Sejuk.ID – Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan, dalam ilmu hukum terdapat adagium yang berbunyi “Ubi societas ibi jus” (di mana ada masyarakat di situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam setiap pembentukan suatu bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat maka selalu akan dibutuhkan bahan yang bersifat sebagai “Lem Perekat” atas berbagai komponen pembentuk dari masyarakat itu dan yang berfungsi sebagai “Lem Perekat” tersebut adalah hukum.
Hukum merupakan salah satu sarana perubahan sosial yang ada di dalam masyarakat. Terdapat suatu hubungan interaksi antara sektor hukum dan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Dapat dikatakan hukum sebagai perlengkapan masyarakat untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat. Antara hukum dengan masyarakat tidak dapat dipisahkan. Hukum adalah bagian dari kehidupan masyarakat.
Mengingat Indonesia adalah sebagai negara hukum, hal ini didasarkan pada Pasal 1 ayat (3) UUD NRI tahun 1945 tentu lebih mempertegas lagi bahwa keterkaitan antara hukum dan masyarakat sangatlah erat, dimana segala tindak-tanduk masyarakat indonesia tidak lepas daripada payung hukum. Dan perwujudan Indonesia sebagai negara hukum itu didukung oleh masyarakat karena dalam negara hukum terdapat unsur-unsur yang dibutuhkan oleh masyarakat itu sendiri diantaranya adanya penghargaan terhadap hak asasi dan martabat manusia, adanya pembagian dan pemisahan kekuasaan, pemerintahan dijalankan berdasarkan konstitusi negara, adanya peradilan administrasi dalam perselisihan antara rakyat dengan negara.
Hal ini menunjukkan tidak ada kebebasan mutlak bagi masyarakat dan penyelenggara negara maupun lembaga-lembaga negara dalam menjalankan aktivitasnya. Hukum akan mengatur bagaimana masyarakat harus bertindak sebagai warga negara yang baik dan mengatur bagaimana pemerintah harus menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
Oleh karena itu, hukum dapat dikatakan sebagai alat kontrol sosial yang artinya hukum adalah instrument yang dapat menetapkan tingkah laku manusia. Tingkah laku tersebut didefenisikan sebagai sesuatu yang menyimpang. Sebagai akibatnya, hukum dapat memberikan sangsi atau tindakan terhadap si pelanggar.
Karena itu, hukum menetapkan sanksi yang harus diterima oleh pelakunya. Ini sekaligus berarti bahwa hukum mengarahkan agar masyarakat berbuat secara benar menurut aturan sehingga ketentraman terwujud. Roscoe Pound seorang pemuka aliran Sociological Jurisprudence And Pragmatic Legal Realism menyatakan bahwa “Hukum sebagai alat perubahan sosial “As A Tool Of Social Engeneering”, artinya hukum sebagai sarana atau alat untuk mengubah masyarakat ke arah yang lebih baik, baik secara pribadi maupun dalam masyarakat.”
Namun pada perkembangannya, hukum yang diharapakan sebagai alat kontrol sosial yang dapat menciptakan ketertiban dan keadilan sosial belum berjalan dengan baik, karena tidak didukung oleh integritas. Penegak hukum yang dimana oknum aparat penegak hukumlah yang terkadang ikut melecehkan hukum dengan mudah dipengaruhi oleh unsur-unsur lain seperti kekuasaan, materi dan pamrih.
Contoh kasus misalnya Ferdy sambo mantan Pati Yanma Polri (2022) yang terbukti sebagai dalang penembakan Brigadir Yosua hutabarat, Pinangki sirna malasari mantan Jaksa kasus suap dan pencucian uang, Teddy minahasa mantan Kapolda Sumatra Barat (2021) kasus penggelapan sabu-sabu, Agung gazalba saleh dan Edy wibowo mantan Hakim kasus suap dan masih banyak lagi kasus-kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh oknum aparat penegak hukum itu sendiri.
Hal inilah yang banyak dikeluhkan dan menjadikan hubungan masyarakat dengan hukum akhirnya renggang bahkan sebagian dari mereka tidak percaya lagi dengan hukum dan stigma buruk terhadap hukum pun tidak bisa dibendung. Hukum dianggap sebagai alat untuk menindas yang lemah, hukum tumpul keatas tajam kebawa, hukum adalah milik kaum elit, hukum adalah alat untuk mempermainkan keadilan dan masih banyak lagi anggapan-anggapan yang negatif terkait hukum.
Menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum juga disebakan oleh egoisme dan oportunisme yang tinggi. Di saat bersamaan juga perasaan iba dan saling tolong-menolong serta keadilan yang menurun. Pelanggaran-pelanggaran terus terjadi, mungkin karena institusi penegak hukum yang terlalu lemah dalam melaksanakan tugasnya. Banyak terlihat oleh kita hari ini para tesangka yang seharusnya mendapatkan hukuman yang berat malah mendapatkan hukuman yang ringan bahkan bisa bebas dari hukumannya, sebut saja misalnya para koruptor kelas kakap.
Tentu ini adalah sebuah masalah yang tidak boleh dipandang sebelah mata dan mestinya didudukkan persoalannya untuk mengembalikan citra hukum sebagai mana mestinya ditengah-tengah masyarakat dan mengembalikan kepercayaan dan hubungan harmonis masyarakat terhadap hukum serta mendorong penyelenggaran hukum yang dilandasi dengan semangat menegakkan nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Sebagai mana prinsip penegakan negara hukum menurut Jimly Asshiddiqie ; “Adanya supremasi hukum, persamaan dalam hukum, proses hukum yang baik dan benar, pembatasan kekuasaan, lembaga eksekutif independen dan peradilan yang bebas dan mandiri.”
Sebagai warga Indonesia, berharap dan mengupayakan negara agar dapat hadir lebih efektif dalam rangka untuk membangun kesadaran dan kepercayaan terhadap hukum. Amanat pembukaan UUD 1945 alinea keempat yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa melalui lembaga pendidikan yang secara sadar dan terencana mengembangkan potensi diri, kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan dan akhlak mulia harus diwujudkan dengan sebaik-baiknya. Karena melalui pendidikan yang baik dan benar akan melahirkan penegak hukum yang berintegritas dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang beradab dan artinya kita menghendaki hukum yang bermartabat serta dicintai dan dipercayai oleh seluruh elemen masyarakat.
Penulis : Ihsan Al-Fatih (Kabid RPK PC IMM Mamuju)