ArtikelOpini

Posisi Intelektual Mencerdaskan Ditengah Disrupsi Global

4 Mins read

(Sumber Gambar: Redaksi SEJUK.ID)

Saat ini bangsa Indonesia juga tengah menyambut bonus demografi berupa generasi emas (golden generation) pada 2045. Ada banyak tantangan yang dihadapi dalam merealisasikan visi Indonesia Emas 2045. Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat, memungkinkan terjadinya pertukaran informasi tanpa batasan ruang dan waktu. Hal itu dapat mempengaruhi sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga muda dituntut untuk mampu memfilter sekaligus beradaptasi dengan berbagai situasi.

Indonesia Emas 2045 dicirikan pada kualitas sumber daya manusianya, terutama kaum muda. Fase ini juga disebut sebagai jendela demografi (window of demography). Hal ini menghendaki setiap generasi memiliki karakter intelektual komprehensif, mulai dari: kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Untuk itu, sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim, perlu penyiapan intelektual muda unggul, agar potensi bonus demografi itu tidak malah menjadi bencana demografi (demographic disaster). Masalah SDM unggul memang telah menjadi masalah klasik di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim, termasuk Indonesia. Upaya mencetak intelektual muda yang terlatih dan terdidik merupakan faktor penting yang terus diupayakan dalam mengejar ketertinggalan dengan negara maju.

Bonus demografi dapat tercapai jika kualitas sumber daya manusia di Indonesia memiliki kualitas yang mumpuni sehingga akan berimbas pada pertumbuhan ekonomi negara. Sebaliknya, kutukan demografi akan terjadi jika jumlah penduduk yang berada pada usia produktif ini justru tidak memiliki kualitas yang baik sehingga menghasilkan pengangguran massal yang justru menjadi beban negara. Karena itu, setiap Intelektual harus mampu memanfaat peluang tersebut, sehingga menjadi navigator perubahan. Seorang Intelektual harus terus tumbuh dan berkembang menjadi intelektual yang inovatif dan produktif. Membuka diri dan adaptif terhadap hal-hal baru di era disruptif.

Selain itu, saat ini Indonesia menghadapi tantangan teknologi informasi dan ilmu pengetahuan yang sudah menglobalisasi, jadi segala informasi datang secara bergelombang tanpa batas ruang aktivitas masyarakat sehingga kerapkali muncul kasus-kasus informasi tak jelas, berita bohong, ketekutan dan sebagainya.

Intelektual Mencerdaskan

Kaum Intelektual saat ini dihadapkan pada dunia yang tidak lagi monolitik; Ia hidup menjadi warga dunia (world citizenship). Tentang hal ini, Bauman melihat globalisasi sebagai “perang ruang angkasa”. Menurutnya globalisasi merupakan mobilitas pada masyarakat yang menjadi faktor stratifikasi paling kuat. Bahwa para pemenang dalam arus globalisasi dikatakan telah berhasil hidup di dalam “waktu” dan ruang (jarak) yang bukan lagi menjadi masalah. Agama juga menjadi bagian dari globalisasi dan juga dipengaruhi oleh proses globalisasi. Sehingga munculnya kelompok-kelompok sekuler maupun fundamentalis dalam masyarakat akibat proses tersebut.

Diantara resiko yang dimunculkan globalisasi adalah perseteruan antara fundamentalisme vis a vis kosmopolitanisme. Fundamentalisme dalam pengertian ini sangat beragam, bisa fundamentalisme agama, etnis atau ideologi politik. Namun apapun bentuknya, karakter fundamentalis tetap dianggap menjadi sebuah masalah, karena berlawanan dengan kosmopolitanisme dan identik dengan kekerasan. Kasus lahir dan dibubarkannya Gerakan kelompok-kelompok ekstrimisme di Indonesia menjadi contoh nyata bahwa fundamentalisme dapat bermetamorfosis dalam berbagai model produk modernitas, baik organisasi kemasyarakatan maupun kelompok politik, termasuk didalamnya komunitas intelektual.

Lebih lanjut, saat ini setiap negara-negara hidup ditengah sumber informasi berlimpah, tanpa batas, saling terhubung antar satu sama lain. Jadi, setiap negara bisa mengetahui kondisi atau peristiwa di negara lain dengan cepat. Dengan kata lain, masyarakat intelektual sudah hidup dalam dunia kosmopolitan. Kosmopolitan mengindikasikan adanya sebuah nilai universal yang dianut dan diyakini oleh masyarakat dalam lingkup yang luas atau bahkan tanpa batas. Sementara kosmopolitanisme merupakan harapan ideal tentang warga dunia tanpa batas, dan kosmopolitanisme bersumber dari inspirasi pemikiran humanitas rasional, sebuah nilai yang terkandung dalam diri setiap manusia.

Dalam konteks negara-bangsa, pemikiran kosmopolitanisme pada dasarnya memberi ruang penting pada peran individu dalam membentuk komunitas. Dengan dampak globalisasi pada relasi-relasi sosial, kosmopolitanisme menegaskan bahwa perbedaan kultur individu, kelompok dan bangsa, dan dialog antar kelompok tersebut, sebagai batu pijakan dalam membangun tatanan komunitas global.

Dalam pengertian lain, nilai kosmopolitan merujuk kepada suatu paham atau gagasan bahwa semua manusia, tanpa memandang latar belakangnya adalah anggota dari sebuah komunitas. Maksudnya, nilai kosmopolitan mengarahkan kepada suatu kehidupan yang “tanpa-batas” (borderless) yang erat kaitannya dengan globalisasi sehingga nilai kosmopolitan dapat juga dianggap sebagai ideologi yang menganggap semua kelompok etnis manusia milik sebuah komunitas tunggal berdasarkan pada moralitas bersama.

Intelektual dalam Gerakan Sosial

Lalu, peran apakah dari kaum intelektual dalam arus globalisasi dan ekspansi neoliberalisme ini? Piere Bourdieu seorang Intelektual ahli filsafat cum aktivis sosialis democrat dari Perancis ini, mengharapkan kaum intelektual dapat membentuk semacam aliansi dengan melibatkan kelompok lain seperti misalnya aktivis lingkungan hidup, aktivis gender, para pendukung kampanye fair trade, para aktivis ekstrim kiri, kaum buruh, dan sebagainya untuk secara frontal menentang neoliberalisme. Bagi Bourdieu, kaum intelektual sesungguhnya berpotensi untuk menjadi penggerak bagi terbentuknya aliansi Gerakan anti-globalisasi dan anti-neoliberalisme pada skala transnasional dengan cara mengembangkan wacana kritik dan perlawanan. Tetapi Bourdieu tidak bermaksud mengajak kaum intelektual untuk menjadi apa yang disebut oleh sosiolog Todd Gitlin dengan “intelektual publik” (public intellectuals) yang memanfaatkan media massa (cetak maupun elektronik) dalam upaya mereka untuk mempengaruhi para pembuat keputusan dan bahkan publik.

Berbeda dengan Gitlin, Bourdieu lebih mengutamakan keterlibatan intelektual pada gerakan sosial, daripada sebagai individu yang menjadi konsumsi media massa, sebagaimana dikatakannya: “intellectuals (should) enter the terrain of politics without forsaking his or her exigencies and competencies as a researcher (kaum intelektual seharusnya masuk ke tataran politik tanpa pretensi untuk menunjukkan kompetensinya sebagai peneliti”. Jadi, Bourdieu menginginkan agar kaum intelektual mampu menempatkan diri (duduk sama rendah, berdiri sama tinggi) bersama-sama dengan para aktivis atau bahkan kaum petani maupun buruh, dan menghindari arogansi intelektual.

Saat ini, tidak sedikit 29 kaum intelektual di kedua wilayah tersebut di atas yang ikut membidani kelahiran organisasi-organisasi non-pemerintah yang kemudian berperan dalam membantu para pelaku ekonomi kecil yang tersisih dari kancah ekonomi pasar akibat arus globalisasi dan ekspansi neoliberalisme yang lebih menguntungkan pemain dengan modal besar dan mendominasi akses teknologi. Di Bangladesh, Mohammad Yunus adalah seorang intelektual yang kemudian menerjunkan diri ke dalam aktivitas ekonomi akar-rumput (grassroots economy) dengan membentuk Grameen Bank, sebuah Lembaga keuangan yang khusus memberikan pinjaman non-kolateral kepada kaum miskin (terutama perempuan). Di Thailand, tidak sedikit kaum intelektual yang melibatkan diri dalam berbagai gerakan penolakan pembangunan bendungan di wilayah Thailand bagian utara. Di Indonesia pun, kaum intelektual pernah bergulat dengan aktivitas gerakan sosial terutama pada masa Orde Baru sebagaimana tampak pada gerakan pro-demokrasi, solidaritas korban Waduk Kedung Ombo, gerakan buruh, dan sebagainya.

Setelah reformasi, kaum intelektual Indonesia mulai terjebak ke dalam suasana “public intelectualism”, di mana mereka berlomba-lomba untuk mengekspose diri di dalam berbagai media massa (cetak maupun elektronik). Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang sengaja atau tidak menampilkan arogansi intelektual mereka di hadapan publik. Tentu saja peran semacam ini sangat jauh dari yang dicita-citakan Bourdieu di mana intelektual bisa menempatkan diri sebagai bagian dari masyarakat sipil.

Dalam konteks sejarah Indonesia, kaum intelektual telah menjadi pelopor bagi tumbuhnya kesadaran baru yang memungkinkan munculnya tuntutan politis berupa sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat. Meskipun dalam perjalanan selanjutnya peran intelektual mengalami berbagai penurunan, telah tertanam suatu kepercayaan umum yang memiliki akar-akar psikologis dan historis dalam masyarakat akan pentingnya posisi kaum intelektual dalam mengatasi dan memecahkan permasalahan-permasalahan pelik menyangkut ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya.

34 posts

About author
Penulis adalah Alumnus Program Studi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang.
Articles
Related posts
Opini

Maafkan Semua Kesalahan

2 Mins read
Opini

Risiko Menunda Pernikahan dengan Pasangan

3 Mins read
Opini

SUDAH TAPI BELUM; analisis linguistik

2 Mins read

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *