Opini

Badai PHK dan Ketahanan Ekonomi Indonesia

3 Mins read

SEJUK.ID – Fenomena pemutusan hubungan kerja atau sering disebut PHK yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir menjadi salah satu indikator penting yang mencerminkan dinamika ekonomi Indonesia. Sepanjang tahun 2025, fenomena PHK di Indonesia menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dan menjadi perhatian serta kekhawatiran berbagai pihak. Partai Buruh dan Koalisi Serikat Pekerja mencatat sekitar 70 ribu pekerja mengalami PHK dalam empat bulan pertama tahun ini. Hal tersebut meningkat dua kali lipat dibandingkan periode sebelumnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa PHK bukan hanya persoalan remeh-temeh, melainkan isu nasional yang berdampak luas terhadap stabilitas ketenagakerjaan dan perekonomian nasional.

Peningkatan PHK tersebut dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yakni perlambatan domestik dan ekspor, restrukturisasi industri, serta perubahan pola produksi di sektor padat karya yang selama ini menjadi penopang utama penyerapan tenaga kerja. Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan hingga 20 Mei 2025, tercatat 26.455 kasus PHK dengan konsentrasi tertinggi di wilayah Jawa Tengah, Jakarta, dan Riau. Selain itu, data dari BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) oleh sekitar 73 ribu pekerja, yang menjadi indikator tidak langsung dari peningkatan PHK. Situasi ini berpotensi meningkatkan angka pengangguran dan menimbulkan dampak sosial ekonomi yang perlu mendapat perhatian serius.

Bank Indonesia dan berbagai lembaga ekonomi memperingatkan bahwa gelombang PHK yang terus berlangsung hingga 2025 dapat menurunkan daya beli masyarakat secara drastis, sehingga konsumsi rumah tangga – kontributor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia – akan melemah. Maka dari itu, pembahasan mengenai PHK, pengangguran, dan ketahanan ekonomi Indonesia menjadi sangat penting karena fenomena ini tidak hanya berdampak langsung pada jutaan pekerja yang kehilangan mata pencaharian, tetapi juga berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi nasional secara signifikan.

Penyebab PHK di Indonesia

Penyebab PHK di Indonesia pada tahun 2025 bersifat kompleks dan saling terkait, melibatkan dinamika internal perusahaan hingga kebijakan makro ekonomi. Jika kita meninjau, terdapat beberapa faktor utama yang memicu terjadinya PHK, di antaranya:

  1. Kerugian perusahaan akibat penurunan permintaan pasar domestik maupun ekspor, terutama di sektor manufaktur dan tekstil.
  2. Relokasi pabrik atau perusahaan ke wilayah dengan biaya tenaga kerja lebih murah.
  3. Konflik hubungan industrial seperti perselisihan atau mogok kerja.
  4. Efisiensi operasional untuk menjaga kelangsungan bisnis di tengah tekanan biaya dan persaingan.
  5. Transformasi model bisnis dan kemajuan teknologi seperti otomatisasi dan digitalisasi.
  6. Kebangkrutan atau pailit karena beban utang yang tidak tertangani.
  7. Kebijakan pemerintah seperti kenaikan pajak, pembatasan subsidi, dan regulasi impor atau ketenagakerjaan.

Dampak PHK Terhadap Masyarakat

Dampak PHK terhadap masyarakat Indonesia jauh lebih serius daripada sekadar angka statistik pengangguran. Ketika ribuan pekerja kehilangan pekerjaan, bukan hanya pendapatan mereka yang hilang, tetapi juga kestabilan ekonomi keluarga dan daya beli masyarakat secara umum ikut tergerus. Hal ini berimbas pada melemahnya konsumsi domestik. Lebih jauh lagi, UMKM menghadapi tekanan berat akibat menurunnya permintaan, sehingga risiko penutupan usaha semakin meningkat.

Selain dampak ekonomi, PHK membawa beban psikologis yang tidak kalah berat bagi para pekerja dan keluarganya. Ketidakpastian masa depan dan tekanan hidup yang meningkat berpotensi menimbulkan masalah sosial yang lebih luas. Terutama bagi pekerja usia lanjut dan berpendidikan rendah, risiko marginalisasi semakin nyata.

Ketahanan Ekonomi Indonesia di Tengah Badai PHK

Ketahanan ekonomi Indonesia saat ini tengah diuji oleh gelombang PHK yang meluas di berbagai sektor sepanjang tahun 2025. Data resmi dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan lebih dari 24 ribu kasus PHK hingga April, dengan sektor manufaktur dan media paling terdampak. Kasus besar seperti PHK massal di PT Sritex yang melibatkan lebih dari 10 ribu pekerja memperlihatkan betapa rentannya kondisi ketenagakerjaan nasional.

Dampak dari PHK ini juga terlihat pada menurunnya daya beli masyarakat, tercermin dari penurunan Indeks Penjualan Riil sebesar 0,5% pada Februari 2025. Deflasi sebesar 0,09% yang tercatat oleh Bank Indonesia menandakan perlambatan ekonomi yang berpotensi memperburuk situasi pasar tenaga kerja.

Meskipun pemerintah telah membentuk Satgas PHK dan mendorong investasi, tantangan masih besar. Tanpa penyerapan tenaga kerja yang memadai, risiko meningkatnya pekerja informal dan pengangguran tersembunyi bisa mengancam stabilitas sosial dan ekonomi nasional.

Kebijakan efisiensi dan penyesuaian anggaran pemerintah juga menambah tekanan. Oleh karena itu, ketahanan ekonomi Indonesia perlu didukung sinergi kuat antara sektor swasta, pemerintah, dan masyarakat. Penanganan PHK harus dilakukan secara realistis dan menyeluruh, tidak hanya fokus pada pemulihan ekonomi tetapi juga perlindungan sosial dan pembangunan berkelanjutan.

Oleh: M. Rendi Nanda Saputra
(Mahasiswa Ekonomi Syariah UMY, Sekretaris Umum PC IMM AR Fakhruddin Kota Yogyakarta)

Related posts
Opini

Zulaikha: Cermin untuk Tidak Menghakimi

2 Mins read
Opini

Reformasi Polisi, Aparat Seharusnya Bersama Rakyat

3 Mins read
Opini

Menyekolahkan Mulut Influencer!

2 Mins read

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *