Oleh: Niken Salifi Mayang Devanti*
Dengan keragaman adat, budaya, dan suku yang begitu beragam, Indonesia memainkan simfoni kebinekaan yang tak terlupakan. Dari Sabang sampai Merauke, keberagaman etnis, ras, budaya, bahasa, dan agama menciptakan lanskap budaya menarik. Setiap suku memiliki keunikan dalam adat istiadat, bahasa, dan kepercayaan, menambah warna dan pesona budaya Indonesia.
Keberagaman agama juga menjadi ciri khas yang menarik. Dari agama Islam yang dominan hingga Kristen, Hindu, Buddha, Khonghucu, dan kepercayaan tradisional, Indonesia menampilkan harmoni agama yang unik. Toleransi antar umat beragama telah menjadi integral dalam kehidupan sehari-hari, menciptakan kerukunan langka di negara dengan keberagaman sebanyak Indonesia.
Seni dan budaya Indonesia memukau, dari seni rupa hingga tarian tradisional, mencerminkan kekayaan budaya yang tak ternilai. Setiap daerah memiliki seni dan tarian khasnya, menjadi cerminan dari kekayaan budaya Indonesia. Kekayaan alam juga menjadi bagian penting dari budaya, menginspirasi seni dan kehidupan sehari-hari.
Meski demikian, di balik kekayaan budaya ini, terdapat tantangan menjaga harmoni. Konflik horizontal dan isu-isu sosial masih menjadi ujian bagi keberagaman Indonesia. Namun, dengan semangat gotong royong dan kebersamaan, Indonesia terus berusaha menjaga kebinekaannya sebagai aset berharga yang harus dijaga bersama-sama.
Indonesia dibangun di atas dasar kemajemukan, mencakup budaya, agama, kepercayaan, dan bahasa. Kemajemukan ini menyatu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), terutama terlihat pada Sumpah Pemuda 1928 yang mengikrarkan kesatuan Indonesia tanpa memandang latar belakang pemuda.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa Indonesia bukanlah milik kelompok etnis, suku, agama, atau kepercayaan tertentu. Sebaliknya, perbedaan diakui sebagai keniscayaan yang menjadi dasar kokoh dan abadi Indonesia merdeka. Namun, realitas kehidupan berbangsa saat ini tampak melupakan nilai keniscayaan tersebut. Keberagaman, sebagai syarat mutlak negara, diabaikan sehingga tindakan teror, pelanggaran HAM, dan kekerasan atas nama agama menjadi hal yang terjadi secara rutin. Analisis faktual mengungkap kegagalan pemerintah dalam mengantisipasi kekerasan dan teror, serta ketidaktegasan dalam menindak kelompok yang merusak kebhinekaan Indonesia. Kelompok garis keras yang berpotensi merusak kerukunan hidup dengan mengkafirkan orang dibiarkan berdampingan di tengah masyarakat majemuk.
Negara, sebagai penjamin kebebasan dan hak asasi manusia, perlu meramu epistemologi perbedaan untuk menjaga persatuan dan kesatuan. Indonesia yang kuat adalah yang mampu menyatukan keragaman dalam harmoni, seperti alunan simfoni yang indah. Sayangnya, kesadaran akan kebhinekaan semakin memudar dalam kehidupan berbangsa. Sebaliknya, perbedaan dianggap sebagai alat pemecah belah bangsa, kontrast dengan visi para founding fathers yang menjadikan keragaman sebagai fondasi kokoh negara. Pentingnya menghormati setiap anggota sebagai pribadi yang sama haknya dalam memasyarakat, seperti dikemukakan oleh Drijarkara, harus dijunjung tinggi untuk memastikan terwujudnya perikemanusiaan yang sesungguhnya.
Mewujudkan Indonesia yang Kokoh
Tantangan terhadap keragaman di Indonesia mendorong kita untuk terus berbenah. Kita perlu membangun Indonesia yang kokoh, mencapai cita-cita yang teguh dan abadi. Sayangnya, kesadaran terhadap penghormatan manusia, penolakan penghisapan, dan pemeliharaan hak asasi manusia masih jauh dari kesadaran individu dan kelompok. Kesadaran masyarakat terhadap nilai-nilai Pancasila semakin pudar, sementara kepemimpinan bijaksana yang diperlukan untuk membimbing bangsa menuju kemajuan belum tampak.
Meskipun Indonesia telah merdeka selama 78 tahun, bangsa kita tampaknya kehilangan arah dan tujuan, serta lupa akan sejarahnya sendiri. Bangsa yang besar tidak akan hancur dari luar kecuali dari dalam, dan saat ini, pengabaian terhadap sejarah menjadi penyebab utama. Persoalan yang kita hadapi saat ini merupakan hasil dari pelupaan akan sejarah, seolah-olah kita sedang mencabik-cabik dadanya sendiri. Bung Karno pernah mengingatkan agar tidak melupakan sejarah, karena melupakan sejarah berarti menghapus ingatan kolektif akan semangat dan perjuangan bangsa Indonesia merdeka. Saat ini, kita sedang mengalami bentuk penjajahan baru dan terpecah belah yang memerlukan perhatian serius untuk mengatasi.
Dibutuhkan kesadaran kolektif bahwa Pancasila merupakan alat pemersatu bangsa. Pancasila, menurut Bung Karno, menciptakan dasar yang menyatukan kita, yaitu semangat gotong royong. Gotong royong bukan sekadar pertolongan, melainkan kerja sama di atas kepentingan bersama. Untuk mewujudkan gotong royong, diperlukan kesadaran bahwa bangsa Indonesia adalah satu keluarga besar dari Sabang sampai Merauke. Semangat gotong royong yang berakar pada kekeluargaan hanya dapat terwujud jika kita merangkul kemajemukan dan perbedaan sebagai keniscayaan. Maka, kita harus senantiasa merefleksikan realitas keragaman ini dengan tujuan menjaga keutuhan bangsa dan negara.
Indonesia, dengan kekayaan budayanya yang beraneka ragam, adalah negara yang memainkan simfoni kebinekaan yang abadi. Dari keberagaman etnis, bahasa, dan agama hingga kekayaan seni dan budayanya, Indonesia memancarkan keharmonisan yang mengagumkan. Meskipun dihadapkan pada tantangan menjaga harmoni, semangat gotong royong dan kebersamaan terus mewarnai perjalanan Indonesia dalam merawat dan merayakan keberagaman sebagai identitas tak tergantikan. Di semua lapisan masyarakat, Indonesia terus menulis syair kebhinekaan yang abadi, memancarkan keharmonisan sebagai kebanggaan bagi seluruh bangsa.
Dengan demikian, Indonesia adalah simfoni kebinekaan yang abadi, di mana keberagaman etnis, agama, seni, dan budayanya menjadi cerminan dari kekayaan yang memesona. Melalui upaya bersama, Indonesia terus berusaha merawat dan merayakan keberagaman ini sebagai identitas yang tak dapat tergantikan oleh apapun.
*) Mahasiswi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Muhammadiyah Malang
Editor: Fathan Faris Saputro