Oleh: Haidir Muhari
Langit dunia begitu kalut Mencari berkas cahaya Purnama di atas sana Iya, akhir-akhir ini langit merenggut kembali keindahan
Purnama yang anggun, menyimbah cahaya,
itu hanya menjadi cerita malam-malam kemarin.
“Padahal aku hanya ingin sekadar menawar rinduku, bermandikan cahayanya”
lirih sesosok raga pemuda lusuh
Dalam kedinginan malam itu, seperti biasa,
Pemuda itu bersandar di bawah pohon
Ada sarung melintangi badannya dan celana pendek hitam melawati lututnya.
Coba perhatikan,
Warna merah tak jauh dari bibirnya
Iya, sebatang kretek di antara jari syahadat dan jari tengahnya
Iya, diperlakukannya sebagai teman setia, Tidak salah memang kretek itulah yang selalu menemaninya,
menjadi teman pembawa rindu.
Ia nampak murung Mengisap kretek begitu panjang-dalam dan menghembuskannya dengan sangat perlahan, Aku mendekatinya sembari mengulurkan rasa yang penuh empati Ku menampak wajahnya memimik seperti sedang melayang jauh khusyu ke atas sana.
Ia tak pun menoleh ke arahku
Hanya memberi isyarat dengan kepulan asap kretek yang sudah setangah diisapnya, ke arah langit
Seperti mengirimkan pesan-pesan terdalam.
“Aku merinduimu Purnama”, ungkapnya Aku masih terpaku, mencoba memasuki relungnya, menerka rasanya.
“Dengan asap kretek inilah aku mengirimkan pesan kepada Purnama”, suaranya parau setengah rintihan
“Batang pohon inilah singgasanaku, saksi cintaku dengan Purnama”.
Ia nampaknya begitu kalut.
Dunia mencemoohnya, karena cintanya kepada Purnama yang tak lagi mungkin kembali cambukan cerca terpampang dari tubuhnya nan semakin kerontah.
Dari gugur dedaunan yang mengering dijadikannya kretek, terpadu apik menjadi batangan-batangan asapnya mengepul menuju langit menjadi penyampai aksara-aksara lara, nada-nada rintih dalam getar-sesak rindu.
Air mata pemuda lusuh itu telah surut dan mementok
Kini menjelma menjadi titik-titik embun,
yang membasahi di malam hari
fajar, yang nampak hingga pagi
Kretek yang diisapnya itu hampir habis..
Malam menjadi teman penantiannya,
Purnama yang takkan lagi datang
Pemuda lusuh itu masih saja merindukan Purnama
Meskipun tahu betul, mustahil Purnama hadir kembali.
Ia tetap tegar menulis aksara-aksara lara,
Nada-nada rintih dalam getar-sesak rindu dengan kepulan asap kretek Kreteknya telah habis, pemuda itu merebahkan dirinya, menengadah, berpadu dalam tetes-tetes embun.
Dengan jaket silverku ini, udara masih saja menyelusup pori-pori kulitku,
Bagaimana dengan pemuda lusuh itu?
Isaknya setiap malam, dadanya sesak menahan kerinduan
Tak sanggup aku mereka perasaannya yang tercabik-beraduk Pemuda lusuh itu, masih saja menulis aksara-aksara lara,
nada-nada rintih dalam getar-sesak rindu bahkan dalam tidurnya.
Tanpamu, Purnama
Dapatkah aku melalui malam
Sementara dua mataku ini redup sinarnya
Purnama kekasiku
Simbahi aku dengan sinarmu.