Kemajemukan bangsa Indonesia terbentuk dari keberagaman yang ada dalam masyarakat antara lain suku, ras, agama, dan budaya. Kondisi ini merupakan kekayaan dan anugerah Tuhan karena di dalamnya terkandung berbagai keindahan, nilai luhur dan potensi yang luarbiasa. Dalam hal keberagaman, tidak ada bangsa atau negara lain di dunia yang setara dengan Indonesia. Hal ini ditegaskan pula oleh Munawaroh dan Dewi bahwa berbicara tentang keragaman tidak ada negara sekaya Indonesia. Perpaduan antara potensi keberagaman, kekayaan sumber daya manusia dan kekayaan alam menjadi modal bagi Indonesia untuk dapat menjadi bangsa multikultur yang maju dan sejahtera di masa depan. Hal itu akan menjadi sebuah realisasi ketika semua unsur perbedaan bersatu untuk saling melengkapi dan membangun negara ini.
Keberagaman memang merupakan modal kuat untuk membangun, namun sejatinya di sisi lain memuat potensi konflik dan jika tidak dijaga dengan baik akan terjadi disintegrasi bangsa. Salah satu konflik antar etnis terbesar terjadi tahun 1998 yang dikenal dengan “Tragedi Mei”. Betapa peristiwa itu menyisakan luka mendalam dan kenangan pahit bagi banyak orang di negara ini sampai sekarang.
Mengutip dari BBC News, konflik yang berujung disintegrasi pernah terjadi di Indonesia ketika pemilihan presiden berlangsung tahun 2019 lalu. Perpecahan terjadi bahkan sampai pada lapisan terbawah yaitu keluarga. Kasus lain terjadi beberapa waktu lalu di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Terjadi pembakaran gereja dan rumah warga sekaligus pembunuhan terhadap beberapa orang. Berbagai konflik masih terus terjadi dinegara ini. Pada tahun 2020 lalu kejadian kembali terulang dengan munculnya pertikaian antara suku Nafri dan suku Enggros di Papua yang berujung pada kematian banyak orang. Peristiwa konflik tidak hanya terjadi dalam skala besar, saat ini di masyarakat sudah terindikasi munculnya perasaan saling curiga dan benci antar agama maupun kelompok. Melihat fakta yang ada, ternyata sifat kemajemukan yang Indonesia miliki justru menjadi sumber potensi disintegrasi bangsa.
Melihat fakta – fakta yang ada, telah nyata bahwa ancaman disintegrasi bangsam perlu ditangani segera secara serius. Kerukunan menjadi dasar utama sebagai bentuk antisipasi agar konflik tidak terjadi di masyarakat. Kerukunan mensyaratkan partisipasi seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali. Ditegaskan oleh Zumratun penanganan disintegrasi selain perlu secara serius juga harus melibatkan seluruh elemen masyarakat untuk mencegah dan mengatasi secara bersama-sama. Sebagai orang beragama, mewujudkan kerukunan dalam kehidupan beragama dan bernegara adalah sesuai dengan ajaran kitab suci dan panggilan hidup yang harus dijalankan. Dengan demikian aktualisasi sila ketiga Pancasila terwujud melalui kehidupan orang percaya. Dalam hidup bernegara dan bermasyarakat, sila ketiga Pancasila perlu diaktualisasikan oleh seluruh warganegara, termasuk orang beragama dalam bagiannya.
Tema mengenai kerukunan dan aktualisasi sila ketiga dalam masyarakat majemuk sudah pernah diangkat dalam penelitian oleh Siprianus Ghasa oleh berjudul “Peran Sila Ketiga Pancasila Dalam Merawat Kemajemukan di Indonesia”. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa sila ketiga menjadi semacam instruksi bagaimana elemen bangsa yang bersifat plural mempraktikkan sila tersebut dalam kehidupan berbangsa demi kesatuan dan persatuan negara Indonesia. Kesimpulan penelitian tersebut adalah konsep saling mengasihi harus diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat multikultural. Ajaran itu juga menjadi dasar dan contoh dalam menjalin relasi dan interaksi di masyarakat majemuk. Berdasarkan penelitian tersebut diatas, maka mewujudkan kerukunan dan kedamaian ditengah kehidupan beragama dalah sebuah kewajiban moral setiap masyarakat agar menciptakan kedamaian dan kemajuan dalam kehidupan bernegara.
Kerukunan Dalam Masyarakat Majemuk
Kerukunan adalah suatu keadaan baik yang didambakan oleh setiap orang dalam menjalani kehidupan sosialnya. Pada hakikatnya kerukunan adalah kehidupan bersama dari sebuah komunitas dengan kesatuan jiwa. Sependapat dengan hal ini Stevanes mengatakan berbicara mengenai kerukunan bukan membahas mengenai kesamaan atau keseragaman, tetapi berbicara mengenai kesatuan. Menghayati makna tersebut kerukunan berarti juga persatuan, bukan hanya sebuah slogan atau keadaan aman tanpa konflik semata. Hal ini disebabkan keadaan tanpa konflik dalam suatu komunitas belum tentu menjamin sebuah kerukunan terbangun. Menurut Hendrilia kerukunan yang dibangun dari hal-hal yang tidak baik, bukan didasari oleh kebenaran, kasih dan keadilan maka itu sebenarnya adalah kerukunan palsu yang justru suatu saat akan memunculkan konflik. Jadi kondisi tanpa konflik bukan berarti terwujud kerukunan karena kondisi itu dapat disebabkan oleh banyak faktor yang bukan dari dalam jiwa, seperti misalnya karena keterpaksaan, tuntutan, kebutuhan akan pencitraan dan beberapa alasan lainnya.
Sejatinya kerukunan mengandung makna yang sangat dalam. Kerukunan adalah kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk sosial. Setiap orang membutuhkan orang lain dalam kehidupannya, tidak ada seorangpun yang mampu hidup sendiri tanpa orang lain. Secara substansial, kehidupan bersama orang lain membutuhkan kerukunan. Hal ini berarti tidak ada orang yang dapat hidup bersama orang lain tanpa substansi tersebut, yaitu sebuah kerukunan. Selaras dengan pendapat tersebut Syahrin Harahap menyatakan bahwa kerukunan adalah juga sebuah kebutuhan politik, kebangsaan dan kemanusiaan. Selain sebagai dasar kehidupan sosial, kerukunan menjadi salah satu syarat utama dalam usaha pembangunan atau pengembangan hidup bermasyarakat. Setiap kehidupan akan selalu dibangun menuju kepada harapan kesempurnaan. Semua bagian masyarakat berkewajiban memikul tanggung jawab dan mensukseskan pembangunan masyarakat. Tanpa kerukunan pembangunan tidak akan terwujud optimal atau sempurna. Dalam konteks kemajemukan Indonesia, masyarakat perlu dibangun agar tetap dapat hidup rukun, damai, tentram dan sejahtera.
Lebih jauh mengenai hal ini, dalam kehidupan kemajemukan sosial kerukunan seperti menjadi sebuah situasi yang sulit dicapai dan mahal harganya. Hal ini mengingat karakteristik kemajemukan yang mengandung berbagai perbedaan di dalamnya. Setiap perbedaan yang ada memuat kepentingan, tujuan dan harapan masing-masing. Dalam kondisi demikian kemungkinan yang terjadi justru sebuah intolerasni. Pendapat Arifianto menegaskan bahwa bangsa Indonesia menjunjung tinggi perbedaaan dan gotong royong menjadi semangat dalam bermasyarakat namun harmonisasi hidup justru mengalami banyak goresan karena adanya kelompok intoleransi. Keadaan inilah yang membuat bangsa Indonesia sangat sulit untuk mencapai kerukunan hidup yang sesungguhnya. Perbedaan suku, budaya, agama, golongan memunculkan sikap primordialisme kronis yang menjadi penghancur kerukunan.
Kemajemukan di Indonesia melahirkan pula sikap diskriminasi yang sangat kental terjadi di negara ini. Mengutip dari buku karya Denny JA, berjudul Menjadi Indonesia Tanpa Diskriminasi, hasil survey memberikan data prosentase diskriminasi agama di Indonesia masih di level 35.2, angka yang masih sangat jauh dibandingkan dengan rata-rata diskriminasi dunia pada tingkat 17.5. Dalam kondisi seperti ini tentu sangatlah berat membangun sebuah kerukunan karena kerukunan yang sesungguhnya tidak akan mungkin terbangun dalam kondisi ketidakadilan. Hendrilia menegaskan pernyataan ini yaitu bahwa kerukunan hidup yang hakiki akan selalu memenuhi nilai dan sifat universal dan mengandung misi bagi kemanusiaan. Sebab sejatinya hidup dalam moralitas keagamaan dituntut untuk mengaktualisasi nilai kerukunan dalam menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Pada intinya, kerukunan hidup menjadi syarat mutlak dalam kemajemukan sosial masyarakat. Huda dan Filla berpendapat bahwa kehidupan yang berada dalam keberagaman menuntut dengan tegas setiap warganya untuk menjaga perdamaian diantara perbedaan hingga terjalin dalam jiwa dan semangat. Tanpa adanya kerukunan hidup maka kehidupan masyarakat akan mengalami kehampaan jiwa dan berjalan tidak harmoni bahkan dapat mengalami kehancuran. Dengan demikian akan terjadi pula kepunahan suatu bangsa atau negara karenanya.
Kemajemukan sosial di Indonesia memicu perpecahan bangsa dan negara. Oleh karena hal tersebut diperlukan upaya dari semua elemen masyarakat untuk mengantisipasi dengan cara menjaga kerukunan sebagai landasan hidup bermasyarakat. Membangun dan menjaga kerukunan merupakan bentuk aktualisasi sila ketiga Pancasila. Sebagai orang percaya terhadap ajaran agama menjadi dasar dalam membangun sikap kerukunan dan aktualisasi sila ketiga.
Bentuk implementasi kerukunan untuk mengaktualisasikan sila ketiga bagi orang percaya adalah melalui dua aspek. Aspek pertama, membangun spirit Nasionalisme, dengan cara: menerapkan pendidikan Nasionalisme–Multikultural; menyusun program sosial kemasyarakatan di lingkungan; membuat tayangan/film mengenai keberagaman Indonesia; memben-tuk program pembinaan terhadap usaha kecil menengah; bekerja bersama gotong royong menjaga keamanan lingkungan. Aspek kedua adalah membentuk sikap patriotisme melalui: memberi teladan kehidupan yang sederhana, tidak dalam kemewahan; membangun budaya rukun dalam kehidupan sehari-hari; membangun identitas agama yang rukun di tengah kemajemukan sosial; menumbuhkembangkan kepekaan sosial; bertekun mengembangkan diri seluas-luasnya; berupaya senantiasa menjadi terang dan pembawa damai dalam setiap situasi kehidupan.