BeritaDaerah

Prof Gonda Yumitro Jabarkan Situasi Korea Selatan di Persimpangan Pernikahan Imigran

1 Mins read

SEJUK.ID – Korea Selatan, negara dengan sejarah panjang homogenitas etnis, kini tengah mengalami transformasi sosial yang signifikan. Menurut Prof. Gonda Yumitro, dosen Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), perubahan demografis akibat migrasi dan globalisasi telah mendorong Korea Selatan menjadi masyarakat multikultural yang lebih inklusif.

Hal ini disampaikan Prof. Gonda dalam kelas Multikulturalisme di Asia yang diadakan oleh Prodi HI UMM. Kelas ini merupakan hasil kolaborasi antara Prodi HI UMM dan University of Auckland’s Strategic Research Institute (SRI) for Korean Studies, didukung oleh Kementerian Pendidikan Republik Korea.

“Korea Selatan saat ini memiliki populasi sekitar 51 juta jiwa, dengan lebih dari 80% tinggal di wilayah perkotaan,” ujar Prof. Gonda. Urbanisasi pesat telah membuka ruang bagi pendatang dari berbagai negara Asia seperti Tiongkok, Vietnam, Thailand, dan Filipina, yang secara bertahap mengubah lanskap sosial negara tersebut.

Salah satu fenomena menarik adalah meningkatnya pernikahan internasional. “Pernikahan antara pria Korea dan wanita asing tidak hanya sekadar statistik, melainkan cermin kompleksitas sosial budaya yang lebih dalam,” jelasnya. Namun, wanita migran kerap menghadapi tekanan untuk berasimilasi dengan cepat, sering kali dengan mengorbankan identitas budaya mereka sendiri. Hal ini menciptakan dinamika sosial yang rumit dan memerlukan pendekatan yang sensitif.

Menyadari kompleksitas tantangan sosial ini, pemerintah Korea Selatan telah melakukan berbagai terobosan kebijakan. “Pendekatan multikultural dalam pendidikan menjadi instrumen kunci untuk membangun masyarakat yang saling menghargai,” papar Prof. Gonda. Salah satu langkah strategis adalah program pendidikan bahasa bagi migran, yang bertujuan membantu mereka menguasai bahasa Korea sekaligus mempermudah adaptasi dalam sistem sosial.

Selain itu, pemerintah juga mengimplementasikan program konseling intensif untuk membantu para migran dalam proses integrasi. Program ini memberikan dukungan psikologis dan sosial yang diperlukan untuk menghadapi tantangan budaya.

“Inti dari upaya ini adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan setiap individu, terlepas dari latar belakang etnis atau budaya, dapat hidup bermartabat dan dihargai,” tegas Prof. Gonda.

Anak-anak dari keluarga campuran, yang sebelumnya menghadapi kesulitan dalam sistem pendidikan homogen, kini mulai mendapatkan perhatian khusus. Mereka tidak lagi dipandang sebagai “berbeda”, melainkan sebagai bagian integral dari masyarakat Korea modern.

Meski begitu, Prof. Gonda menekankan bahwa perjalanan menuju masyarakat multikultural sejati masih panjang. “Dibutuhkan komitmen berkelanjutan dari seluruh komponen masyarakat—pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat sipil—untuk benar-benar mewujudkan inklusivitas,” ujarnya. Dengan langkah-langkah strategis yang dilakukan, Korea Selatan tampaknya sedang menulis ulang narasi kebangsaannya menuju masa depan yang lebih beragam dan saling mendukung. (*)