Kasus korupsi mengenai pengadaan barang dan jasa di wilayah administratif pemerintah Kota Bima yang menjerat eks Walikota Bima, HML, sejatinya tidak hanya menjerat HML saja, melainkan juga menjerat istrinya, Hj. Eliya dan beberapa kerabatnya, karena melakukan permufakatan jahat dalam peristiwa tersebut, hal tersebut terbukti berdasarkan Putusan PN Tipikor Mataram Nomor 3/Pid.Sus-TPK/2024/PN Mtr, Sejatinya putusan tersebut dapat menjadi dasar hukum bagi aparat penegak hukum untuk menetapkan istri HML sebagai tersangka.
Anas Arifin, Ketua Umum PC IMM Bima menjelaskan, “dari kasus korupsi tersebut, eks Walikota Bima, HML, sebagaimana kita ketahui, bahwa ia telah divonis oleh hakim PN Tipikor Mataram dengan vonis pidana 7 tahun penjara sebagaimana yang terdapat dalam Putusan PN Tipikor Mataram Nomor 3/Pid.Sus-TPK/2024/PN Mtr. Selain pidana penjara, hakim juga menjatuhkan pidana denda Rp. 250 juta subsider enam bulan kurungan pengganti.”
“PN Tipikor Mataram dalam putusannya, bahwa eks Walikota Bima tersebut terbukti melanggar Pasal 12 huruf i juncto Pasal 15 juncto Pasal 18 UU/31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.” Lanjut Anas.
Anas juga menjelaskan, “pasca putusan tersebut, HML melakukan upaya hukum hingga kasasi di MA, namun MA menolak permohonan kasasinya sebagaimana yang tertuang dalam Putusan MA Nomor 136 K/PID.SUS/2025.”
“Menariknya, dalam Putusan PN Tipikor Mataram Nomor 3/Pid.Sus-TPK/2024/PN Mtr, terdapat keterlibatan istri HML, Hj. Eliya, yaitu terlibat dalam melakukan pemufakatan jahat, sehingga hakim menerangkan dalam pertimbangan putusan bahwa HML melakukan tindak pidana korupsi tersebut secara bersama-sama dengan Hj. Eliya dan beberapa yang lainnya.” Tambahnya.
Ketua Umum PC IMM Bima tersebut menyoal tentang tidak ditetapkan Hj. Eliya sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengadaan barang dan jasa di lingkup Pemerintah Kota Bima.
Ia mengatakan, “yang menjadi soal adalah mengapa Hj. Eliya yang turut serta dalam melakukan tindak pidana korupsi tersebut tidak kunjung ditetapkan sebagai tersangka oleh penegak hukum? Padahal dalam paradigma hukum pidana kita, termasuk di dalamnya adalah tindak pidana korupsi, bahwa siapapun yang turut serta melakukan tindak pidana akan dijerat oleh hukum, sebagaimana tertuang dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.”
“ini membuat publik bertanya-tanya, karena sesuai putusan PN Tipikor Mataram tersebut, sebenarnya sudah dapat menjadi dasar hukum untuk menetapkan istri HML sebagai tersangka dalam kasus korupsi yang menjerat HML, karena ia turut serta dalam melakukan tindak pidana korupsi tersebut.” Lanjutnya.
Dalam hal ini, Anas mendorong pihak penegak hukum untuk segera menetapkan Hj. Eliya sebagai tersangka dan melakukan pemeriksaan terhadapnya, serta menuntutnya di muka sidang pengadilan Tipikor, baik melalui upaya yang dilakukan KPK, Polres Bima Kota, dan/atau Kejaksaan Negeri Bima.
“Kami meminta kepada penyidik, baik KPK, Polres Bima Kota, maupun Kejaksaan Negeri Bima, untuk segera menetapkan Hj. Eliya sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengadaan barang dan jasa lingkup pemerintah Kota Bima, untuk dituntut di muka sidang pengadilan Tipikor.” Tegas Anas.
“Jika hal tersebut tidak dilakukan secepatnya, maka kami akan laporkan kasus ini kepada aparat penegak hukum dalam waktu dekat ini, serta akan mengawal hingga tuntas.” Tutupnya.