whom communicate,” menandakan bahwa proses menjadi intelektual tidak mesti melalui sebuah tahapan pendidikan formal yang tinggi, melainkan melalui sebuah proses pemikiran yang aktif dan produktif. Lebih dari itu, seorang intelektual (al-mufakkir) adalah “someone whose place it is publicly to raise embarrassing questions, to confront orthodoxy and dogmas” (Said, 1994). Tugasnya adalah menyampaikan pemikiran dengan tujuan untuk melakukan perubahan meskipun gagasan tersebut boleh jadi sangat bertentangan dengan gagasan yang lazim berlaku.
Perkembangan Intelektual Islam
Terkait perkembangan wacana intelektual Islam Indonesia pada abad 20, Yudi Latif membagi enam wacana intelektual yang dominan pada setiap generasi yaitu generasi pertama, tahun 1900-1910-an dengan wacana Islam dan sosialisme; generasi kedua, tahun 1920-an dan 1930-an dengan wacana Islam dan nasionalisme/negara-bangsa; generasi ketiga, tahun 1940-an dan awal tahun 1950-an dengan wacana Islam dan revolusi kemerdekaan; generasi keempat, tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an dengan wacana Islam dan modernisasi-sekulerisasi; generasi kelima,tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an dengan wacana Islam alternatif dan pembangunan alternatif; generasi keenam; dengan wacana Islamisasi modernitas dan liberalisasi Islam.
Sedangkan tipologi intelektual, Fachry Ali dan Bahtiar Effendy mengklasifikasi empat tipologi pemikiran Islam para Intelektual Muslim Indonesia yaitu neo-modernisme Islam, sosialisme demokrasi Islam, internasionalisme dan universalisme, serta modernisme Islam. M. Syafi’i Anwar mengklasifikasi enam tipologi pemikiran politik Islam Indonesia yaitu formalistik, substantivistik, transformatik, totalistik, idealistik, dan realistik. Howard M. Federspiel mengklasifikasi intelektual Muslim menjadi empat yaitu ulama, pembaharu, akademisi dan pemikir sosial. Moeflich Hasbullah membagi paradigma basis pemikiran intelektual Muslim menjadi lima yaitu konsepisme-teoritis, refleksionisme-emansipatoris, aktivisme-praktis, jurnalisme-historis dan dokumentalisme-bibliografis.
Sejarah intelektual Islam Indonesia merupakan dinamika wacana Muslim dalam seluruh aspek kehidupan yang berbentuk karya pada masa lalu. Karya tersebut sebagai ide memiliki pengaruh dalam proses dan peristiwa sejarah. K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy’ari dan tokoh islam lainnya adalah ulama atau intelektual muslim sebelum dan sesudah kemerdekaan masa kolonial dan awal pasca-kolonial. Beberapa tokoh-tokoh muslim tersebut berjuang melawan penjajah dengan cara dan perjuangannya masing-masing. Kedua tokoh muslim tersebut merupakan ulama atau intelektual generasi pertama di Indonesia. Fase generasi intelektual pertama ini berlangsung pada tahun 1920-1930-an. Periode ini yang menjadi tema utama wacana intelektual adalah tuntutan kemerdekaan yang berawal dari pecahnya ideologi politik dan munculnya nasionalisme Indonesia.
Para intelektual Muslim generasi kedua merespon konsepsi kelompok sekuler tentang nasionalisme dan negara, respon tersebut dengan merumuskan ideologi Islam dengan tema “nasionalisme Islam dan negara Islam”. Sedangkan intelektual generasi ketiga berlangsung pada tahun 1940-1950-an. Intelektual Muslim generasi kedua dipengaruhi generasi pertama dalam fase pendirian dan aktivitas perkumpulan pelajar. Terlacak juga intelektual generasi kedua terlibat dalam perkumpulan dan partai-partai generasi pertama. Organisasi JIB (Jong Islamieten Bond) dan (Studenten Islam Studieclub) menjadi mediasi utama dalam tradisi intelektual dan transmisi ideologi dari generasi pertama ke generasi kedua. Sukiman Wirjosandjojo sebagai pelopor generasi kedua merupakan intelektual Muslim pertama yang mengenyam pendidikan di negeri Belanda.
Sedangkan intelektual terkemuka generasi kedua adalah Mohammad Natsir, Samsuridjal, Kasman Singodimedjo, Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, M. Rasjidi dan Jusuf Wibisono. Di antara tokoh tersebut, Mohammad Natsir yang paling terkemuka. Generasi intelektual kelompok reformis-modernis dan kelompok tradisionalis memberikan kontribusi terhadap generasi kedua intelektual. Walaupun kelompok reformis memberikan kontribusi lebih besar karena peran madrasah, publikasi-publikasi, dan massifnya aktivitas dakwah kelompok reformis. Tokoh terkemuka dari kelompok tradisionalis generasi kedua adalah Wachid Hasjim, Fathurahman Kafrawi dan Mohammad Iljas. Hasjim memiliki pengetahuan agama yang memadai, menguasai pengetahuan saintifik moderen dan bahasa-bahasa Eropa dengan belajar otodidak; Kafrawi sebagai lulusan Al-Azhar Kairo memperoleh pengetahuan agama dan umum yang memadai, sedangkan Moh. Iljas ialah lulusan Hollands Inlandsche School. Ketiga figur ulama-intelek tersebut menjadi pelopor intelektualkalangan tradisionalis.
Tradisi Intelektual Islam
Tradisi intelektual Islam yang megedepankan pemikiran sebagai sebuah upaya untuk mengembalikan Islam sebagai agama yang mencari kebenaran dan menjawab permasalahan yang berbeda antara zaman klasik, pertengahan dan modern, tidak hanya terjadi di berbagai belahan dunia yang dialirin arus Islam sebagai bagian dari masyarakat kawasan tersebut. Indonesia sebagai bagian dari wilayah yang dialiri Islam mengalami perubahan pemikiran yang dikenal dengan upaya pembaharuan keagamaan yang telah muncul dan dipelopori oleh pergerakan ulama antara tahun 1913-1916 di bawah pengaruh pembaharuan pemikiran Syeikh Ahmad Khatib dan penyebarluasan Paderi yang anti pandangan tradisional dari kalangan ulama saat itu.
Pengaruh Muhammad Abduh terhadap perkembangan tradisi intelektual Islam Indonesia memiliki pengaruh yang cukup besar dan luas. Pengaruh dari Muhammad Abduh yang begitu terlihat melalui sosok Syeikh Ahmad Khatib sebagai ulama pembaharuan yang melahirkan “kaum muda”, tidak serta merta menghilangkan pengaruh “kaum tua” yang dikenal dengan tradisionalis. Tradisionalis direpresentasikan oleh Hasyim Asj’ari pelopor berdirinya Nahdathul Ulama. Ulama intelektual pembaharu di pada abad 19 melalui Djamil Djambek dan Haji Rasul mencoba mendapatkan bentuk baru lembaga pendidikan, bentuk interaksi baru dan bentuk langkah-langkah (gaya) ijtihad yang tetap menghormati Mazhab Syafi’i sebagai acuan.
Tradisi intelektual Islam Indonesia dibangun bersamaan dengan Islam diturunkan ke dunia melalui lisan Nabi Muhammad saw. Tradisi ini dalam perkembangnya memiliki corak yang berbeda dalam tiap zaman peradaban yang telah berlangsung dalam Islam. Corak yang berbeda itu terjadi mulai zaman klasik, zaman pertengahan dan dan zaman modern. Zaman klasik memberikan sumbangan terhadap pengembangan keintelektualan dengan menempatkan metode yang berkembang dalam pengajaran dan pendidikan yang dipraktekkan mulai zaman Nabi Muhammad saw yaitu metode metode, tulisan, dan hafalan. Metode ini menjadi cara mempengaruhi pengajaran dan pendidikan terhadap kaum muslim pada zaman klasik di Indonesia dengan munculnya pondok dan/atau pesantren sebagai contoh yang nyata dalam membina kaum muslim saat itu.
Zaman Pertengahan memiliki sumbangan terhadap munculnya institusiinstitusi yang membantu dan mengembang tradisi intelektual Islam. Pengembangan ini dibentuk oleh institusi yang dilembagakan melalui aliran-aliran teologi, sufisme, maupun mazhab yang telah jauh berkembang dibandingkan dengan zaman klasik. Keberkembangan ini pun memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap tradisi intelektual Islam di Indonesia, dengan dibuktikan menguatnya aliran teologi (ilmu kalam) ahluu sunnah wa al-Jama’ah yang beraliran mazhab Syafi’i, dengan tidak menafikan terdapatnya aliran dan pemikiran Syi’ah yang berkembang bersamaan dengan aliran arus utama Islam di Indonesia pad saat itu.
Zaman Modern merupakan pergulatan tradis intelektual Islam Indonesia, yang melahirkan dua kelompok kaum muda dan kaum tua. Kaum muda mengedepankan pentingnya pembaharuan pemikiran dalam ranah pemahaman Islam, dengan metode mengembalikan Islam pada tempatnya melalui pemahaman ajaran Islam yang menghilangkan sisi taqlid dan memurnikan ajaran Islam dari tahayul, khurafat, bid’ah dan kembali kepada ajaran Islam berdasarkan kepada al-Quran dan al-Hadits. Gerakan pembaharuan Islam ini dipelopori oleh Syeih Ahmad Khatib yang kemudian melalui pengajaran yang dilakukannya melahirkan tokoh-tokoh seperti Mohd. Tahir bin Djalaluddin, M. Djamil Djambek, Abdullah Ahmad, Abdul Karim Amrullah (Hadji Rasul), M. Thaib Umar, Achmad Dachlan, dan Agus Salim.