Ekstremisme berbasis agama merupakan tantangan serius bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Dalam masyarakat yang plural dan majemuk, ideologi keagamaan yang eksklusif dan radikal tidak hanya mengancam stabilitas nasional, tetapi juga mencederai nilai-nilai luhur agama itu sendiri—yang sejatinya mengajarkan kedamaian, toleransi, dan kasih sayang.
Mengapa Ekstremisme Masih Subur?
Banyak yang mengira ekstremisme hanya tumbuh dari kemiskinan atau rendahnya pendidikan. Namun, realitas menunjukkan bahwa pelaku ekstremisme sering kali berasal dari kelas menengah dan berpendidikan tinggi. Akar persoalannya lebih dalam: krisis identitas, pencarian makna hidup, dan paparan narasi ideologis secara masif, khususnya melalui media sosial. Narasi keagamaan yang diklaim sebagai “kebenaran satu-satunya” dikemas dengan pendekatan emosional dan simplistik, menyasar anak muda yang sedang mencari pegangan hidup.
Algoritma media digital juga memperkuat polarisasi dengan menciptakan ruang gema (echo chamber), yang membuat individu semakin yakin pada narasi sempit yang mereka konsumsi. Ekstremisme tumbuh dari ketimpangan sosial, kurangnya pemahaman keagamaan, pengalaman traumatis, dan narasi tunggal yang menyesatkan.
Pendekatan keamanan saja tidak cukup. Tindakan represif tanpa strategi pembinaan yang tepat justru dapat memperkuat narasi kelompok ekstremis. Diperlukan pendekatan yang holistik, manusiawi, dan berkelanjutan.
Pendidikan Agama yang Inklusif
Pendidikan adalah benteng pertama dalam melawan ekstremisme. Pendidikan agama harus menanamkan nilai-nilai humanisme, keberagaman, dan kebangsaan. Kurikulum tidak boleh hanya berfokus pada doktrin dan ritual, melainkan juga harus mengajarkan pemikiran kritis, empati, dan penghargaan terhadap perbedaan.
Guru agama perlu dibekali pelatihan tentang moderasi beragama dan literasi keagamaan, agar mereka mampu menjadi agen perubahan yang menumbuhkan generasi religius sekaligus toleran.
Menguatkan Narasi Moderasi
Salah satu cara paling efektif melawan ekstremisme adalah dengan menghadirkan narasi tandingan yang moderat dan kontekstual. Karena media sosial menjadi medan pertempuran utama, negara dan masyarakat sipil harus aktif memproduksi konten positif, memperkuat suara moderat dari tokoh agama yang kredibel, serta meningkatkan literasi digital.
Organisasi seperti MUI, Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah memiliki peran penting dalam menyebarluaskan tafsir keagamaan yang rahmatan lil ‘alamin. Dakwah berbasis budaya dan dialog antarumat beragama juga harus terus digalakkan.
Program “Moderasi Beragama” dari pemerintah adalah langkah strategis, tetapi implementasinya masih perlu diperkuat. Moderasi bukan tentang menyeragamkan keyakinan, tetapi menumbuhkan sikap saling menghormati dalam perbedaan.
Membangun Ruang Dialog
Dialog antariman dan intra-iman penting untuk mengikis prasangka dan kesalahpahaman. Forum lintas iman di kampus, desa, komunitas, maupun platform digital bisa menjadi ruang pertukaran pengalaman spiritual yang memperkuat toleransi.
Dialog yang bermakna hanya mungkin jika didukung oleh tokoh agama, akademisi, dan pemuda yang terbuka dan progresif. Pemerintah dapat memfasilitasi forum-forum ini melalui kementerian seperti Kemenag atau Kemendikbudristek.
Di era digital, ceramah konvensional saja tidak cukup. Kita butuh konten religius yang relevan, menarik secara visual, dan disampaikan oleh figur yang kredibel dan dekat dengan generasi muda.
Pendekatan Deradikalisasi Humanistik
Deradikalisasi harus menyentuh aspek psikologis, sosial, dan spiritual. Pendekatan yang melibatkan psikolog, mantan pelaku, dan ulama moderat terbukti lebih efektif dibandingkan metode formal semata.
Reintegrasi eks pelaku ke dalam masyarakat harus dilakukan dengan memberi mereka martabat dan kesempatan hidup baru. Gagal dalam proses ini hanya akan membuka peluang bagi kembalinya ideologi lama.
Peran Keluarga dan Komunitas
Keluarga adalah benteng pertama dan terdepan. Orang tua perlu dibekali pemahaman tentang radikalisasi dini dan cara mendampingi anak di era digital. Komunitas lokal dan lembaga keagamaan di tingkat desa juga perlu diperkuat agar mampu menjadi pusat spiritual sekaligus sosial yang sehat dan terbuka.
Keterlibatan tokoh masyarakat, RT/RW, dan pemerintah lokal penting dalam menciptakan lingkungan yang resisten terhadap infiltrasi paham ekstrem.
Menanggulangi ekstremisme berbasis agama bukan tugas satu pihak. Ini adalah kerja kolektif yang membutuhkan sinergi antara negara, masyarakat sipil, tokoh agama, pendidik, dan keluarga. Dengan pendekatan yang kultural, edukatif, dan dialogis, kita dapat membangun benteng ideologis yang kokoh untuk menjaga generasi masa depan dari bahaya radikalisme.
Agama adalah cahaya, bukan bara. Ia membimbing pada kedamaian, bukan perpecahan. Tugas kita adalah mengembalikannya pada fitrah: sebagai sumber kasih, persaudaraan, dan kemanusiaan.
Oleh: Sukma Sahadewa
BPE Majelis Ulama Indonesia Provinsi Jawa Timur