Sejuk.ID – Dalam catatan jujur mengenai kondisi pendidikan di Indonesia, Buya Ahmad Syafii Maarif mengatakan, “Pendidikan yang benar adalah pendidikan yang mampu melahirkan manusia yang cerdas dan bertanggung jawab!” (2018: 171). Ya, ungkapan ini merupakan penegasan yang di dalamnya juga terdapat rasa kecewa terhadap kondisi pendidikan kita yang tidak mampu bersinambung dengan pembangunan moralitas bangsa.
Bahwa upaya-upaya telah dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud, melalui berbagai programnya tak bisa kita sangkali. Namun, Buya Syafii memandang, program yang dilakukan pemerintah tidak dijalani dengan kesungguhan. “Kesungguhan inilah barangkali yang dirasakan lemah. Mental proyek telah merusak iklim pendidikan kita.” (2018: 171).
Apa yang diungkapkan Sang Muazin Bangsa ini sebetulnya untuk menggambarkan sekaligus memberi kritik atas kondisi pendidikan di era 1990-an. Namun, menurut hemat penulis, apa yang diungkapkan ini bisa jadi masih relevan dengan kondisi saat ini. Sehingga, dengan begitu kita memiliki sejumlah bahan dan referensi untuk mempertimbangkan seberapa jauh lompatan yang telah dilakukan para stakeholder pendidikan kita hingga detik ini.
Tentu, kita betul-betul mendambakan pendidikan yang berkualitas dari segala sisi. Idealnya memang begitu. Namun, mungkinkah kita dapat mencapai posisi ideal dengan kondisi seperti sekarang? Di saat banyak sektor masih tertatih, bahkan lunglai. Pendidikan melalui ruang-ruang sekolah formal hanya menjadi ajang formalitas untuk mencapai gelar dan membuktikan potensi akademik seseorang.
Padahal, dalam catatan praktisi pendidikan Sugeng Riyanto ditegaskan bahwa proses pendidikan harus memberikan bekal berupa kemampuan-kemampuan serta kesadaran kepada seseorang (peserta didik). Kemampuan dan kesadaran diperlukan guna menyiapkan seseorang untuk dapat hidup berdampingan di tengah masyarakat majemuk (Pendidikan Tanpa Sekolah, 2021: 18). Semestinya pendidikan menjadi ruang berproses bagi setiap orang untuk dapat hidup di tengah kehidupan yang sebenarnya, di masyarakat.
Sebab itulah ide-ide pendidikan yang berlangsung secara kontekstual berkembang dan mewarnai proses pembelajaran di sekolah. Meskipun, praktiknya juga masih belum cukup untuk dibilang efektif. Seharusnya memang tidak ada pagar sekolah yang membuat seorang siswa terbelenggu dan berjarak dengan kehidupan di luar pagar sekolah. Pandangan inilah yang juga disuarakan Sugeng dengan mengoptimalkan pendidikan tidak hanya di sekolah, tetapi juga di rumah dan lingkungan masyarakat yang juga berperan penting.
Toto Raharjo dengan gamblang menguak bagaimana praktik pendidikan di sekolah mengalami anomali luar biasa. Sebagai contoh, ia menyebut bahwa sekolah hanya menjadi ajang unggul-unggulan prestasi, sekolah menjadi mesin cetak, dan pengelolaan keuangan pendidikan berbasis proyek yang makin menegaskan bagaimana pendidikan telah menjadi objek komoditas. Bagi Toto Raharjo, pendidikan semestinya memberikan ruang “agar mereka mampu melampaui fase membeo, meniru-nirukan, dan menghafalkan belaka, hingga sanggup menemukan jati dirinya.” (2021: 16).
Pendidikan yang berkualitas itu membebaskan! Bukan membelenggu. Sejatinya begitu. Kita percaya bahwa pendidikan yang berkualitas dapat meningkatkan kualitas generasi bangsa ke depan. Kita juga meyakini, manusia berkualitas akan mampu berperan membangun peradaban yang tidak hanya maju, tetapi juga menyadari arti kemanusiaan dan kepedulian terhadap semesta.
Jadi, pendidikan yang berkualitas itu perlu kita ciptakan tidak hanya di lingkungan sekolah, tetapi juga di rumah (baiti jannati, baiti madrasati) dan di tengah masyarakat. Memang berat, tetapi dengan kemauan dan kesungguhan kita bisa mencicil dan melunasi tuntutan ini pelan-pelan. Semoga kesadaran ini muncul di relung sanubari kita dan para pemangku kebijakan pendidikan kita. Selamat Hari Pendidikan Nasional!
Penulis : Ahmad Soleh (Pegiat Literasi)