Artikel

PC IMM Bima Nilai UU TNI Cacat Formil dan Syarat Kepentingan

2 Mins read

SEJUK.ID-Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) telah disahkan menjadi UU oleh DPR RI pada tanggal 20/03/2025. Hal tersebut tentunya menimbulkan pro dan kontra dikalangan publik lantaran dinilai cacat sebagai sebuah UU.

Beberapa pasal yang menjadi poin revisi UU TNI antara lain Pasal 7 Ayat (15) dan ayat (16) terkait tugas pokok TNI, yang mana ketentuan tersebut telah diperluas. Kemudian Pasal 53 yang mengatur tentang batas usia pensiun prajurit TNI.

Dan yang paling disorot publik adalah diubahnya Pasal 47 tentang jabatan prajurit aktif TNI di kementerian/lembaga sipil. Berdasarkan Pasal 47 Ayat (1) UU TNI lama, di demarkasi hanya jabatan sipil di 10 kementerian/lembaga yang bisa dijabat oleh prajurit aktif TNI. Setalah diubah ketentuan tersebut, TNI aktif dapat menjabat di 14 kementerian/lembaga sipil, yakni kementerian/lembaga sipil yang berkaitan dengan bidang politik dan keamanan negara serta pertahanan negara.

Kami menilai, dalam proses revisi UU TNI terdapat kecacatan hukum, yaitu cacat formil, yang mana hal ini berkaitan dengan proses revisi yang terlalu tergesa-gesa dan cenderung tidak melibatkan masyarakat. Hal tersebut tentunya cacat secara prosedural dalam proses pembentukan perundang-undangan, sebagaimana ditegaskan dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 96 ayat (1) UU/13/2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan.” Pasal tersebut mengisyaratkan bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan haruslah dilakukan secara demokratis, yaitu dengan melibatkan masyarakat dalam semua tahapan prosesnya.

Apabila masyarakat tidak dilibatkan, maka kita harus mengatakan bahwa, hal tersebut menyalahi prinsip-prinsip demokrasi dalam pembentukan perundang-undangan. Dan dalam proses pembahasan yang tergesa-gesa mengenai revisi UU TNI ini, kita temukan telah terjadi penyalahan terhadap prinsip pembentukan perundang-undangan.

Selain itu, yang juga menjadi problematik adalah mengenai akses masyarakat terhadap naskah UU TNI yang baru disahkan. Hingga saat ini, masyarakat masih kesulitan mengakses salinan naskah tersebut, sehingga masyarakat kebanyakan masih sulit memberikan pendapat soal bagaimana substansi dari UU TNI yang baru disahkan tersebut.

Hal tersebut juga menjadi suatu masalah keterbukaan informasi bagi masyarakat, yang mana soal itu sebetulnya menjadi suatu prinsip yang berlaku di negara-negara demokrasi, termasuk Indonesia. Dari sini, kita juga harus mengatakan bahwa, masyarakat betul-betul tidak dilibatkan dalam keseluruhan proses revisi UU TNI.

Salinan naskah itu penting penting untuk diakses, karena naskah tersebut menjadi bahan primer untuk bagaimana masyarakat memberikan pendapat yang kongkret mengenai substansi hasil revisi UU TNI yang disahkan, bukan mendasari pendapatnya hanya sekadar dari media dan/atau berita yang beredar diberbagai platform. Dari sini, kita dapat menjustifikasi bahwa, dalam proses revisi UU TNI, telah terjadi kolusi diantara elit kekuasaan negara, yaitu pemerintah dengan DPR RI.

Karena itu, dengan terdapatnya kecacatan hukum dalam proses pembentukan atau revisi UU TNI yang telah disahkan oleh DPR RI, PC IMM Cabang Bima menyatakan menolak UU TNI yang baru disahkan, karena syarat akan kepentingan elit kekuasaan, sampai-sampai menyalahi prinsip demokrasi dalam proses pembentukan peraturan perundangan-undangan.

Oleh. Anas Arifin, (Ketua Umum PC IMM Bima)

Related posts
Artikel

Bisnis Online: Menumbuhkan Kepercayaan Konsumen di Era Digital

3 Mins read
Artikel

Desain Logo: Lebih dari Sekadar Gambar, Ini Simbol Identitas!

3 Mins read
Artikel

Makanan Favorit: Lebih dari Sekadar Rasa, Tapi Soal Kenangan dan Cerita

3 Mins read

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *