BeritaNasional

Akademisi India Refleksikan Tantangan Multikulturalisme di Asia dalam Kelas HI UMM

1 Mins read

SEJUK.ID – Multikulturalisme kerap dianggap sebagai solusi untuk menjembatani perbedaan budaya di Asia. Namun, Prof. Gautham Kumar Jha, Ph.D., dari Jawaharlal Nehru University, menantang anggapan tersebut dengan mempertanyakan, “Apakah kita benar-benar memahami apa yang diperlukan untuk membangun komunitas Asia yang bersatu, atau kita hanya terjebak dalam retorika?”

Dalam pandangannya, multikulturalisme memiliki sisi paradoks yang perlu dievaluasi, terutama saat berhadapan dengan realitas ideologi dan geopolitik yang tajam di Asia. Hal ini disampaikan Prof. Gautham dalam kelas Multikulturalisme di Asia, sebuah kegiatan hasil kolaborasi Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dengan Eurasia Foundation, sebagai bagian dari rangkaian Eurasia Lecture Series.

Sebagai akademisi yang mendalami kajian sosial-politik Asia, Prof. Gautham menyoroti bahwa semangat multikulturalisme sering kali berbenturan dengan kenyataan di lapangan. “Multikulturalisme adalah gagasan besar,” ujarnya. “Namun, apakah Asia benar-benar siap menerima keragaman itu, atau justru menggunakan perbedaan sebagai alasan untuk menghindar dari integrasi?”

Ia memberikan contoh India, yang sering dipuji sebagai model “persatuan dalam keberagaman.” Namun, menurutnya, slogan ini kerap dipahami secara dangkal. India memiliki posisi strategis untuk mempromosikan multikulturalisme, tetapi tantangan internal, seperti ketegangan antaragama dan perbedaan etnis, terus menjadi penghalang. “Bagaimana kita bisa menginspirasi kawasan lain ketika kita sendiri masih berjuang dengan persoalan identitas internal?” kritiknya.

Perbedaan mendasar dalam sistem politik di Asia juga menjadi tantangan serius. “Demokrasi dan otoritarianisme bukan sekadar pilihan politik, mereka adalah identitas nasional,” ungkapnya, merujuk pada perbedaan kontras antara India dan Tiongkok. Ia menambahkan, perbedaan ideologi ini sering kali lebih sulit dijembatani daripada sekadar menumbuhkan toleransi budaya.

“Apakah benar kita ingin menyatukan Asia di bawah payung multikulturalisme, atau justru perlu menerima bahwa perbedaan-perbedaan ini lebih cocok untuk berjalan secara paralel, bukan menyatu?” tanya Prof. Gautham.

Dalam diskusi, ia juga mengkritisi pemikiran Mahatma Gandhi yang kerap dirujuk dalam konteks multikulturalisme di India. “Gandhi berbicara tentang toleransi dan saling memahami. Namun, apakah kita siap menerjemahkan toleransi itu dalam skala kawasan? Karena apa yang berlaku di India belum tentu relevan di Asia Tenggara, apalagi di antara masyarakat internal India sendiri,” jelasnya.

Pandangan ini membuka wacana baru: apakah Asia benar-benar dapat bersatu di bawah ideologi multikulturalisme, atau malah perlu menerima perbedaan sebagai realitas yang diakomodasi tanpa harus terintegrasi penuh? “Kita mungkin membutuhkan pendekatan baru, bukan multikulturalisme yang memaksa persatuan, melainkan pluralisme yang mengakui batas-batas yang ada,” tutupnya. (*)