Pendidikan

Berprestasi: Menjadi Sarjana Pertama di Keluarga

4 Mins read

Oleh: Sugiati

SEJUK.ID – Menjadi sarjana awalnya bukanlah impian saya. Ada angan-angan menjadi seseorang yang hebat nan membanggakan, namun, bukankah hal itu dapat dicapai dengan berbagai jalan, tidak harus sarjana, kan? Meski begitu, tahun 2020 membawa saya, menuntun menentukan pilihan untuk mendaftar tes memasuki perguruan tinggi, namanya SBMPTN dan saya memilih Universitas Trunojoyo Madura.

Tidak pernah terfikir dalam benak saya, saat itu huru-hara covid-19 menggemparkan dunia, bahkan memengaruhi berbagai aktivitas. Tidak seperti biasanya. Skala pembatasan, aturan yang ketat kerap menghantui kemanapun beranjak. Momen itu juga yang mengiringi saya mengawali perkuliahan yang dilaksanakan secara online.

Kiranya benar, bahwa badai akan berlalu. Kata itu begitu cocok menggambarkan keadaan di mana saya mulai bisa berkuliah secara offline, setelah covid-19 melandai pada pertengahan perkuliahan. Tentu dengan derap langkah saya memberikan saya keyakinan, namun begitu ragu-ragu akan keputusan itu. Keberanian adalah bentuk sikap paling baik yang saya lakukan kala itu.

Saya menjalankan perkuliahan sebaik mungkin, menaati semua aturan hingga mencoba menjadi yang terbaik diantara yang lain. Pasti, ada susah dan senangnya menjalani perkuliahan secara online dan dipertengahan semester diminta untuk berkuliah secara tatap muka langsung. Beberapa kawanpun mulai bertebaran mencari sahabat karib untuk berteman di perantauan.

Meski begitu, saya beruntung karena dikelilingi oleh kawan-kawan yang hebat dan mendukung dalam keadaan apapun. Sampai pada tahun 2023, saat saya mengikuti ajang pemilihan mahasiswa berprestasi tingkat universitas, kawan-kawan saya senantiasa mendukung layaknya sebuah keluarga, ada yang memegangi laptop sebagai acuan saya berpresentasi, ada yang merekam dan ada yang berpura-pura menjadi meja agar kameranya tidak goyah, saat membuat video presentasi sebagai salah satu persyaratannya.

Usaha dan kerja keras bersama membuahkan hasil dan senyuman lebar pada bibir saya serta orang-orang terdekat. Saya dinobatkan sebagai juara 1 mahasiswa berprestasi tingkat universitas pada tahun 2023. Prestasi ini kemudian yang membuat saya semakin semangat untuk membuktikan pada dunia, bahwa orang biasa seperti saya, ternyata bisa bersaing dengan orang-orang hebat yang lain. Tentu, ini bukan semata atas kepandaian dan kerja keras saya sendiri, melainkan banyak pihak yang mengiringi.

Semester tujuh, menjadi semester paling menakutkan bagi setiap mahasiswa di dunia ini. Yangmana pada semester ini harus bersiap menghadapi skripsi dengan segala lika-liku dan jalannya sendiri-sendiri. Meski, saya mendapat juara 1 sebagai mahasiswa berprestasi atau apalah itu, tetapi perjalanan skripsi saya tidak pernah semulus yang kalian bayangkan. Mudah? Gampang? Tentu saja tidak.

Setelah proposal skripsi saya disetujui oleh Dosen Pembimbing, tentu saya harus mendaftarkan diri untuk mengikuti seminar proposal. Masa itulah yang tidak akan pernah saya lupakan. Saya memaparkan rancangan penelitian dengan begitu lantang, gigih dan berani, namun sayang, saya harus merombak total rancangan penelitian saya tersebut, mengecilkan ego demi yang terbaik.

Tentu tidak mudah mengawalinya lagi, memulai semua dari awal, memutar otak dan menentukan judul skripsi yang baru. Saya memulainya dengan begitu berat, pada awalnya. Apalagi saat itu laptop saya sedang rusak, sedang tidak dapat dipakai sama sekali. Mati total. Betapa hancurnya saya, pikiran berkecamuk dan takut mengecewakan orang tua yang menunggu di rumah, mereka berjuang, bersusah payah demi saya, tapi apa jadinya jika saya tidak bisa lulus tepat waktu?

Akhirnya, saya memberanikan diri untuk mengatakan bahwa laptop saya rusak kepada Ayah, awalnya ini berat karena saya tidak mau menyusahkan, tetapi jika begini terus, kapan saya bisa mulai bangkit kembali? Terus meminjam? Tentu tidak seleluasa laptop sendiri, kan?

Saya pikir Ayah dan Ibu akan keberatan dengan keluhan anak bungsunya itu, tapi yang terjadi adalah mereka menerima dengan tangan terbuka keluh saya, meminta saya segera pulang untuk mengantarkan laptop dan membawanya ke service laptop. Meski, biaya yang dikeluarkan tidak murah, mungkin bisa digunakan sebagai uang belanja untuk Ibu selama satu bulan, bahkan lebih, tetapi demi saya, mereka merelakan itu.

Saya begitu bersyukur memiliki ke dua orang tua yang begitu gigih dan gagah memperjuangkan masa depan saya, meski latar belakangnya berbeda. Mereka berdua hanya lulusan sekolah dasar. Terlebih karena saya anak terakhir, jadi mereka ingin mengukir gelar sarjana di tengah-tengah keluarga.

Setelah laptop saya kembali dapat digunakan, saya memulai mengerjakan skripsi kembali, lebih cepat dan menambah usahanya lebih giat lagi. Meski ditengah-tengah perjuangan itu terdapat rasa takut, rasa was-was dan cemas menyelimuti. Takut mengecewakan Ayah dan Ibu di rumah. Takut tidak lulus tepat waktu.

Tuhan berkata lain, saya bisa. Tanggal 8 Mei 2024 menjadi hari bersejarah saya, melaksanakan sidang skripsi. Meski tidak semulus yang dibayangkan, tetapi bukankah tidak mungkin ada yang sempurna di dunia ini?

Akhirnya, saya dinyatakan lulus dan melaksanakan yudisium pada 19 Juli 2024 dengan begitu berdebar, terharu. Lebih-lebih saat menyanyikan lagu-lagu hymne universitas, yangmana lagu tersebut juga merupakan lagu yang harus dinyanyikan saat orientasi mahasiswa atau OSPEK dulu, sewaktu menjadi mahasiswa baru. Bersyukur dan berterimakasih adalah dua kata bentuk apresiasi kepada orang-orang yang terlibat dalam proses perjalanan panjang ini.

Momen yang paling mengesankan adalah saat saya diamanahi sebuah penghargaan sebagai yudisiawan berprestasi tingkat program studi dan tingkat fakultas sekaligus. Bangga, haru dan sorak sorai yang bergemuruh, membuat saya sesekali meneteskan air mata kala harus berdiri dan menuju panggung untuk menerima penghargaan. Terlebih saat saya harus naik ke panggung untuk berpidato di podium, menyampaikan kesan dan pesan.

Saya menceritakan perjalanan awal hingga akhir perkuliahan, secara singkat. Menceritakan lika-likunya, hingga merasa bangga pada ke dua orang tua. Saya juga menyampaikan bahwa apa yang saya capai hari itu berkat rasa cinta ke dua orang tua, sehingga memberikan saya kasih yang begitu tulus. Mereka adalah bentuk cinta yang sebenarnya. Meski begitu, sayang, momen tersebut tidak disaksikan langsung oleh Ayah dan Ibu karena berhalangan untuk hadir. Mereka berdua hanya menyaksikan momen itu melalui video, sembari tersenyum, sesekali Ibu menyeka air mata, melihatnya.

Terakhir, saya berpesan kepada kawan-kawan dalam pidato tersebut. Memang, dunia hari ini semakin menunjukan dinamika kehidupan yang ugal-ugalan, maka sebagai generasi muda yang berpendidikan, akademisi dan berakal, harus mampu bertempur dan membuktikan pada dunia bahwa kita siap menghadapi kehidupan yang semakin ugal-ugalan, sekalipun di tengah-tengah segala keterbatasan yang ada. Sekalipun saya perempuan, saya akan bertempur meski hancur.

770 posts

About author
Pemuda yang senang belajar dan berbagi dengan sesama.
Articles
    Related posts
    Pendidikan

    Sejarah Wayang: Pengertian, Asal Usul, dan Tokoh Penciptanya

    4 Mins read
    Pendidikan

    Sekolah Terbaik di Surabaya dengan Standar Internasional

    2 Mins read
    Pendidikan

    Homeschooling in Jakarta: An Ideal Choice for Quality Education

    2 Mins read

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *