SEJUK.ID – Bahasa Korea, dengan sistem penulisan Hangeul yang unik, telah mengalami evolusi signifikan seiring perjalanan sejarah dan politik di Semenanjung Korea. Perbedaan kebijakan linguistik antara Korea Utara dan Korea Selatan pasca-Perang Dingin turut memperkaya dinamika bahasa ini, menciptakan variasi yang menarik untuk dikaji.
Hal tersebut diungkapkan oleh Dr. Nicola Fraschini, pakar Studi Korea dari University of Melbourne, dalam kelas kajian kawasan bertajuk “The Korean Language: From the Hangeul to the Differences Between South and North Korean Varieties” pada Maret lalu. Kelas ini merupakan kolaborasi Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dengan Strategic Research Institute (SRI) for Korean Studies dari University of Auckland, didukung oleh Kementerian Pendidikan Republik Korea.
“Hangeul, yang diciptakan Raja Sejong pada 1443, awalnya ditujukan untuk memudahkan literasi masyarakat umum. Namun, penerimaannya di kalangan elite terhambat oleh resistensi terhadap perubahan dari tradisi tulisan berbasis Hanja (aksara Tionghoa),” jelas Fraschini. Menurutnya, Hangeul baru benar-benar diadopsi secara luas pada abad ke-20, terutama sebagai simbol perlawanan selama masa pendudukan Jepang.
Fraschini memaparkan, sejak pembagian Korea pada 1948, kedua negara mengembangkan kebijakan bahasa yang berbeda. Korea Selatan berfokus pada standardisasi bahasa berdasarkan dialek Seoul, dengan upaya pemurnian dari pengaruh asing, terutama Jepang. Sementara itu, Korea Utara menetapkan “bahasa berbudaya” berbasis dialek Pyongyang serta menghapus penggunaan Hanja dan membatasi kosakata asing untuk memperkuat ideologi Juche.
Data menunjukkan sekitar 63.000 kata berbeda digunakan di kedua negara, terutama dalam istilah teknis dan politik. Namun, tingkat intelligibility (saling pengertian) antarpengguna tetap tinggi.
Perbedaan bahasa juga menjadi tantangan bagi pengungsi Korea Utara di Selatan. Survei Lee (2018) mengungkap bahwa 21% pengungsi merasa kesulitan beradaptasi dengan variasi Selatan, termasuk stigma terhadap aksen Utara di media dan dunia kerja. “Mereka sering tertekan untuk menghilangkan aksen asli demi integrasi sosial,” tambah Fraschini.
Di sisi lain, program sister city dan pertukaran budaya antara kota-kota Korea Selatan dengan Indonesia (seperti Bandung–Suwon) turut mempopulerkan bahasa Korea di Tanah Air. “Minat generasi muda Indonesia belajar bahasa Korea meningkat signifikan, didorong oleh gelombang Hallyu (K-Wave),” ujar Fraschini.
Fraschini menekankan pentingnya kebijakan inklusif untuk merespons keragaman linguistik, seperti program dwibahasa bagi anak-anak dari keluarga multikultural. “Bahasa Korea tak hanya alat komunikasi, tetapi juga cermin identitas dan sejarah bangsa yang terus berevolusi,” pungkasnya.
Kelas ini menjadi bukti bahwa kajian bahasa tidak hanya relevan secara akademis, tetapi juga krusial dalam memahami kompleksitas hubungan internasional, khususnya di kawasan Asia Timur. Ke depan, kolaborasi serupa diharapkan dapat memperkaya wawasan mahasiswa tentang diplomasi budaya dan soft power melalui bahasa. (*)