Kata agama, dalam bahasa Inggris disebut religion diartikan dengan belief in and worship of God or Gods atau juga diartikan dengan particular system of faith and worship based on such belief. Sedangkan menurut Burhanuddin Salam, agama adalah kegiatan mengagumi dengan rendah hati roh yang tiada terbatas luhurnya yang menyatakan dirinya dalam bagian yang kecil-kecil yang dapat disadari dengan akal. Agama juga diartikan dengan keyakinan yang sangat emosional akan adanya suatu daya pikir yang luhur yang dinyatakan dalam semesta alam yang tidak dapat dipahami.
Qurasih Shihab juga mengartikan agama bersifat khusus, sangat pribadi, sumbernya adalah jiwa seseorang dan mustahil bagi orang lain memberi petunjuk apabila jiwa sendiri tidak memberitahunya, memperhatikan pendapat ini, tergambar jelas bahwa masalah agama adalah keyakinan yang bersemayam dalam jiwa, karena bathini (jiwa) mampu merasakan kebenaran yang mendalam.
Menurut Muhammad Syaltut menyatakan bahwa agama adalah ketetapan-ketetapan ilahi yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW untuk menjadi pedoman hidup manusia. Dari defenisi-defenisi di atas, dapat dipahami bahwa terdapat tiga faktor yang berkenaan dengan agama, yaitu: pertama, faktor Tuhan sebagai pemberi ketetapan, kedua, wahyu sebagai sumber ajaran, ketiga para nabi sebagai perantara antara Tuhan dan manusia, untuk menyampaikan wahyu atau risalah-risalah kebenaran. Maka syaikh Muhammad Abdullah Badran pun mengartikan agama sebagai hubungan antara dua pihak, yang pertama mempunyai kedudukan lebih tinggi dari yang kedua. Sehingga Quraish Shihab berpendapat bahwa yang dimaksud dengan agama adalah hubungan antara makhluk dan khalik-Nya.(Hasir Budiman Ritonga (2019). hlm, 57).
Makna Agama
Abdullah Latuapo IAIN Ambon, Indonesia. Masa Depan Pendidikan Agama Dan Tantangan Pluralisme Agama Dalam Ruang Publik Global. Edusaintek: Jurnal Pendidikan, Sains dan Teknologi (2022). Globalisasi telah membuka pintu perjumpaan antar agama dalam satu “rumah besar”. Hal ini menghadirkan konsekwensi pelik; persinggungan antar claim of truth yang makin tak terhindarkan. Dalam kondisi demikian, pluralisme bersemai perlahan dalam relung-relung kehidupan umat beragama. Menawarkan netralitas sikap dan kesatuan pandangan bagi masa depan bersama. Namun tentu saja penerimaan kedua paham masih menjadi diskursus panjang dan berliku, bahkan diantara pemeluk agama sendiri. Menerima tawaran sekularisme dan pluralisme dapat menjebak keber-agamaan kedalam jurang nihilism, sementara berpegang teguh pada keyakinan rigid hanya akan menjerumuskan kedalam lubang hitam absolutisme, keduanya merupakan kutub yang sama berbahaya.
Muhammad Alif UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Eksistensi Tuhan dan Problem Epistemologi dalam Filsafat Agama. Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam (2021). Hasil dari penelitian ini adalah bahwa filsafat agama tidak akan terpengaruh dalam kebebasan berfikir dan berfilsafat, meskipun terikat dengan suatu keyakinan atau dogma bahwa agama sebagai realitas. Di sisi lain, meski objek kajian Filsafat Agama, dan Filsafat Skolastik serta Teologi adalah sama dan saling berkorelasi, yakni agama, namun cakupan dan wilayah serta tujuan dari masing-masing ilmu tersebut tetap berbeda.
Mahfudz Junaedi. Universitas Sains Al-Qur`an (UNSIQ). Agama Dalam Masyarakat Modern: Pandangan Jürgen Habermas. Jurnal Ilmiah Studi Islam. (2020). Agama dalam ruang publik dan Agama dalam masyarakat modern dalam pemikiran Jürgen Habermas merupakan dua sisi yang berbeda, tetapi memiliki substansi yang sama, di mana agama ditempatkan pada ruang publik bukan pada ruang privat. Masyarakat modern yang selalu ditandai dengan demokrasi, sekularisasi, dan pluralisme menempatkan agama pada posisi untuk dilakukan pembacaan lain dan pendekatan pada interpretasi yang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban modern. Diferensiasi fungsional yang mendorong kearah individualisasi agama tidak secara niscaya mengimplikasikan hilangnya pengaruh dan relevansi agama, baik dalam arena politik, budaya masyarakat, maupun tingkah laku sehari-hari.
Penafsiran Agama
Dalam bingkai keberagaman agama dan keyakinan, Indonesia menjadi negara-bangsa (nation-state) yang membanggakan sekaligus menjadi ironi. Dibilang membanggakan karena banyaknya ragam perbedaan dalam aspek agama merupakan suatu kekayaan sekaligus potret pluralisme. Dengan keragaman ini, kita bisa lebih bersikap menghargai perbedaan dan mengedepankan toleransi. Karena mustahil, tanpa menghargai perbedaan dan mengakui bahwa keragaman tersebut adalah aset bangsa, seperti yang terjadi belakangan ini, Indonesia menjadi negara yang diakui oleh seluruh dunia sebagai kiblat toleransi dalam beragama.
Tetapi di sisi yang lain, keberagaman agama dan keyakinan justru menjadi petaka. Konflik sektarian antar keyakinan maupun agama nyaris tidak dapat dibantah keberadaannya. Konflik keagamaan bahkan dengan menggunakan cara-cara kekerasan, banyak kita jumpai. Di antara dari mereka menggunakan klaim kebenaran kelompoknya masing-masing, mengindahkan kebenaran-kebenaran dalam keyakinan atau agama lain.
Mereka menganggap di luar kelompok mereka sebagai yang lain atau the other. Karena mereka sudah terjebak pada koloni dogma masing-masing, mengakibatkan pola pikir dan tindakannya juga anti keragaman. Mereka saling menutup kemungkinan-kemungkinan yang bisa dipertemukan antara kedua belah pihak, sehingga polarisasi menjadi tidak sehat (Hendris, 2016). Dalam menjawab realitas keagamaan yang ada di tengah-tengah masyarakat secara keseluruhan, maka agama memiliki wajah ganda yang dapat menjadi daya tawar dalam menyelesaikan masalah-masalah jiwa keagamaan penganut agama.
Ciri-ciri Matang Beragama
Menurut Walter Houston Clark dalam bukunya yang berjudul Psychology of Religion menyebutkan ciri-ciri keagamaan matang pada seseorang adalah sebagai berikut:
Pertama, umumnya orang yang matang dalam beragama lebih kritis, kreatif dan otonom. Clark menjelaskan bahwa keagamaan matang lebih kritis karena menghendaki esensi atau makna dari ajaran agamanya, sehingga kebenaran yang mereka peroleh lebih mendalam daripada keagamaan anak-anak dan remaja.
Kedua, memperluas perhatiannya terhadap hal-hal di luar dirinya, dicontohkan Clark dalam berdoa. orang yang matang berdoa tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga mendoakan untuk orang lain. Bagi Clark, doa seseorang menjadi kriteria penting apakah orang memiliki keagamaan yang matang. Sebagai contoh, anak-anak biasanya berdoa untuk mereka sendiri. Sedangkan orang dewasa atau orang yang matang keagamaannya, selain untuk diirinya juga untuk orang lain, bahkan untuk keselamatan seorang musuh.
Ketiga, tidak puas semata-mata dengan ritual dan verbalitas dari ajaran agama itu saja. Tetapi lebih dari pada itu orang-orang matang keagamaannya mencari esensi atau makna dari ritual dan verbalitas yang ada. Namun, ritual dan verbalitas tetap menjadi bagian dari kehidupan mereka dalam menjalankan ajaran agama, sehingga esensinya melahirkan perilaku yang toleran, saling menyayangi, hormat menghormati, dan begitu seterusnya.
Inilah yang membedakan antara kegamaan anak-anak dan keagamaan remaja, bagi anak-anak dan remaja keagamaan mereka dibatasi pada aspek verbalis dan ritualis, sementara bagi orang dewasa atau orang yang telah matang keagamaannya verbalis dan ritualis tetap dijalankan, tetapi esensi dan pemaknaannya lebih dari penting.(Ahmad Mujahid (2020). hlm, 380).
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian Heni Yulianti. Pendidikan Agama Islam. Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung Kontribusi Agama Islam Terhadap Kesehatan Mental. (2019). Menyimpulkan bahwa, kontribusi agama Islam terhadap kesehatan mental yaitu: (1) ketenangan dan ketentraman jiwa, (2) mengembangkan dan memanfaatkan potensi, (3) hidup bermakna dan berbahagia.
Hasil penelitian sebelumnya, dikonfirmasi oleh penelitian selanjutnya Oleh Iklima Salji, dkk. Universitas Pendidikan Indonesia. Jurnal berjudul Pengaruh Agama Islam Terhadap Kesehatan Mental Penganutnya, (2022). Adapun hasilnya menunjukkan bahwa agama islam dan kesehatan mental memiliki korelasi yang baik dalam mengatasi permasalahan emosional seseorang. Sebab, apa yang tertuang dalam ajaran islam yang tercantum dalam Al-Quran dan As-Sunnah sangat sesuai dengan fitrah manusia.
Agama berhubungan dengan aktivitas, ritual dan ekspresi kepada sesuatu yang sakral, kepercayaan kepada wujud yang maha kuasa (Tuhan), ritual-ritual yang menciptakan nilai spiritual dalam jiwa raga manusia, sehingga memberikan efek kebaikan, ketenangan dan kebahagiaan hidup.
Agama berkaitan dengan sumber nilai moralitas kepada manusia, karena agama yang memberikan penyelesaian sepenuhnya pada semua masalah kompleks yang berhubungan dengan manusia. Agama bergerak dari individu ke masyarakat, dalam konteks ini terlihat agama sebagai obat penenang kegalauan manusia dalam menjalani kehidupan. Agama merupakan penuntun arah menuju tujuan yang hakiki.