ArtikelOpini

Puasa Manusia dan Kepedulian pada Mustadh’afin

5 Mins read

(Sumber Gambar: Redaksi Sejuk .ID)

Ada yang sangat penting pada peringatan hari pendidikan yang bertepatan dengan momentum ramadhan ini. Ramadhan membawa banyak pesan bagi segenap manusia, diantaranya adalah pesan atas nilai pencerahan berfikir (aufkarung) karena turunnya kitab petunjuk bagi sekalian manusia (al-Furqon) kepada Nabi saw. Selain itu Ramadhan juga memberikan pesan kuat kepada sekalian manusia atas nilai-nilai kesetiakawanan sosial, kepedulian terhadap sesama dan kegotongroyongan. Ramadhan juga memberikan pesan mewujudkan kedaulatan rakyat atas dirinya, serta pemenuhan hakhak ekonomi yang gagal diberikan sistem kapitalisme yang predatoris.

Tulisan ini mengurai apa pesan di balik Ramadhan yang mengajarkan umat manusia untuk terus melakukan belajar dan pembelajaran khususnya terhadap kelompok mustadha’fin (dhu’afa), yaitu kelompok yang miskin (tertindas).

Memontum Ramadhan banyak memberikan pesan sosial tentang pelayanan terhadap masyarakat (khadimul ummah) dari aspek pembangkitan nalar pembelajaran ilmu yakni pemaknaan atas “iqra” (surat pertama turun QS. Al-Alaq:ayat 1-5), maupun peran muamalah yakni perhatian kepada sesama khususnya peduli dengan kelompok mustadh’afin (masyarakat tertindas secara ekonomi), seiring dengan perkembangan ekonomi Islam di Indonesia. Tulisan ini akan mengurai relasi Ramadhan yang di dalamnya memuat pesan profan atas muamalah (aktivisme) penyampaian keilmuan dan peran muamalah sosial ekonomi di tengah mengeliatnya berkembang ekonomi Islam di Indonesia.

Ramadhan dan Pesan Islam Transformatif

Puasa yang ditunaikan pada bulan Ramadhan, mempunyai pesan transformatif. Ramadhan merupakan momentum mengasah kepekaan sosial. Ramadhan tidak hanya berkutat pada wilayah ubudiyah (transenden) semata, melainkan banyak ibadah yang

menampilkan tentang nuansa kepedulian terhadap umat yang mengalami penindasan, baik dari sisi hak hidup, ekonomi maupun penindasan keadilan. Ramadhan adalah syahrul Jud (bulan pemberi) dan syahrul Muwassah (bulan memberi pertolongan). Ramadhan yang di dalamnya ada momentum turunnya AlQur’an tentu perlu menjadi bekal nilai kritis bagi seorang muslim. Dijelaskan oleh Nabi saw tujuan puasa bukan hanya lapar dan dahaga, sedangkan nilai-nilai yang terkandung dalam puasa mereka abaikan. Nilai-nilai yang dimaksud Nabi saw dalam berpuasa adalah nilai-nilai dalam meneladani akan sifat-sifat Allah swt. Sifat-sifat orang berpuasa yang meneladani sifat-sifat Allah diantaranya menganggap setiap orang adalah sama (egaliter), karena memang semua sama, sama dihadapan Allah swt baik itu orang yang tha’at (patuh terhadap perintah Allah) maupun orang yang bergelipang dosa.

Dikutip dari M. Qurais Shihab (1996) bahwasannya Al-Hasan Al-Bashri pernah menggambarkan keadaan orang yang meneladai sifat-sifat Allah, sehingga mencapai tingkat taqwa yang sebenarnya. Adapun sifat-sifat ahli puasa yang dimaksud mempunyai sifat teguh dalam pendirian sehingga keluar sikap bijaksana. Tekun menuntut ilmu sehingga muncul sifat-sifat padi, semakin berisi semakin merunduk, semakin berkuasa semakin bijaksana. Memiliki persaan qana’ah (kepuasan) dalam menerima rizki dan masih banyak lainnya sifatsifat yang digambarkannya.

Puasa juga akan membangkitkan kesadaran kultural. Dalam sisi dimensi kemanusiaan, Ramadhan membangun kesadaran kemanusiaan. Jelas dimensi kemanusiaan merupakan nilai dasar pedoman bagi kehidupan bangsa Indonesia. Puasa akan membangun gerakan Islam transformatif dalam kehidupan sosial. Menurut Umar (2015) seyogyanya mempunyai nilai dalam menegakkan kesadaran kultural yaitu “sholat sosial” dan zakat pembebasan”. Maksud “sholat sosial” adalah membangun kesadaran untuk bergerak bersama, berjamaah dalam berfikir progresif, sujud saling menyadari penindasan dilingkup sosial. Kesadaran tersebut bukan timbul karena karena politik dan kerja kerja instans keduniaan. Sedangkan “zakat pembebasan” merupakan sikap sikap untuk mengeluarkan harta kita guna membangun permbedayaan ekonomi umat.

Islam dalam Dimensi Kemanusiaan: Perspektif Ekonomi Islam

Di tengah hingar bingar tumbuhnya semangat ekonomi Islam, perlu meninjau atas harakah (gerakan) dari nilai awal yang diharapkan oleh pesan Islam itu sendiri menurut maqoshid syariahnya. Dikutip dari Simons Syaefudin dalam In Memoriam Dr. Arief Budiman (republika.co.id 2 mei 2020), Arif Budiman menegaskan bahwa Islam yang lahir sebagai agama keadilan tentunya tidak boleh dikotori oleh virus kapitalisme. Selama ribuan tahun berkuasanya ke-khalifah-an despot Bani Umayah dan Bani Abasiyah, Islam tumbuh menjadi “agama kapitalis yang otoriter”. Hampir semua hukum fikih yang berkembang sekarang, misalnya, berbasis kapitalisme dan despotisme, warisan kekhalifahan despot tersebut. Kritik Arif Budiman sesungguhnya sudah digariskan oleh para penggagas ekonomi Islam di Indonesia, diantaranya adalah M. Dawam Rahardja (1999). Dalam bukunya “Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, Beliau memberikan eksplorasi argumentatif yang baik bagi kelangsungan hidup ekonomi Islam di Indonesia.

Indonesia sebagai negara yang memunyai cita-cita luhur sesuai dengan pesan dasar negara yakni sila kedua Pancasila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Prinsip tersebut merupakan pesan humanitarian, dimana pesannya adalah keadilan, keberadaban. Nilai tersebut jelas tidak paradoks dengan nilai Islam yang berada pada QS al-Ma’un: 1-7. Konstektualisasi dari kandungan ayat tersebut tentu sangat bernilai Pancasilais sesuai dengan harapan dari nilai-nilai bangsa. Pandangan Islam pada dimensi ekonomi yang menyangkut humanisme memberikan dua penekanan agar pelaku ekonomi melakukan ikhtiar keadilan dalam memuliakan hidup manusia (QS. Al-Isra:70). Allah telah memberikan sumber daya alam yang melimpah, malah bukan hanya untuk manusia melainkan untuk sekalian makhluk-makhluk lain yang ada. Ketersedian sumberdaya tersebut oleh manusia sebagai pelaku ekonomi yang juga dipengaruhi oleh aspek sosial dan politik kerap kali malah menciptakan gap, dimana kelebihan pada satu pihak dan kekurangan pada pihak lain.

Sungguhpun mempunyai perspektif kesejarahan seperti tersebut di atas, Islam juga mengajarkan kebebasan dan keterbukaan akses terhadap sumberdaya dalam merengkuh rizki. Setiap ada effort dalam kinerja bagi setiap orang memperoleh apresiasi (ganjaran/upah). Effort dalam sebuah upaya kinerja mendapat perhatian dari al-Qur’an (QS. Al Najm: 39); “Seseorang tidak dihukum karena dosa orang lain, dan dosa seseorang tidak dipikul oleh orang lain. Seseorang tidak mendapatkan pahala kecuali apa yang diusahakannya untuk dirinya sesuai kesanggupannya.” Ayat ini memberikan stimulasi bagi setiap orang untuk mempunyai etos kerja untuk membuahkan prestasi dari hasil usaha. Secara sosial terjadi implikasi dari ayat tersebut yakni perihal kompetisi antara individu maupun antara kelompok masyarakat untuk memperoleh hasil dari effort yang mereka upayakan. Implikasinya adalah akan terjadi perbedaan pendapatan (income) dan berakibat pada berbedaan tingkat sosial karena kepemilikan.

Islam menengarahi atas kondisi perbedaan dari distribusi income seperti yang terjadi di atas. Islam sesuai yang disebut Arief Budiman yakni agama keadilan, perlu keseimbangan (equilibrium) distribusi ekonomi dalam masyarakat. Sehingga Islam menetapkan prinsip “pembersihan” pada kepemilikan harta benda (kekayaan) yakni zakat (pembersihan harta). Zakat merupakan ajaran (ibadah) yang akarnya berasal dari nilai kemanusiaan. Zakat mempunyai pemaknaan atas terapi upaya kemanusiaan yang pincang akibat distribusi ekonomi tidak merata dan berdampak kemiskinan dan dapat dipulihkan kembali. Zakat merupakan esensi dari kebebasan dan keadilan dari sisi kemanusiaan. Maknanya kebebasan adalah setiap manusia terdorong untuk membangun yang bisa menimbulkan kepincangan di masyarakat. Akan tetapi prinsip kebebasan harus diimbangi rasa keadilan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan baru.

Ramadhan setiap tahun dijalani oleh segenap umat Islam penuh dengan pesan dan nilai kemanusiaan. Titik balik yang dipesankan Ramadhan adalah kepedulian atas sesama sebagai perintah atas makna yang tersurat dalam al-Furqon, yakni ketika manusia belajar akan nilai sesungguhnya dari lapar dan dahaga serta pengekangan akan hawa nafsu, maka kembali bahwa nilai-nilai tersebut harus sepadan dengan kepedulian atas solidaritas sosial terhadap sesama. Pendidikan puasa merupakan nilai yang dirasakan oleh kaum tertindas yakni tanpa kekuasaan, tanpa dominasi yang mengkoptasi terhadap sesama seyogyanya diemplemantiskan ke dalam aktivisme (harakah) sosial, ekonomi maupun politik. Dari segi aktivisme ekonomi yang bernaung dalam kubah ekonomi syariah, tentunya bukan hanya zakat, infaq atau pun shodaqoh saja yang mampu menyeimbangkan keadilan distribusi ekonomi bagi umat.

Praktik-praktik pemberdayaan ekonomi Islami harus tidak terkontaminasi terhadap faham kapitalisme. Fenomena praktik ekonomi syariah lebih dominan pada praktik operasionalisasi lembaga keuangan syariah yang belum membuka akses (bankable) terhadap masyarakat ekonomi garis bawah, sehingga produk ekonomi syariah dalam segmen keuangan yang ditawarkan dalam yakni murabahah, mudharobah, musyarokah, kord al hasan, ijarah dan rahn belum dapat dinikmati mereka secara menyeluruh. Sesungguhnya ekonomi syariah merupakan solusi dan juga pemerdayaan (baca: pendidikan) bagi kelompok ekonomi marjinal (mustadh’afin). Akan tetapi keterbatasan outlet yang masih terbatas menciptakan keenganan calon nasabah untuk memanfaatkan produk-produk ekonomi syariah. Bagian terpenting dari praktik-praktik ekonomi Islam tersebut adalah inklusifitas keuangan (Aji: Ansor dan Ijtihad Keuangan Inklusif, 2015). Ekonomi Islam mempunyai misi mulia yakni menciptakan sistem jasa keuangan yang mampu menjangkau semua kalangan. Sistemnya lebih akomodatif tidak hanya pada kelas ekonomi atas melainkan pada kelas ekonomi bawah (mustadh’afin).

34 posts

About author
Penulis adalah Alumnus Program Studi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang.
Articles
Related posts
OpiniPolitik

Waspada “Kelompok Agamis” : Menggembosi Aksi Mengawal Demokrasi

4 Mins read
Artikel

Menyikapi Tanda-Tanda Kiamat dengan Kesadaran dan Perubahan

2 Mins read
Opini

Literasi di Era Scrolling: Menemukan Makna di Tengah Informasi

4 Mins read

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *