Opini

Film Hamka dan Pelajaran Bagi Kader IMM

3 Mins read

Sejuk.IDFilm Hamka yang sedang tayang dibioskop saya pikir perlu menjadi tontonan wajib bagi para kader IMM. Selain sebagai bentuk dakwah persyarikatan, film ini juga memiliki banyak pesan yang patut diterapkan dan diimplementasikan oleh para kader muda Muhammadiyah, khususnya kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah atau yang kerap disapa IMM.

Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa sosok Hamka adalah tokoh besar, ulama terpandang pada zamannya, bahkan karyanya masih relevan dan dijadikan referensi hingga kini. Hamka bukan hanya seorang ulama, beliau adalah sastrawan, jurnalis, negarawan, bisa dikatakan Hamka adalah sosok multitalenta yang nyaris sempurna.

Namun, dibalik besarnya nama Buya Hamka, ada banyak tantangan hidup dan dinamika perjuangan yang ia hadapi. Salah satu contohnya dalam film Buya Hamka Vol 1 adalah ketika Hamka diminta untuk turun dari jabatannya oleh anggotanya sendiri. Keadaannya sangat mencekam, ditengah kerumunan warga persyarikatan, dihadapkan dengan meja panjang, Hamka terang-terangan diminta mundur dari jabatan karena sebuah fitnah. Tapi alangkah bijaksananya seorang Buya Hamka, dia akhirnya mengundurkan diri. Sesampainya di rumah, bahkan dia sempat merenung dan mengeluh pada Siti Raham istrinya, “Tidak ada sedikit rasa hormat yang tersisa dari mereka.”

Dari sepenggal kisah diturunkannya Hamka menjadi pemimpin dalam persyarikatan Muhammadiyah Sumatera Timur tersebut mengajarkan kita bahwa jabatan bukanlah segalanya. Hal itu yang kemudian seharusnya menjadi renungan bagi kader-kader IMM bahwa jabatan sebenarnya hanya jembatan untuk berdakwah. Maka, kader IMM tidak perlu kiranya sikut sana-sini hanya untuk sebuah jabatan yang bahkan pertanggungjawabannya tidak hanya di dunia saja.

Selain itu, dari sepenggal kisah tersebut dapat diambil pelajaran untuk tidak menghakimi terlebih dahulu. Sebagaimana pesan Buya Hamka dalam film Buya Hamka, “Jangan menghakimi tanpa mempelajari.” Hamka dipaksa turun jabatan karena difitnah, dianggap bersekongkol dengan penjajah. Tidak menutup kemungkinan, bahwa bisa jadi ada banyak pemimpin hari ini yang kerap dituduh dan difitnah, atau mungkin dianggap tidak memiliki kapabilitas sehingga pantas untuk diturunkan dari jabatan. Sehingga pesan penting dari kejadian ini adalah untuk tidak menghakimi terlebih dahulu.

Menyaksikan film Buya Hamka tidak hanya kental dengan nilai-nilai sejarah dan nilai Islam, melainkan juga tersirat nilai-nilai kehidupan yang bisa diselaraskan sebagai sebuah moral value untuk ditiru para kader Muhammadiyah, dalam hal ini khususnya kader-kader IMM. Setidaknya terdapat 3 pelajaran perjuangan yang masih relevan dengan perjuangan IMM hari ini.

Pertama, dakwah bisa melalui cara yang sederhana. Posisi IMM secara sederhana adalah perpanjangan tangan dakwah Muhammadiyah dalam kancah mahasiswa, artinya peran utama kader IMM adalah berdakwah. Dari film Buya Hamka ini kemudian mengingatkan para kader IMM bahwa berdakwah itu tidah harus megah, tidak perlu yang wah. Ujung perjuangan IMM adalah Muhammadiyah itu sendiri, sehingga setiap program kerja yang dilaksanakan itu bukan sebagai bentuk kesombongan, melainkan sebagai ikhtiar untuk menanamkan ideologi Muhammadiyah. Ada banyak cara dan jalan berdakwah yang dipilih, seperti Buya Hamka yang mengatakan bahwa, “Dakwah tidak hanya ceramah atau pidato, roman indah memilat hati, dakwah akan lebih mengena.”

Kedua, semangat dan perjuangan yang senantiasa membara. Kekuatan semangat yang Buya Hamka miliki adalah semangat Islam, betapa Buya tidak pernah mengesampingkan nilai-nilai Islam dan senantiasa mentauhidkan Allah dalam setiap nafas perjuangannya. Dalam film Buya Hamka Vol 1 kita akan menyaksikan betapa lidah Buya Hamka senantiasa ringan sekali untuk menyebut asma Allah. Menurut Hamka semangat Islam yang sejati adalah semangat berkorban dan berjuang. Ini yang kemudian bisa dijadikan cermin bagi kader IMM bahwa dalam menjalankan roda organisasi dan perjuangan, hal yang tidak boleh dilupakan adalah kedekatan kadernya kepada Tuhan. Bahwa organisasi IMM adalah gerakan yang menggambarkan kader yang religius. Artinya, kader IMM tidak lepas dari pakaian taqwa serta semangat dakwahnya.

Ketiga, haus akan ilmu. Saat Hamka sedang memulai menulis tentang tasawuf, Siti Raham mengingatkan beliau untuk kembali belajar pada Haji Rasul. Kemudian, dengan semangat yang selalu ada, Hamka menemui ayahnya dengan niatan kembali merefresh pelajaran tentang fiqh dan mantiq. Saat itu, Haji Rasul mengingatkan bahwa sebenarnya ilmunya sudah cukup, tetapi Hamka tetap bersikukuh ingin belajar lagi. Lantas apa yang kemudian bisa dipetik oleh kader IMM? Ya, semangat belajarnya. Bahwa menjadi kader IMM, meskipun berlatar belakang seorang mahasiswa, seharusnya tidak menjadikan para kadernya cukup. Sebagai organisasi yang memiliki nafas intelektualisme, kader IMM harusnya memiliki semangat belajar yang terpatri dalam dirinya. Hal ini sebagaimana pesan Haji Rasul, “Belajar kembali agar paham apa yang akan disampaikan kepada para pembaca.”

Tiga pelajaran hidup itu masih sangat relevan dengan gerakan IMM sehingga perlu menjadi renungan bagi para kader IMM untuk tidak haus jabatan, menjadikan semangat Islam sebagai landasan perjuangan dan senantiasa haus akan ilmu untuk terus menambah pengetahuan. Sebagai tokoh Muhammadiyah, sosok Buya Hamka harusnya sudah cukup menjadi lecutan semangat bagi para kader muda di Muhammadiyah.

Penulis : Renci

780 posts

About author
Pemuda yang senang belajar dan berbagi dengan sesama.
Articles
    Related posts
    OpiniPolitik

    Waspada “Kelompok Agamis” : Menggembosi Aksi Mengawal Demokrasi

    4 Mins read
    Opini

    Literasi di Era Scrolling: Menemukan Makna di Tengah Informasi

    4 Mins read
    OpiniPolitik

    Senja Demokrasi Dinasti Jokowi

    5 Mins read

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *