M. Rendi Nanda Saputra – Mahasiswa FAI UMY
SEJUK.ID – Perkembangan teknologi digital telah menciptakan perubahan yang signifikan dalam cara manusia mengakses dan mengonsumsi informasi. Di era scrolling, dimana informasi tersedia dalam bentuk konten yang cepat dan singkat, muncul tantangan baru bagi masyarakat, khususnya Generasi Z, dalam memahami dan memaknai informasi yang mereka terima. Fenomena ini menandakan pergeseran dari budaya membaca yang mendalam ke budaya konsumsi informasi yang lebih superfisial, di mana waktu yang dihabiskan untuk membaca sering kali digantikan dengan aktivitas scrolling tanpa henti.
Gerakan literasi yang awalnya berfokus pada kemampuan dasar membaca dan menulis, kini harus berkembang untuk menghadapi tantangan di era digital. Literasi digital sebagai perluasan dari literasi sebelumnya mencakup kemampuan untuk menemukan, mengevaluasi, dan menggunakan informasi secara kritis di tengah banjir konten yang tersedia online. Tantangan utama di era scrolling adalah bagaimana individu dapat mempertahankan kedalaman pemahaman dan makna dalam menghadapi volume informasi yang berlimpah namun sering kali kering makna.
Arus informasi yang tak terbendung tersebut memunculkan berbagai isu, mulai dari kejenuhan informasi hingga penyebaran disinformasi dimana semuanya berdampak pada kualitas pemahaman publik. Dalam konteks ini, kemampuan untuk menilai kredibilitas sumber dan memfilter informasi yang relevan menjadi sangat penting. Gerakan literasi di era digital harus beradaptasi untuk membekali masyarakat dengan keterampilan ini, guna memastikan bahwa akses yang mudah terhadap informasi tidak mengorbankan kualitas dan kedalaman pemahaman. Pada tulisan yang amat sederhana ini penulis ingin membahas bagaimana dinamika gerakan literasi diera maraknya kecanduan atas media sosial itu sendiri, mencari apakah masih ada makna yang tersimpan di era scrolling saat ini ataukah hanya muatan-muatan yang kurang berguna bagi generasi mendatang.
Kebiasaan Scrolling dan Pergeseran Literasi
Kebiasaan scrolling menjadi ciri khas konsumsi informasi di era digital telah mengubah secara mendasar cara masyarakat khususnya Generasi Z berinteraksi dengan konten informasi. Scrolling adalah praktik menjelajahi konten secara cepat melalui perangkat digital seperti ponsel pintar atau computer dengan gerakan menggulir layar yang hampir tanpa henti. Kebiasaan ini dimungkinkan oleh berbagai platform digital yang dirancang untuk menyediakan aliran informasi tanpa batas seperti media sosial dan situs berita. Meskipun scrolling memungkinkan akses cepat ke beragam informasi, kebiasaan ini cenderung mendorong konsumen hanya meninjau konten secara sekilas, tanpa memberi waktu yang cukup untuk merenungkan dan memahami materi secara mendalam.
Akibat dari kebiasaan scrolling adalah terjadinya pergeseran dalam literasi, dari model tradisional yang menekankan pada keterlibatan mendalam dengan teks ke model yang lebih dangkal dan serba cepat. Literasi yang pada dasarnya adalah kemampuan untuk membaca dan memahami suatu informasi atau ilmu pengetahuan secara kritis, mengalami tantangan ketika dihadapkan pada arus informasi yang begitu deras dan cepat berubah. Kebiasaan membaca yang sebelumnya difokuskan pada teks yang panjang dan mendalam seperti buku atau artikel ilmiah, kini sering digantikan oleh konsumsi konten pendek yang mudah dilupakan, seperti tweet, postingan di media sosial Instagram, tiktok dll. Pergeseran ini memengaruhi kemampuan individu untuk membangun pemahaman yang kompleks dan kritis terhadap informasi yang mereka konsumsi.
Pergeseran ini juga memunculkan kecemasan tentang penurunan kualitas literasi di kalangan generasi muda, yang lebih terbiasa dengan konten cepat namun dangkal. Ketika interaksi dengan teks menjadi semakin terfragmentasi, kemampuan untuk berpikir kritis dan menganalisis informasi secara menyeluruh dapat terkikis. Hal ini membawa implikasi serius terhadap pengembangan literasi yang memadai untuk menghadapi tantangan di dunia yang semakin kompleks.
Arus Informasi dan Upaya Menemukan Makna
Di era digital arus informasi yang mengalir tanpa henti melalui berbagai platform digital telah menciptakan tantangan baru dalam menemukan makna yang sejati dan relevan. Informasi kini tersedia dalam jumlah yang sangat besar dan tersebar secara luas, berkat perkembangan teknologi dan internet. Setiap detik, jutaan data diunggah dan dibagikan, dari berita, artikel, hingga konten media sosial. Kecepatan dan volume informasi yang terus meningkat ini, meskipun memperluas akses terhadap pengetahuan, juga menimbulkan risiko berupa kejenuhan informasi (information overload). Keadaan ini dapat menyebabkan kebingungan dan kesulitan dalam menyaring informasi yang bermakna dari lautan data yang tidak selalu berkualitas atau relevan.
Salah satu tantangan utama dalam menemukan makna di tengah arus informasi adalah kemampuan untuk memilah informasi yang akurat dan relevan dari yang menyesatkan atau tidak berguna. Dengan banyaknya sumber informasi yang beragam, sering kali sulit bagi individu untuk menilai kredibilitas dan validitas informasi yang mereka terima. Disinformasi dan misinformasi juga semakin mudah menyebar, memperburuk masalah ini. Dalam situasi di mana berita palsu atau informasi yang sengaja dipelintir dapat dengan cepat viral, individu membutuhkan keterampilan literasi yang kuat untuk mengidentifikasi dan menolak informasi yang tidak benar. Hal ini menjadi semakin penting di era di mana keputusan penting sering didasarkan pada informasi yang diperoleh secara online.
Tantangan lainnya adalah fenomena filter bubble dan echo chamber, di mana algoritma digital cenderung menampilkan informasi yang sejalan dengan pandangan atau preferensi pengguna. Kondisi ini dapat mengisolasi individu dari perspektif yang berbeda dan mempersempit pemahaman mereka tentang isu-isu yang lebih luas. Akibatnya pengguna cenderung terjebak dalam loop informasi yang homogen membatasi kemampuan mereka untuk berpikir kritis dan memahami kompleksitas dunia nyata. Menemukan makna di tengah derasnya arus informasi memerlukan keterampilan literasi yang kritis, untuk menavigasi, mengevaluasi, dan memaknai informasi dengan cara yang lebih bijaksana dan reflektif.
Catatan Penutup
Dalam menghadapi era scrolling dan arus informasi yang begitu deras penting bagi masyarakat untuk memahami dan menanggapi tantangan-tantangan literasi yang muncul. Kebiasaan scrolling telah mengubah cara kita berinteraksi dengan informasi, sering kali mengorbankan kedalaman pemahaman dan analisis kritis. Upaya menemukan makna yang sejati, dibutuhkan literasi yang lebih dari sekadar kemampuan membaca dan menulis; literasi yang mencakup kemampuan untuk menilai, memilah, dan menafsirkan informasi dengan tepat.
Strategi dalam menemukan makna di tengah arus informasi yang deras mencakup beberapa pendekatan. Pertama, pendidikan literasi digital harus diutamakan, untuk membekali individu dengan keterampilan kritis dalam menilai kredibilitas dan relevansi informasi. Kedua, pendekatan holistik terhadap konsumsi informasi harus diterapkan, termasuk mengembangkan kebiasaan membaca yang mendalam dan reflektif, serta mendorong keterlibatan dengan berbagai perspektif yang beragam. Dengan memadukan literasi kritis dan etika digital individu dapat menavigasi lanskap informasi yang kompleks dan memastikan bahwa mereka tidak hanya menjadi konsumen informasi yang pasif, tetapi juga pencari makna yang aktif dan bertanggung jawab.