OpiniPolitik

Perluasan Peran TNI: HAM dan Demokrasi Terancam

1 Mins read

SEJUK.ID-Dwifungsi ABRI dicemaskan dapat memberengus kebebasan berekspresi dan melemahkan demokrasi (supremasi sipil), hal lain juga hak asasi manusia terancam diabaikan. Sebab, mental kepemimpinan ABRI dalam mengisi jabatan pada lembaga-lembaga sipil di Indonesia memiliki latar belakang karakter kepemimpinan yang otoriter dan bengis bagi perikamanusiaan.

TNI/ABRI adalah pasukan tempur yang dipersenjatai oleh negara. Maka apabila perannya diperluas untuk mengatur urusan sosial politik dikhawatirkan dapat menciptakan ketegangan sipil untuk berpartisipasi, lebih-lebih ketegangan dalam mengkritisi keputusan politiknya.

Sistem ketatanegaraan Indonesia sepenuhnya telah mengatur setiap institusi pemerintahan untuk menjalankan fungsinya sesuai dengan peranannya masing-masing. Termasuk diantaranya TNI yang secara konstitusional memiliki mandat yang jelas, yakni mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara (Pasal 30 ayat 3 UUD NRI 1945)

Akhir-akhir ini, wacana perluasan peran TNI melalui proses pembahasan revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang sedang dibahas di DPR menimbulkan kekhawatiran mengenai akan kembali diberlakukannya Dwifungsi ABRI. Salah satu pasal yang menguatkan adanya indikasi upaya Dwifungsi ABRI ialah Pasal 47 naskah revisi UU TNI yang ingin menambahkan jumlah instansi yang dapat diisi oleh prajurit TNI.

Dwifungsi ABRI merupakan konsep yang menghendaki TNI memiliki peran ganda, yakni; 1. fungsi tempur dan 2. fungsi pembinaan wilayah atau pembina masyarakat. Pada fungsi pembinaan masyarakat tersebut TNI dapat menguasai dan menduduki jabatan politik dan mengintervensi keputusan politik.

Konsep Dwifungsi ABRI bagi Indonesia bukan lah yang baru, Dwifungsi tersebut telah diterapkan sejak masa Pemerintahan Soeharto yang berlangsung pada tahun 1966 hingga era reformasi 1998.

Dwifungsi yang diberlakukan pada saat itu melegitimasi unsure ABRI memiliki peran yang cukup luas mendominasi penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.

Sejarah penerapan Dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru berimplikasi pada kesewenangan-wenangan anggota ABRI dalam penyelenggaraan pemerintahan yang memerintah dan mengatur masyarakat sipil dengan cara-cara yang tidak berprikemanusiaan.

Keterlibatan ABRI dalam urusan sipil sering kali disertai dengan tindakan represif terhadap oposisi politik dan masyarakat sipil. Kasus-kasus pelanggaran HAM, seperti penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap aktivisme, menjadi bagian dari catatan kelam era Orde Baru.

Masifnya keterlibatan militer dalam persoalan sosial politik di Indonesia adalah sejarah duka kemanusiaan yang telah merenggus HAM dan Demokrasi. Maka revisi UU TNI yang memperluas peran TNI harus kembali dievaluasi. Sebab hal tersebut menjadi ancaman serius bagi masa depan Demokrasi dan Hak asasi manusia.

Oleh. Yahya Al-Khair, Kabid Kajian dan Pengembangan Keilmuan PC IMM BIMA.

Related posts
Opini

Billu Barber, Ketidakadilan Sosial, dan Manifesto Ketulusan

4 Mins read
Opini

Korupsi di Pertamina Menegaskan Fakta Jalan Menuju Kehancuran Sebuah Negara

2 Mins read
Opini

Membaca Demokrasi dan Efisiensi

3 Mins read

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *