Sejuk.ID – Secara etimologis, toleransi berasal dari bahasa Inggris, toleration dan dalam bahasa Indonesia, artinya yaitu toleransi, dalam bahasa Arab disebut altasamuh, yang memiliki makna antara lain, sikap tenggang rasa, dan sikap membiarkan. Sedangkan secara terminologis, toleransi adalah sikap membiarkan orang lain melakukan sesuatu sesuai dengan kepentingannya. Bila disebut toleransi antar umat beragama, maka artinya adalah bahwa masing-masing umat beragama membiarkan dan menjaga suasana kondusif bagi umat agama lain untuk melaksanakan ibadah dan ajaran agamanya tanpa dihalangi-halangi. Inilah toleransi yang dimaksudkan oleh Islam.
Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi keadilan serta mengutamakan akhlak dalam bertoleransi dalam agama Islam. Serta menjaga hubungan antar agama dan kemanusiaan, baik terhadap umat yang beragama Islam maupun agama non-Islam. Agama Islam melarang keras untuk berbuat zalim dengan agama lainnya dengan tujuan merampas hak-hak mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu, karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Q.S. Al-Mumtahah: 8)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy Rahimahullah menafsirkan bahwa : “Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik, menyambung silaturrahmi, membalas kebaikan, berbuat adil kepada orang-orang musyrik, baik dari keluarga kalian dan orang lain. Selama mereka tidak memerangi kalian karena agama dan selama mereka tidak mengusir kalian dari negeri kalian, maka tidak mengapa kalian menjalin hubungan dengan mereka karena menjalin hubungan dengan mereka dalam keadaan seperti ini tidak ada larangan dan tidak ada kerusakan.” [1]
Agama Islam memiliki prinsip yang sangat tegas dalam hal toleransi, antara lain. Firman Allah swt. yang termaksud dalam Q.S. Al-Kafirun (109 : 6), Q.S. Al-Isra’ (17 : 84) dan Q.S. Al-Qashash (28 : 55) bahwa Islam sangat menjunjung tinggi sikap toleransi. Namun, toleransi yang dimaksud adalah dalam hal berinteraksi dan bermuamalah secara baik dengan non-muslim.
Sebaliknya, jika toleransi tersebut sudah bertolak belakang dalam hal akidah, maka prinsip yang dipakai adalah “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.” Wilayah Muamalah dan wilayah akidah mustahil untuk disatukan atau dicampur adukkan antara satu dengan yang lainnya.
Prinsip Islam Dalam Toleransi
Berikut beberapa bukti bahwa Islam adalah agama yang menjunjung toleransi terhadap agama lainnya dan tentunya bukan toleransi yang kebablasan, diantaranya yaitu :
Ajaran Berbuat Baik Terhadap Tetangga
Meskipun non-muslim, berikut ini teladan dari salafus shalih dalam berbuat baik terhadap tetangganya yang Yahudi. Seorang tabi’in dan beliau adalah ahli tafsir, Imam Mujahid, ia berkata, “Saya pernah berada di sisi Abdullah bin ‘Amru sedangkan pembantunya sedang memotong kambing. Dia lalu berkata :
ياَ غُلاَمُ! إِذَا فَرَغْتَ فَابْدَأْ بِجَارِنَا الْيَهُوْدِي
”Wahai pembantu! Jika anda telah selesai (menyembelihnya), maka bagilah dengan memulai dari tetangga Yahudi kita terlebih dahulu.”
Lalu ada salah seorang yang berkata :
آليَهُوْدِي أَصْلَحَكَ اللهُ؟!
“(kenapa engkau memberikannya) kepada Yahudi? Semoga Allah memperbaiki kondisimu.”
‘Abdullah bin ’Amru lalu berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat terhadap tetangga sampai kami khawatir jika Beliau akan menetapkan hak waris kepadanya.” [2]
Bermuamalah yang baik dan Tidak Boleh Dzalim Terhadap Keluarga dan Kerabat Meskipun non-muslim
Misalnya pada ayat yang menjelaskan ketika orang tua kita bukan termasuk golongan umat Islam, maka tetap harus berbuat baik dan berbakti kepada mereka dalam hal muamalah.
Allah SWT berfirman :
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15)
Islam Melarang Keras Membunuh non-muslim kecuali Jika Mereka Memerangi Kaum Muslimin
Dalam agama Islam orang kafir yang boleh dibunuh adalah orang kafir harbi yaitu kafir yang memerangi kaum muslimin. Selain itu, semisal orang kafir yang mendapat suaka atau ada perjanjian dengan kaum muslimin semisal kafir dzimmi, kafir musta’man dan kafir mu’ahad, maka dilarang keras untuk dibunuh. Jika melanggar maka ancamannya sangat keras. “Barangsiapa membunuh seorang kafir dzimmi, maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” [3]
Adapun Seruan Untuk Toleransi Beragama yang Kebablasan
Toleransi berlebihan ini ternyata sudah ada sejak perjuangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk agama Islam. Pada suatu waktu, beberapa orang kafir Quraisy yaitu Al Walid bin Mughirah, Al ‘Ash bin Wail, Al Aswad Ibnul Muthollib dan Umayyah bin Khalaf bertemu dengan Rasulullah dan mereka menawarkan toleransi yang berlebihan, mereka berkata:
“Wahai Muhammad, bagaimana jika kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, maka kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.” [4]
Kemudian turunlah ayat berikut yang menolak keras toleransi kebablasan semacam ini.
Allah SWT berfirman :
“Katakanlah (wahai Muhammad kepada orang-orang kafir), “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.” (QS. Al-Kafirun:1-6)
Catatan kaki:
[1] Taisir Karimir Rahman hal. 819, Dar Ibnu Hazm, Beirut, cet. Ke-1, 1424 H
[2] Al Irwa’ Al-ghalil no. 891
[3] HR. An Nasa’i. dishahihkan oleh Syaikh Al Albani
[4] Tafsir Al Qurthubi 20: 225, Darul Khttps://instagram.com/akhi_wahyu27?igshid=MDM4ZDc5MmU=utub Al-Mishriyyah, cet. Ke-II, 1386 H
Penulis : Wahyu Hamdani
(Mahasiswa Semester Satu Prodi Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang)